Kamis, 28 Juli 2011

KENIKMATAN BERPUASA

Puasa atau shiyam dalam bahasa Al-Quran berarti “menahan diri”.

Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi redaksi yang digunakannya dalam bentuk pasif: Diwajibkan atas kamu berpuasa… (QS 2: 183). Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya pada saat ia menyadari betapa banyak manfaat di balik puasa itu.

Manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah dan Ruh Ilahi. Tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani sedangkan Ruh Ilahi mengantarkannya kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah. Tidak dapat disangkal bahwa dorongan kebutuhan jasmani, khususnya fa’ali (makan, minum dan hubungan seks), menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia. Daya tariknya sedemikian kuat sehingga tidak jarang orang terjerumus karenanya. Seseorang yang mampu mengendalikan diri dalam kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendasar itu, diharapkan mampu mengontrol diri pada dorongan naluriah atau nafsu lain yang justru berada di peringkat bawah dibandingkan kebutuhan fa’ali tersebut. Dari sini dapat dipahami mengapa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.

Naluri binatang – khususnya binatang-binatang tertentu – secara alamiah telah mengatur jenis, kadar, dan waktu makan, serta tidur dan hubungan seksualnya: “kawin” mereka ada musimnya. Naluri manusia tidak demikian, karena ia memperoleh kebebasan, dan ini dapat membahayakan atau paling sedikit menghambat melaksanakan fungsi dan peran yang dituntutnya. Dari sini agama mengatur kebebasan tersebut demi pengendalian diri manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang makan melebihi kebutuhan jasmaninya, bukan saja tidak menikmati makanan serta minuman dan tidak pernah puas, tetapi juga mengurangi aktivitas dan menjadikan lesu sepanjang hari. Seks, demikian pula halnya. Syahwat ini, sebagaimana halnya semua syahwat, tidak pernah puas dengan penambahan; semakin ditambah semakin haus. Sebagaimana rasa gatal (eksim), semakin digaruk semakin enak. Tetapi bila diperturutkan tanpa batas, akan menimbulkan infeksi.

Jika demikian, perlu diadakan latihan-latihan untuk menghindari lepasnya kontrol dorongan naluri fa’ali. Salah satu yang ditempuh oleh agama untuk maksud tersebut adalah syariat puasa. “Ada dua kegembiraan (kenikmatan) yang didapatkan oleh orang yang berpuasa, sekali pada saat berbuka dan sekali pada saat menemui Tuhannya.” Demikian sabda Nabi saw.

Menurut ahli ilmu jiwa, manusia merasakan kenikmatan tersendiri pada saat ia berhasil memikul beban jasmaniahnya. Inilah dasar pemikiran yang digunakan untuk menafsirkan gejala banyaknya orang yang berpuasa meskipun ia tidak shalat atau bersikerasnya seorang anak untuk tetap berpuasa meskipun dilarang oleh orangtuanya. Memang kenikmatan ruhani melebihi kelezatan jasmani, hanya sayang banyak orang tidak mengetahuinya karena tidak pernah mencobanya.[]

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...