Senin, 14 November 2011

HIKMAH HIJRAH

Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., ketika seorang sahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah: “Setiap pekerjaan harus atau pasti disertai dengan niat. Maka, barangsiapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Dan barang siapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi, atau karena ingin mengawini seorang wanita, maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”

Ketika Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau berhijrah, motivasi utama mereka adalah guna memperoleh ridha Allah SWT, yang diyakini Mahakuasa dan Mahabijaksana. Menjelang hijrah, kaum Muslim berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya. Namun, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna. Hal ini diakibatkan oleh tebalnya iman mereka kepada Allah Yang Mahakuasa. Pokok pertama yang ditanamkan Rasul saw. kepada sahabat-sahabatnya – jauh sebelum berhijrah – adalah prinsip keimanan tersebut. Bukan saja karena keimanan kepada Allah merupakan ajaran dasar, tetapi juga karena iman membentengi manusia serta mengantarkan mereka kepada optimisme.

Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam Tafsir Al-Manar: “Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga merupakan petunjuk jalan ketika berjumpa dengan gelap keraguan. Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan. Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat penelitian atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang. Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersirat dari kulit yang tersurat. Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik, kecuali dari yang baik pula.”

Memang, dalam perjalanan hidup, terkadang ada timbul rasa ragu akan adanya Dia Yang Mahakuasa. Tetapi, jika kepercayaan tadi dicoba untuk ditinggalkan, akan terasa bahwa keraguan tidak hilang, tetapi justru bertambah.

Amir al-Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib pernah ditanya oleh Zi’lib Alyamani, dan terjadilah percakapan berikut:

“Apakah Amir Al-Mukminin pernah melihat Tuhan?”

“Bagaimana aku menyembah sesuatu yang aku tidak lihat?”

“Bagaimana tuan melihat Dia?”

“Dia tidak dapat dilihat oleh mata dengan pandangan yang nyata, tetapi Dia (keberadaan-Nya) dijangkau oleh hati dengan hakikat keimanan. Dia dekat dari segala sesuatu, tetapi tidak dapat disentuh. Dia jauh namun Dia tetap bersama segala sesuatu.”

Bagaimana kita dapat melihat Tuhan dengan pandangan mata, sedangkan sebagian bukti ada-Nya saja – yaitu matahari – tidak dapat ditatap oleh mata kita. Kelelawar di siang hari bolong tidak dapat melihat, bukan karena tidak ada sesuatu, tetapi karena memang baru di kegelapanlah matanya dapat melihat.

Perasaan akan adanya Allah dalam jiwa sanubari kita adalah sebagian hidup kita. Perasaan itu tidak dapat dipisahkan, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya kasih ibu kepada anaknya, atau kasih suami kepada istrinya dalam suatu rumah tangga yang bahagia. Perasaan tersebut harus selalu dipelihara, diasah dan diasuh agar tidak luntur atau berkurang. Demikian itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. selama di Makkah dan ketika beliau berada di Madinah.

Hijrah Rasulullah saw. telah berlalu empat belas abad lamanya. Namun, dari hijrah dan celah-celah peristiwanya, banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Berikut ini beberapa di antaranya.

Pengorbanan

Ketika Rasul saw. menyampaikan kepada Abu Bakar r.a. bahwa Allah SWT memerintahkannya untuk berhijrah, dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan, ketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasul saw. untuk memilih yang dikehendakinya. Terjadilah dialog berikut:

“Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku.”

“Unta ini kuserahkan untukmu.”

“Baiklah, tapi aku akan membayar harganya.”

Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun Nabi saw. tetap menolak, Abu Bakar pada akhirnya setuju untuk menjualnya. Mengapa Nabi saw. bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini – bahkan sesudahnya – Nabi saw. selalu menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? Di sini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga.

Rasulullah saw. ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar r.a. dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan pun, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah berfirman: Sesungguhnya hanya kepada Tuhanlah tempat kembali (QS 96: 8).

Makna Hidup

Rasulullah saw. berangkat ke Madinah sambil memesan kemanakannya, ‘Ali bin Abi Thalib, agar tidur di tempat pembaringannya, sambil berselimut dengan selimut beliau guna mengelabui kaum musyrik. Dengan kesediaannya ini, ‘Âli pada hakikatnya mempertaruhkan jiwa raganya demi membela agama Allah. Di sini, sekali lagi, kita ingin berhenti untuk menarik pelajaran tentang: Apa sebenarnya arti hidup menurut pandangan agama?
Hidup bukan sekadar menarik dan mengembuskan napas. Ada orang-orang yang telah terkubur, tapi oleh Al-Quran masih dinamai “orang yang hidup dan mendapat rezeki” (QS 3: 169). Demikian juga sebaliknya, ada orang-orang yang menarik dan mengembuskan napas, namun dianggap sebagai “orang-orang mati” (QS 35: 22).
Hidup dalam pandangan agama adalah kesinambungan dunia akhirat dalam keadaan bahagia, kesinambungan yang melampaui usia di dunia ini. Sehingga, dengan demikian, tiada arti hidup seseorang apabila ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban yang lebih besar dan melebihi kewajiban-kewajibannya hari ini. Setiap orang yang beriman wajib mempercayai dan menyadari bahwa di samping wujudnya masa kini, masih ada lagi wujud yang lebih kekal, dan dapat menjadi jauh lebih indah daripada kehidupan dunia ini.

Tawakkal dan Usaha

Ketika Rasul saw. bersama Abu Bakar r.a. bersembunyi di suatu gua yang dikenal dengan nama Gua Tsur dan para pengejar mereka telah berdiri di mulut gua tersebut, Abu Bakar r.a. sangat gentar dan gusar. Rasul saw. menenangkannya sambil berkata: “Jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita.” Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang kemudian terjadi dalam peperangan Badar, sekitar satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah ini. Ketika itu, yang gusar dan kuatir adalah Nabi Muhammad, sedang Abu Bakar r.a. yang menenangkan beliau.

Mengapa terjadi dua sikap yang berbeda dari Nabi dan Abu Bakar? Di sini, sekali lagi kita mendapat pelajaran yang sangat dalam menyangkut arti hakikat-hakikat keagamaan. Dua peristiwa yang berbeda di atas menuntut pula dua sikap kejiwaan yang berbeda dan keduanya diperankan dengan sangat jitu oleh Nabi Muhammad saw. Kedua hakikat keagamaan itu adalah tawakkal dan usaha (taqwa).

Rasul saw. diperintahkan untuk berhijrah seketika perintah itu tiba tanpa didahului – dalam waktu yang cukup lama – perintah bersiap-siap melaksanakan hijrah. Karena itu, perintah tersebut dilaksanakannya dengan penuh keyakinan bahwa Allah bersama mereka. Apa pun yang terjadi, maka itu adalah pilihan-Nya, sehingga ketika itu tiada lagi alasan untuk takut, gentar atau bersedih.

Berbeda halnya dengan peperangan. Jauh sebelumnya beliau telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi musuh: Siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS 8:60).
Kekuatiran Nabi ketika itu timbul karena keraguan beliau akan persiapan-persiapan yang telah dilakukannya selama ini. Karena, jika keraguan itu benar, tentulah beliau telah menjerumuskan umat, bahkan agama, ke jurang yang sangat berbahaya. Beliau dan tentaranya dapat kalah akibat kurangnya persiapan. Beliau sadar bahwa, dalam hal ini, Tuhan tidak memilih kasih.
Sekali lagi, kita mendapat pelajaran tentang arti tawakkal, kapan digunakan dan bagaimana batas-batasnya, serta arti dan pentingnya usaha dalam kehidupan ini.

Tentu masih banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw., sehingga wajar jika Umar bin Khaththab menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal kalender Islam.•

======================================================
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...