Jumat, 23 September 2011

Menciptakan Budaya Damai, Mendukung Punahnya Tradisi Tawuran

Pada hari Jumat, 16 September 2011, tawuran antara beberapa siswa SMAN 6 dan SMAN 70 kembali terjadi. Tawuran antara kedua SMAN yang lokasinya berdekatan itu, seakan menjadi semacam tradisi yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Jumat itu, seorang wartawan turut menjadi korban agresivitas para siswa tersebut.

Setelah aksi tawuran selesai, Oktaviardi, seorang wartawan Trans 7 yang sedang mengambil gambar gerbang SMAN 6 Mahakam, pasca meliput aksi tawuran di Bundaran Mahakam Bulungan, Jakarta Selatan itu, mengalami pemukulan oleh sejumlah siswa yang merasa terganggu dengan adanya pengambilan gambar tersebut. Kaset rekaman hasil peliputan juga dirampas oleh para siswa tersebut.

Kasus ini tidak berhenti sampai di situ. Hari Senin, 19 September 2011, sejumlah wartawan melakukan aksi solidaritas “Hentikan Kekerasan terhadap Pers” di depan SMAN 6, karena diduga siswa sekolah tersebut yang telah melakukan pemukulan dan perampasan kaset pada hari Jumat sebelumnya. Dalam aksi tersebut juga sempat terjadi pertemuan antara wakil dari wartawan dengan Kepala Sekolah SMAN 6, Kadarwati Mardiutama, dengan mediator dari pihak kepolisian, untuk menyelesaikan kasus pemukulan dan perampasan kaset tersebut. Sayangnya, emosi dan ketegangan yang tercipta di antara pihak siswa dengan wartawan, pada akhirnya malah menyulut aksi kekerasan yang kembali menelan korban dari kedua belah pihak.

Kedua kasus yang saling berkaitan itu kemudian membuat kita melihat kembali, betapa aksi-aksi kekerasan, khususnya tawuran antarpelajar, yang telah ada sejak lama, ternyata masih saja terjadi. Bahkan berbagai senjata yang membahayakan semakin banyak digunakan. Mulai dari batu, senjata tajam, sampai air keras menambah kengerian aksi tawuran di berbagai kota di Indonesia. Kita kemudian menjadi bertanya-tanya, mengapa hal semacam itu terus terjadi? Bagaimana para siswa yang sedang beranjak dewasa itu dapat menjadi begitu agresif dan kasar?

Sebagian orang kemudian langsung menghakimi. Betapa pelajar saat ini semakin keterlaluan, tidak punya perasaan, bebal dan barbar. Betapa pihak sekolah terutama para guru cenderung membiarkan, lepas tangan, dan tidak mampu mendidik murid-muridnya. Betapa lokasi sekolah yang dikelilingi pusat perbelanjaan tidak kondusif untuk proses belajar-mengajar. Kemudian muncul solusi dari berbagai pihak. Untuk memindahkan lokasi sekolah, memberhentikan sementara penerimaan siswa baru, memperbanyak program ekstrakurikuler, memperketat peraturan sekolah, dan lain sebagainya.

Solusi-solusi tersebut mungkin tidak selamanya salah. Tetapi, ada baiknya kita juga berusaha melihat lebih dalam. Sudahkah kita sungguh mengerti apa akar permasalahannya? Apakah para siswa, yang dianggap sebagai sumber masalah, juga para guru yang dianggap tidak berhasil mendidik mereka, sudah diikutsertakan dalam proses diskusi untuk memecahkan masalah ini?

Kita mungkin juga perlu mengamati lebih jauh. Bagaimana masalah ini berkaitan dengan sistem pendidikan kita secara keseluruhan. Bagaimana perilaku masyarakat kita yang juga masih dipenuhi oleh aksi anarkis tentunya mempengaruhi terjadinya kasus di atas. Jangankan seorang anak SMA, orang-orang yang lebih dewasa, yang juga telah mengenyam bangku pendidikan lebih lama, seperti wartawan, bahkan anggota DPR misalnya, masih begitu mudah tersulut amarah, bertindak kurang bijaksana dan cenderung memilih kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Berbagai aksi kekerasan dan tawuran di kalangan mahasiswa, juga yang terjadi antar warga, atau beberapa kalangan atas nama agama, juga menunjukkan betapa kurangnya keteladanan bagi generasi yang lebih muda. Sementara, sistem pendidikan yang hanya berfokus pada tingginya nilai-nilai akademis seakan melupakan esensi pendidikan sebenarnya, melupakan perkembangan manusia-manusia di dalamnya secara keseluruhan, termasuk perkembangan karakter dan kecerdasan emosionalnya.

Siswa sekolah adalah generasi muda bangsa kita yang baru mulai tumbuh dan mencari jati diri. Ketika sistem pendidikan yang ada belum mampu mewadahi segala pertanyaan dan kebutuhan mereka, belum bisa mengutamakan perkembangan pemahaman serta penyaluran potensi mereka yang bervariasi di atas sekadar nilai ujian, maka tak perlu heran kalau mereka kemudian berusaha memenuhi kebutuhan itu secara mandiri, mengatasi semua masalah dan tekanan yang mereka hadapi dengan cara mereka sendiri, walau kadang kurang terpuji.

Kasus yang terjadi di atas, mengingatkan kita untuk kembali merenungi perilaku kita selama ini serta apa yang sesungguhnya ingin dicapai dalam sebuah proses pendidikan di sekolah. Sebagai bagian dari masyarakat, kita dapat mulai menciptakan budaya damai, diawali dengan hubungan pribadi dan keluarga kita sendiri. Membiasakan serta mensosialisasikan penyelesaian masalah tanpa kekerasan dan kebencian, menjadi teladan bagi para siswa dan masyarakat umum di luar sana.

Tentunya juga diperlukan kerja keras dari berbagai pihak dan waktu yang tidak sedikit, untuk dapat menghasilkan solusi yang lebih tepat sasaran, sampai suatu saat nanti, dapat tercipta sebuah sistem pendidikan yang mampu membentuk manusia-manusia bermanfaat yang lebih berpemahaman dan jauh dari segala bentuk kekerasan.

Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Al-Syu’ara: 183).

SUMBER

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...