Senin, 17 Oktober 2011

JAMUAN TUHAN

Suatu malam, Rasulullah saw. berbisik kepada Aisyah, “Apakah kamu rela pada malam (giliranmu) ini, aku beribadah?”

“Aku sungguh senang berada di sampingmu selalu, tetapi aku pun rela dengan apa yang engkau sukai,” sahut Aisyah.

Rasul saw. bangkit untuk berwudhu - tidak banyak air yang digunakannya - lalu beliau shalat dengan membaca Al-Quran, sambil menangis sampai membasahi (ikat) pinggangnya. Selesai shalat, beliau duduk memuji Allah, air matanya masih bercucuran sehingga membasahi pula lantai tempat duduknya. Demikian cerita Aisyah.

“Tidak biasa Rasul terlambat ke mesjid untuk shalat (sebelum) subuh, ada apa gerangan yang terjadi?” tambah Bilal. Maka kemudian didatangilah Rasul, dan ditemuinya beliau sedang menangis.

“Mengapa engkau menangis, wahai Rasul? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu?” tanya Bilal.

“Betapa aku tidak menangis. Semalam telah turun wahyu: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata:) ‘Ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dan siksa neraka’ (QS 3:190-191).”

Rasul saw. kemudian berkata kepada Bilal, “Rugilah yang membacanya tapi tidak menghayati kandungannya.”

Orang berakal menggunakan potensinya untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang tertulis di dalam mushaf atau terbentang di alam raya. Mereka tidak menempatkan diri di menara gading, tidak juga berpikir terlepas dari Allah, juga tidak membatasi ingatan kepada-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu. Berdiri, duduk, dan berbaring sekalipun, mereka tetap mengingat-Nya. Usahanya tidak hanya sampai pada pemahaman, tetapi pengakuan tentang “ hak” yang mewarnai seluruh ciptaan Allah. Pengakuan ini kemudian menghasilkan amal dan karya-karya besar. Pemahaman tanpa pengakuan adalah kejahilan, pengakuan tanpa pengalaman sama dengan kesesatan.

“Ayat-ayat adalah jamuan Allah,” demikian sabda Nabi saw. Allah mengundang manusia untuk menelaah ayat-ayat-Nya. Menghadiri undangan-Nya berarti menikmati “santapan”-Nya. Kenikmatan makanan dalam satu perjamuan akan semakin terasa dengan kehadiran teman-teman yang berbudi. Demikian pula dengan jamuan Tuhan. Ada etika dan tatacara makan yang baik yang harus dipatuhi oleh setiap orang terhormat, demikian pula undangan Tuhan.

Mengecap citarasa makanan menjadi tujuan awal memenuhi undangan, tetapi ada tujuan utama dari si pengundang yang harus disadari oleh para undangan agar terjalin hubungan mesra antara kedua pihak.

Ayat-ayat yang dibaca atau dilihat yang merupakan “jenis-jenis makanan” yang dihidangkan bukan hanya untuk dinikmati oleh para undangan sendirian, “Makanlah yang terjangkau oleh tangan kananmu dan ulurkan makanan itu kepada yang tidak menjangkaunya,” pesan Allah. Ini berarti ada tanggung jawab untuk memberi sesuatu kepada orang lain.

Pengetahuan saja tidak cukup, pengakuan pun masih kurang, buahnya harus ada untuk diri sendiri dan dibagikan pula kepada orang lain. Rugilah yang tidak menghadiri jamuan yang mewah ini, tetapi lebih rugi lagi yang menghadirinya tanpa menikmati hidangannya, sedangkan yang menikmatinya sendirian amat tercela.

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...