Kamis, 08 September 2011

MENYAMBUNG TALI YANG PUTUS

Setiap kali menjelang Idul Fitri, arus mudik sedemikian besar. Banyak penduduk kota yang kembali ke kampung halamannya, besilaturahim sambil berlibur, bernostalgia, bahkan mungkin juga -sebagaimana disinyalir beberapa pengamat- memamerkan sukses yang telah diraih di kota. Ide mudik sendiri, selama dikaitkan dengan silaturahim, merupakan ajaran yang dianjurkan oleh agama. Hal ini dapat dilihat dari akar kata dan pengertian silaturahim.

Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang terseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

Tidak jarang hubungan antara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang -bahkan terputus- akibat berbagai faktor. Dan dengan mudik yang bermotifkan silaturahim ini akan terjalin lagi hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta terhimpun apa yang terserak. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat silaturahim. Nabi SAW bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Bukhari).

Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang mudik dan juga oleh mereka yang tetap tinggal di kota bila ia berusaha mengingat-ingat siapa yang hatinya pernah terluka oleh ulahnya atau yang selama ini jarang dikunjungi karena kesibukannya. Mudik dan kunjungan seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang putus, menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.

Sungguh baik jika ketika kita mudik, atau berkunjung, kita membawa sesuatu -walaupun kecil- karena itulah salah satu bukti yang paling konkret dari rahmat dan kasih sayang. Dari sinilah kata shilat diartikan pula sebagai “pemberian”. Dan tidak ada salahnya seorang yang mudik menampakkan sukses yang diraih selama ini asalkan tidak mengandung unsur pamer, berbangga-bangga, dan pemborosan. Lebih-lebih jika yang demikian itu akan mengantar kepada kecemburuan sosial. Menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Allah senang melihat nikmatnya (ditampakkan) oleh hamba-Nya”.

Adapun nikmat Tuhanmu maka ucapkan (sampaikanlah) (QS 93:11). Sebagian musafir memahami ayat ini sebagai perintah untuk menyampaikan kepada orang lain dalam bentuk ucapan atau sikap betapa besar nikmat Allah yang telah diraihnya. Mudik berlebaran adalah hari gembira yang berganda; gembira karena lebaran dan gembira karena pertemuan. Di sini setiap yang mudik hendaknya merenungkan pesan Ilahi: “Jangan bergembira melampaui batas terhadap apa yang dianugerahkan (Tuhan) kepadamu, (kegembiraan yang mengantar kepada keangkuhan dan lupa diri). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (QS 57:23).

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari silaturahim yang telah kita lakukan.

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...