Selasa, 08 November 2011

KEGILAAN PERUBAHAN

Seorang teman, mengeluhkan anaknya yang duduk di SMP hampir tiap empat bulan, minta tambahan uang buat ganti model handphone. Tidak hanya anaknya, anak-anak lain yang masih duduk di bangku sekolah, kini juga punya perilaku serupa. Bagi teman tadi, bukan perkara uangnya mungkin, tapi ia gemas ‘dikerjai’ perubahan mode dan fitur dalam teknologi HP yang seperti tak pernah habis.

Saat ini, semua hal terus berderak dan berubah. Dari teknologi, iklim, tarif kendaraan, kehidupan, hingga dasar bumi yang terus bergejolak. Bahkan yang paling sederhana seperti kompor dan teknik masak pun berubah. Cara hidup lalu berubah. Orientasi juga berubah. Semuanya bagai hanyut di aliran deras sungai bernama perubahan. Arus perubahan ini demikian derasnya, sehingga tak ada lagi peluang untuk kembali ke belakang. Suatu yang baru pada hari ini, esok bangun tidur sudah menjadi usang dan uzur jadi rongsokan.

Sedemikian dahsyatnyakah perubahan ini? Semenjak peradaban dihentakkan konsep evolusi Darwin, perubahan memang keniscayaan. Perubahan mengalami percepatan hebat. Kita fasih mengucapkan kata revolusi. Tapi itu dulu. Sekarang kata revolusi, tak mampu menampung makna kecepatan perubahan yang terjadi. Hitungannya bukan lagi hari, melainkan detik. Dan drama perubahan ini, menyihir manusia yang hidup di dalamnya. Sampai-sampai, kita tak sempat lagi berpikir ke mana arus perubahan ini menuju.

Dalam percepatan perubahan ini, kita dihinggapi multiple kepribadian. Terjadi perbedaan, antara harapan dengan yang dikerjakan. Apa yang telah kita tuliskan sebagai visi, sama sekali berbeda dengan arah perubahan yang tak sengaja kita tapaki. Cita-cita kita lalu menyublim menjadi mimpi-mimpi.

Tengoklah, cita-cita pendiri republik ini dan bandingkan dengan perilaku elit kita sekarang. Atau beranikah kita menghitung deviasi antara cita-cita kita dulu dengan apa yang kita lakukan sekarang? Teruskan dengan bertanya tentang arah perubahan keluarga kita, perusahaan, organisasi atau tempat bekerja kita. Akhirnya kita harus menghitung sejauh manakah kita berubah, diubah atau mengubah. Bukankah hakikatnya, kita adalah khalifah yang jadi subjek perubahan, bukan jadi buih?

Saya percaya tak semuanya lalai. Saya juga percaya bahwa meskipun perubahan ini tampaknya seperti acak tanpa pola, namun sunnatullah-Nya pastilah ia akan mengarah kepada keseimbangan. Ujung dari perubahan ini adalah kerugian. Kecuali kepada penjunjung keimanan yang mau beramal saleh, dan komunitas yang saling terjaga dalam kebenaran dan kesabaran. Bagaimana dengan Anda?

M Arifin Purwakananta

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...