Jumat, 21 Oktober 2011

MEMAHAMI PETUNJUK AGAMA

Tiga jenis olahraga yang dianjurkan Nabi, dalam salah satu hadis, adalah: Ajarilah anak-anak­mu berenang, memanah, dan menunggang kuda. Ten­tunya ini bukan berarti bahwa hanya ketiga olahraga itulah yang dianjurkan untuk diikuti oleh kaum Mus­lim. Karena dalam riwayat lain, beliau bertanding dengan istrinya, Aisyah, dalam olahraga lari. Beliau juga bergulat dan menang ketika ditantang seorang jagoan yang bersedia masuk Islam bila dikalahkan.

Mengapa beliau berolahraga dan menganjur­kannya? Jawabannya, jelas, untuk kesehatan jasmani. Tetapi apakah hanya demikian? Jawabannya jelas “tidak!”. Karena Al-Quran justru mengecam mereka yang sehat jasmaninya – bahkan indah menga­gumkan “bagaikan kayu tersandar” – tetapi jiwanya kosong (lihat QS 063:004).

Nabi saw. juga memperingatkan bahwa orang yang kuat atau pegulat bukannya yang (hanya) me­miliki kekuatan fisik, tetapi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri. Dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan manusia agar melakukan per­siapan-persiapan dalam menghadapi musuh – baik yang telah diketahui kekuatannya maupun yang belum. Persiapan tersebut berupa kekuatan apa saja yang mampu dipersiapkan serta kuda-kuda yang ditambat (QS 008:060). Nabi saw. menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kekuatan” tersebut adalah “me­manah”. Demikianlah panahan dijadikan sebagai salah satu sarana membela negara dan agama.

Nah, bagaimana kita memahami penjelasan ini dalam kaitannya dengan berolahraga serta kaitannya dengan pemahaman petunjuk-petunjuk agama ? Ber­olahraga tidak sekadar untuk meraih kesehatan jas­mani atau sekadar mencapai prestasi. Lebih dari itu, ada tujuan “kejiwaan”. Karenanya, nilai-nilai keji­waan harus diprioritaskan dan dijunjung tinggi. Bu­kan hanya yang berkaitan dengan sportivitas, tetapi termasuk pula nilai-nilai spiritual keagamaan.

Di sisi lain, bagaimana penjelasan Rasulullah itu dipahami dalam kaitannya dengan pemahaman agama? Ada sebagian orang yang memahami petun­juk-petunjuk agama secara kaku walaupun itu ber­kaitan dengan bidang keduniaan dan kemasyarakatan. Yaitu, misalnya, mereka mempertahankan teks ajaran dan makna-makna harfiahnya tanpa memper­hatikan konteks sosial dan perkembangan masya­rakat pada masa petunjuk itu disampaikan. Pola pikir semacam ini akan dapat menyulitkan umat. Bayangkan saja kalau kita kini hanya mempersiapkan panah beserta kuda-kuda yang ditambat untuk menghadapi musuh. Apa gerangan yang akan terjadi bila kita diserang? Jika demikian, kita harus memahami bah­wa ada petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. yang di­angkatnya sebagai contoh untuk masyarakat beliau limabelas abad yang lalu.

Petunjuk semacam ini harus dipahami dalam konteksnya, kemudian disesuaikan dengan konteks kita masa kini, karena junjungan kita Muhammad saw. tidak selalu berfungsi sebagai rasul. Sekali waktu beliau berfungsi sebagai mufti yang menyampaikan putusan atau hakim yang memutuskan perkara. Pada saat yang lain, beliau adalah pemimpin yang menye­suaikan petunjuknya dengan kondisi masyarakatnya, bahkan sesekali juga sebagai seorang manusia biasa yang memiliki keistimewaan, kecenderungan, serta kepentingan yang dapat berbeda dengan manusia­-manusia lain. Memahami petunjuk-petunjuk beliau atas dasar pemilahan tersebut, menjadikan agama Islam benar-benar sesuai dengan waktu dan tempat.[]

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...