Senin, 07 November 2011

MAKNA HAJI MABRUR

Haji mabrur ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di Tanah Suci, sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari.

“Pakaian biasa” ditanggalkan dan “pakaian ihram” dikenakan. Pakaian dapat melahirkan perbedaan, menggambarkan status sosial, di samping juga dapat menimbulkan pengaruh psikologis.
Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Bukankah ibadah haji adalah kehadiran memenuhi panggilan Tuhan?
Apakah sekembalinya dari Tanah Suci, masih ada keangkuhan di dalam jiwa? Masih terasa adanya perbedaan derajat kemanusiaan? Masih ingin menang sendiri dan menindas orang lain? Kalau masih ada maka Anda masih mengenakan pakaian biasa, belum menanggalkannya.

Ka’bah merupakan lambang dari wujud dan Keesaan Allah, berthawaf di sekelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah terlepas dari-Nya. Ka’bah bagaikan matahari yang menjadi pusat tatasurya dan dikelilingi oleh planet-planetnya. Apakah setelah berthawaf di sana, segala aktivitas masih terikat oleh daya tarik pusat wujud ini, yaitu Tuhan Yang Mahaesa? Kalau tidak, maka sang haji keluar dari orbitnya sehingga hajinya belum lagi mabrur.

Sa’i yang arti harfiahnya usaha adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Bukankah Hajar, ibu Ismail a.s., mondar-mandir di sana mencari air untuk putranya? Apakah sekembalinya dari sana sang haji masih akan berpangku tangan menanti turunnya ”hujan” dari langit atau akan berusaha dengan segala daya melepaskan ”dahaga” kehidupan? Apakah sekembalinya dari sana, usaha yang dilakukan sebagaimana sa’i, yaitu berangkat dari Shafa yang arti harfiahnya ”kesucian dan ketegaran” dan berakhir di Marwah yang artinya ”ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan.” Kalau usaha masih berangkat dari kekotoran dan tidak bermuara pada penghargaan dan kemurahan hati, maka jauh panggang dari api.

Arafah arti harfiahnya ”pengenalan”. Ketika berada di sana, sang haji diharapkan mengenal jati dirinya, menyadari kesalahannya, bertekad tidak mengulanginya, serta menyadari pula kebesaran dan keagungan Penciptanya. Apakah ketika kembali, pengenalan tersebut masih berbekas, tekad masih membaja, dan kesadaran masih segar? Kalau tidak, maka saya khawatir jika kita bertemu dengan Nasher Khosrow, penyair Persia, ia akan berkata kepada kita seperti ucapannya kepada sahabatnya: ”Wahai sahabat, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji. Sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah. Memang engkau telah pergi ke Makkah untuk mengunjungi Ka’bah. Telah menghamburkan uang untuk membeli kekerasan padang pasir. Jika engkau berniat melakukan ibadah haji sekali lagi berbuatlah seperti apa yang kuajarkan ini.”[]

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...