Selasa, 25 Oktober 2011

SI OKI DAN HP-NYA

Oleh: Ahmad Tohari

Ini kisah tentang si Oki, umurnya 20-an tahun. Dia tinggal bersama di tengah keluarga besar yang hidup berimpitan dalam sebuah rumah tua. Dan sudah sangat rapuh. Dalam rumah itu ada kakek-nenek, paman-bibi, kemenakan-kemenakan, selain adik-kakak dan orang tuanya sendiri. Semua orang dewasa dalam rumah itu tidak punya penghasilan apalagi pekerjaan tetap. Singkatnya rumah tua itu berisi orang-orang dewasa dan anak-anak yang hidup serbakurang.

Beruntunglah si Oki. Pak Karim, teman ayahnya yang tahu keadaannya, meminta Oki menjadi pelayan di kantornya. Mula-mula Oki menolak, tapi setelah istilah pelayan kantor diganti dengan office boy, Oki menerimanya dengan gembira.

Gaji Oki hanya Rp 300 ribu. Maklum, Pak Karim hanya seorang pengusaha kecil. Dalam perkiraan Pak Karim, gaji Oki bisa untuk membeli 75 Kg beras bagi keluarga besar yang miskin itu. Memang belum mencukupi, namun bisa mengurangi beban kebutuhan dasar yang sangat mendesak. Tapi, perkiraan Pak Karim meleset jauh.

Setelah menerima gaji pertama di akhir bulan, Oki tidak membeli beras sedikit pun. Dia malah pergi ke penjual HP. Memang yang dibeli hanya barang bekas, yang penting HP. Anehnya, keputusan Oki untuk membeli HP mendapat dukungan ayahnya. Ayah yang miskin ini bercerita dengan bangga kepada para tetangga bahwa Oki sekarang sudah hebat, sudah bisa beli HP!

Pak Karim akhirnya tahu apa yang dilakukan oleh Oki atas gaji pertamanya. Ketika suatu saat bertemu saya, Pak Karim dengan kecut menceritakan semuanya. "Semula saya sungguh berharap Oki bisa membantu keluarganya dengan membeli bahan makanan. Eh, yang dibeli malah HP." Mendengar keluhan Pak Karim saya hanya bisa mengangkat alis.

"Sangat ironis, penghasilan yang diterima Oki tidak memperbaiki keadaan, malah membuat dia dan keluarganya menjadi lebih miskin," tambah Pak Karim dengan wajah serius. "Lihatlah, keluarga miskin itu sekarang tidak hanya membutuhkan makanan untuk bertahan hidup yang belum tercukupi. Kini mereka juga butuh pulsa yang sesungguhnya belum kebutuhan dasar mereka."

"Dan ayah si Oki malah bangga kan?" sambut saya dengan kecut. "Itu sungguh celaka. Saya marah betul melihat situasi ini. Tapi saya harus marah kepada siapa? Kepada kapitalis yang sekarang berubah sebutan menjadi investor dan dipuja menjadi dewa penolong di mana-mana?"

Saya merasakan ada kebenaran yang sedang tergugat dalam pertanyaan Pak Karim. Benar, karena investasi memang sedang jadi pujaan, dan benar pula tanpa investasi keadaan ekonomi bisa menjadi lebih buruk. Celakanya yang menjadi korban awal adalah bangsanya keluarga Oki. Tetapi ketika investasi digalakkan ada dampak negatif yang biasa diabaikan. Yakni jutaan orang miskin termakan oleh propaganda penjualan barang-barang.

Karena rayuan iklan, orang-orang miskin tergiring untuk memiliki produk-produk yang boleh saja mereka inginkan tapi sesungguhnya belum mereka butuhkan. Namun karena rayuan iklan yang terus-menerus melalui berbagai media terutama TV, produk-produk yang baru boleh mereka inginkan berubah menjadi kebutuhan. Wish telah berubah menjadi need. Kaum pemodal telah sukses mengubah keinginan orang miskin atas produk-produk konsumsi menjadi kebutuhan. Bahkan, barang-barang konsumsi itu juga sudah disulap menjadi simbol status alias gengsi.

Demikian merasuk pengaruh kekuatan iklan sehingga anak miskin seperti Oki merasa benar ketika dia memilih membeli HP daripada beras yang sesungguhnya merupakan kebutuhan nomor satu. Ayahnya juga mendukung keputusan Oki karena HP yang digenggam anaknya dianggap bisa menjadi simbol kemajuan keluarga, jelas sangat ironis dan palsu.

"Eh, sampeyan ini bagaimana? Saya tunggu tanggapan malah diam?" Saya mengeluh panjang untuk menyatakan pikiran yang buntu. "Situasi yang mengungkung kita memang sulit," kata saya sekadar memenuhi harapan Pak Karim. "Ketergantungan kita kepada investor sudah demikian besar."

"Tampaknya mereka sudah berada pada posisi bisa mendiktekan apa saja kepada kita."

"Yah, kalau sudah begini kita mau apa?"

"Begini. Saya ingat dulu TVRI memberi pengantar pada acara pariwara dengan kalimat yang bijak: Banyak yang ditawarkan, beli yang dibutuhkan. Pengantar itu sangat kena. Beda dengan yang sekarang. Melalui gempuran iklan masyarakat digiring dan dibina untuk menjadi pembeli yang kemaruk dan tanpa pandang bulu."

"Kalau begitu kita tak usah nonton TV?"

"Saya yakin mampu melakukannya. Tapi orang miskin yang lain malah menjadikan TV sebagai kebanggaan dan kiblat kehidupan. Padahal sebagai media iklan, TV adalah jerat canggih yang telah makan banyak sekali korban. Keluarga si Oki hanya satu di antaranya."

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...