Tapi ketika aku tiba di rumah dengan badan kotor setelah meluncur dari bukit, atau memar karena berkelahi, atau luka di kepala karena terkena batu (bekas lukanya sebesar ibu jari dan berwarna keperakan) dia tidak mencabik-cabikku. Aku bahkan disambut dengan kehangatan api tungku dan juga keharuman sayur sop. Lalu, dia akan berusaha untuk memelukku, membersihkan wajahku atau merapikan rambutku, sedangkan aku selalu berusaha menghindar. Ibuku rajin dan kuat, dan juga masih muda: dia melahirkanku sebelum berumur tujuh belas tahun. Saat dia memelukku, nampak sekali kemiripan kulit kami, namun dalam hal lain, kami tidak mirip. Ibuku lebih tenang, sedangkan aku, menurut orang di desaku (di Mino yang terpencil ini belum ada cermin) lebih halus. Dia selalu menang bergulat dan akhirnya aku pun pasrah dalam pelukannya. Lalu ibuku akan membisikkan kata-kata pemberkatan pada Sang Hidden. Sedangkan ayah tiriku hanya bersungut-sungut saat melihat aku dimanjakan. Kedua adik tiriku yang masih gadis kecil akan melompat kegirangan untuk berbagi pelukan dan juga pemberkatan.
Jadi, kurasa, semua itu hanya gaya bicara ibuku. Mino adalah tempat yang damai, letaknya yang terpencil membuat desaku ini tidak tersentuh oleh perang antarklan. Tidak pernah terbayangkan kalau laki-laki dan perempuan di Mino akan dicabik-cabik menjadi delapan, atau kaki mereka terenggut dari sendinya lalu dilempar ke anjing lapar. Besar di lingkungan kaum Hidden membuatku tak pernah membayangkan orang dapat melakukan hal sekejam itu pada orang lain.
Ketika umurku beranjak lima belas tahun, ibuku mulai kehilangan saat-saat untuk bergulat denganku. Aku tumbuh enam inci setiap tahun, dan ketika aku berumur enam belas tahun, aku sudah lebih tinggi dari ayah tiriku. Dia lebih sering menggerutu, baginya aku seharusnya berhenti berkeliaran di gunung seperti monyet liar, dan segera menikah. Aku tidak keberatan untuk menikah dengan gadis di desaku, dan bekerja lebih keras selama musim panas agar aku mendapatkan kedudukan. Tapi aku sulit menahan godaan untuk pergi ke gunung. Suatu sore, aku menyelinap pergi melalui rimbunan bambu yang tinggi, berbatang licin dan berdaun hijau, lalu aku mulai menapaki jalan berbatu ke kuil dewa gunung, tempat penduduk desa meninggalkan sesajen berupa padi dan jeruk, tempat beberapa burung perkutut dan burung bul-bul bernyanyi riang, tempat aku memandang musang dan kijang sambil mendengarkan jeritan pilu burung elang di atas kepalaku.
Silakan unduh bukunya di sini untuk membaca cerita selengkapnya. Selamat menikmati dan teruslah berbagi.
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar