Kamis, 07 Juli 2011

AKHLAK

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul, Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4).

Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi Saw., dan salah satunya yang paling populer adalah, Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut.

Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS Al-Lail [92]: 4).

Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.

BAIK DAN BURUK

Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?

Tulisan ini tidak akan mengarungi samudera pemikiran yang dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:

Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]: 10). ...dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (QS Al-Syams [91]: 7-8).

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.

Al-Quran surat Thaha (20): 121 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga, ... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia. Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan --jika terjadi-- terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).

Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR Bukhari). Seorang sahabat Nabi Saw. bernama Wabishah bin Ma'bad berkunjung kepada Nabi Saw., lalu beliau menyapanya dengan bersabda: "Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan Ad-Darimi).

Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya --setidaknya pada awal masa perkembangan-- tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan.

Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan, Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya. Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan kata iktasabat.

Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kata iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).

Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Al-Rum(30): 30 dinyatakan, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu.

Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri: Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu (QS Al-Isra' [17]: 14).

PERTANGGUNGJAWABAN

Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggungjawabkan pilihannya. Manusia tidak boleh membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15). Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik paling tidak dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
  1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
  2. Manusia tidak dituntut mempertanggungjawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. Al-Quran secara tegas menyatakan:

Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225). ...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya... (QS Al-Baqarah [2]: 173).

Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman, dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan... (QS An-Nahl [16]: 106).

Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh jadi mereka melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata uf (cis), dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil merendahkan diri kepada keduanya. Ayat ini disusul dengan firman-Nya: Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan memaafkan sikap dan kelakuan yang telah kamu lakukan dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra' [17]: 25).

TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.

Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha (20): 8 menegaskan: (Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).

Rasulullah Saw. juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.

Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab, Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.

Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda, "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini."

Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan, "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang, angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).

Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan --dan bukan kaya materi-- sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.

Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273). Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah: Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).

Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.

Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

SASARAN AKHLAK

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).

Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak Islamiyah.

a. Akhlak terhadap Allah

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu. Demikian ucapan para malaikat.

Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa, Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih (QS Al-Shaffat [37]: 159-160).

Teramati bahwa semua makhluk --kecuali nabi-nabi tertentu-- selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan. Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka (QS Al-Syura [42]: 5). Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Al-Ra'd [13]: 13). Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra' [17]: 44).

Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah SWT. Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya-- bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.

Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9: (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung). Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu" yang berarti mewakilkan.

Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.

Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.

Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Pertama sekali harus diingat bahwa keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu akan berakibat gugurnya makna keesaan.

Allah SWT., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.

Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan sang wakil atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa --berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang wakil merugikan. Jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula Kemahamutlakan Allah SWT. Oleh karena itu, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.

Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui (QS Al-Baqarah: 216). Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).

Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.

Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.

Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.

Ketika menjadikan Allah SWT. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan segala sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.

Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.

Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Ma’idah Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.

Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).

Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.

Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).

Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.

Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.: Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS Al-Syu'ara' [26]: 80). Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit, kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".

Sekali lagi, bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s. bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir a.s.).

Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81). Kehendak sang hamba adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.

b. Akhlak terhadap sesama manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. --misalnya-- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, Al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin:

Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi (saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu (di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana (kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2). Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63).

Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.

Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]: 27). Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya ... (QS An-Nur [24): 58).

Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86). Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, Al-Quran memerintahkan, Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS A1-Baqarah [2]: 83). Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab [33]: 70). Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]: 11-12) .

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.-- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:

Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An-Nur [24]: 22).

Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu: Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik.

Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang lain", tetapi dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri." Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama kepada wanita)-- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubiy (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."

Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar. Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi Saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3).

Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.

Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Al-Zukhruf [43]: 13). Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.

Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.

Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.

Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat)dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.

***

Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda, Agama adalah hubungan interaksi yang baik. Beliau juga bersabda: Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang Mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[]
----------------------------------------------------------------------------------------------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...