Jumat, 23 September 2011

Syahadat Ucapan dan Syahadat Tindakan

Kalimat syahadat diajarkan kepada kita sejak kecil – sebanyak dua-tiga kali atau berkali-kali – hingga kita hafal. Maknanya pun diajarkan, entah berapa kali, hingga akhirnya – sedikit atau banyak – kita memahami maksudnya. Apakah setiap Muslim, sekarang ini, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-tua dan para guru kita di masa silam? Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini adalah “tidak”. Karenanya, bukan tidak pada tempatnya jika ada saja orang yang mempertanyakan nilai keislaman sebagian generasi muda. Betapa tidak? Kata mereka, “Kita pun yang telah menghafal dan memahami maksudnya masih kehilangan sesuatu yang sangat penting dari kedua kalimat syahadat itu, sehingga seperti inilah keadaan kita.”

Sesungguhnya masih ada satu hal, selain menghafal dan memahami maksudnya, yang tertinggal, yaitu menjadikan apa yang dihafal dan diketahui maksudnya itu, sebagai pelita hati yang menyinari setiap langkah dan sikap kita. Perhatikanlah kalimat syahadat yang kita ucapkan: Asyhadu an lâ ilâh illa Allâh. Kalimat ini dimulai dengan asyhadu (saya bersaksi). Ketika Anda mengatakan “saya” maka Anda menyadari bahwa Anda mempunyai wujud pribadi yang berbeda dengan orang lain. Namun demikian, dalam saat yang sama Anda menyadari pula bahwa ada pihak lain bersama Anda, yaitu yang mendengar atau yang kepadanya Anda memperdengarkan persaksian itu.

Bagaimana kesadaran ini dapat diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku? Apakah guru di sekolah, ayah dan ibu di rumah pernah mengantarkan kita untuk menyadarinya? Ini satu hal yang ketinggalan. Kesaksian itu dimulai dengan pengingkaran lâ ilâh (tiada tuhan) kemudian disusul dengan penetapan illa Allâh (kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui kebenaran itu jika ia berusaha menyingkirkan terlebih dahulu segala macam ide, teori dan data yang tidak benar dalam benaknya, persis seperti yang dilakukan oleh pengucap syahadat tersebut.

Adakah cara-cara tersebut diterapkan dalam kehidupan kita? Ataukah cara seperti ini termasuk juga yang ketinggalan dalam pendidikan kita? Pengucap kalimat syahadat bagaikan meruntuhkan segala kebatilan, namun setelah itu dia tidak tinggal diam. Ia mengukuhkan suatu kebenaran: duri-duri yang mengelilingi sekuntum bunga disingkirkannya dan yang tinggal adalah keindahan dan semerbaknya. Kegelisahan, kecemasan, ketergantungan kepada yang batil semua sirna, dan yang tinggal berbekas adalah ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan. Tolok ukur menghadapi segala sesuatu akan sama; baik di rumah maupun di kantor, baik terhadap atasan maupun bawahan, baik terhadap si kaya maupun si miskin.

Ada tujuh sifat Allah yang kita persaksikan keesaan-Nya yang dinamai shifât ijâbiyah: Kodrat (Kekuasaan), Kehendak, Pengetahuan, Hidup, Pendengaran, Penglihatan, dan Kalâm (Firman). Ketujuh sifat ini juga merupakan kesempurnaan manusia, bila ketujuhnya menyatu secara baik dalam diri seseorang, walaupun harus digarisbawahi bahwa yang sempurna dan mutlak sifatnya hanyalah Allah semata. Kekeliruan – bahkan sebab segala akibat negatif yang diderita selama ini – adalah kepincangan sifat-sifat tersebut dalam diri kita.

Kita memiliki kehendak, tetapi keinginan dan kehendak kita tidak disesuaikan dengan kemampuan kita. Kita dapat berbicara, tetapi pembicaraan kita tidak didukung oleh pengetahuan. Kita mendengar, melihat, tetapi hanya setengah-setengah, sehingga hidup dan kehidupan kita pun demikian.

Benar bukan, bahwa ada yang ketinggalan dalam rangkaian syahadat kita?░

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...