Mengapa beliau berolahraga dan menganjurkannya? Jawabannya, jelas, untuk kesehatan jasmani. Tetapi apakah hanya demikian? Jawabannya jelas “tidak!”. Karena Al-Quran justru mengecam mereka yang sehat jasmaninya – bahkan indah mengagumkan “bagaikan kayu tersandar” – tetapi jiwanya kosong (lihat QS 063:004).
Nabi saw. juga memperingatkan bahwa orang yang kuat atau pegulat bukannya yang (hanya) memiliki kekuatan fisik, tetapi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri. Dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan manusia agar melakukan persiapan-persiapan dalam menghadapi musuh – baik yang telah diketahui kekuatannya maupun yang belum. Persiapan tersebut berupa kekuatan apa saja yang mampu dipersiapkan serta kuda-kuda yang ditambat (QS 008:060). Nabi saw. menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kekuatan” tersebut adalah “memanah”. Demikianlah panahan dijadikan sebagai salah satu sarana membela negara dan agama.
Nah, bagaimana kita memahami penjelasan ini dalam kaitannya dengan berolahraga serta kaitannya dengan pemahaman petunjuk-petunjuk agama ? Berolahraga tidak sekadar untuk meraih kesehatan jasmani atau sekadar mencapai prestasi. Lebih dari itu, ada tujuan “kejiwaan”. Karenanya, nilai-nilai kejiwaan harus diprioritaskan dan dijunjung tinggi. Bukan hanya yang berkaitan dengan sportivitas, tetapi termasuk pula nilai-nilai spiritual keagamaan.
Di sisi lain, bagaimana penjelasan Rasulullah itu dipahami dalam kaitannya dengan pemahaman agama? Ada sebagian orang yang memahami petunjuk-petunjuk agama secara kaku walaupun itu berkaitan dengan bidang keduniaan dan kemasyarakatan. Yaitu, misalnya, mereka mempertahankan teks ajaran dan makna-makna harfiahnya tanpa memperhatikan konteks sosial dan perkembangan masyarakat pada masa petunjuk itu disampaikan. Pola pikir semacam ini akan dapat menyulitkan umat. Bayangkan saja kalau kita kini hanya mempersiapkan panah beserta kuda-kuda yang ditambat untuk menghadapi musuh. Apa gerangan yang akan terjadi bila kita diserang? Jika demikian, kita harus memahami bahwa ada petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. yang diangkatnya sebagai contoh untuk masyarakat beliau limabelas abad yang lalu.
Petunjuk semacam ini harus dipahami dalam konteksnya, kemudian disesuaikan dengan konteks kita masa kini, karena junjungan kita Muhammad saw. tidak selalu berfungsi sebagai rasul. Sekali waktu beliau berfungsi sebagai mufti yang menyampaikan putusan atau hakim yang memutuskan perkara. Pada saat yang lain, beliau adalah pemimpin yang menyesuaikan petunjuknya dengan kondisi masyarakatnya, bahkan sesekali juga sebagai seorang manusia biasa yang memiliki keistimewaan, kecenderungan, serta kepentingan yang dapat berbeda dengan manusia-manusia lain. Memahami petunjuk-petunjuk beliau atas dasar pemilahan tersebut, menjadikan agama Islam benar-benar sesuai dengan waktu dan tempat.[]
Lentera Hati: M. Quraish Shihab
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar