Selasa, 19 Agustus 2014

NURANI

"Assalamu 'alaikum," ucap seseorang. Ternyata lawan bicara yang diberi salam tidak menyambut salam tersebut. "Ini pasti musuh," demikian, malah, bisikan hati si lawan bicara. Dan ketika itu pula dihunuslah pedangnya, maka bershembuslah nyawa si pengucap salam. Al-Quran pun turun menegurnya: Jangan berkata (bersikap) terhadap seseorang yang mengucapkan salam kepadamu, "Anda bukan mukmin". Dulu kalian juga demikian (QS 4: 94). "Dulu kalian juga demikian" dipahami oleh beberapa ahli tafsir bahwa dulu nurani kalian juga tidak percaya pada Islam, namun Allah membiarkan kalian, karena Dia tidak bermaksud memasung nurani.

Sementara itu, ada sahabat Nabi - yang mersasakan suatu ganjalan dalam jiwanya menyangkut Tuhan - berkata kepada Nabi saw.: "Wahai Nabi, ada ganjalan dalam jiwa kami. Lebih baik kami terjerumus ke jurang yang dalam daripada mengucapkannya." "Apakah kalian telah merasakan itu?" tanya Nabi. "Kami merasakannya," jawabnya. "Alhamdulillah, itulah iman. Alhamdulillah, Tuhan menggagalkan tipu daya setan sehingga hanya menjadikan keraguan. Nabi Ibrahim pun ragu, dan kita lebih wajar ragu daripada beliau," demikian tiga komentar Rasulullah saw.

Apa arti kedua teks keagamaan ini? Nurani sangat dihargai oleh Allah dan rasul-Nya, sampai-sampai keraguan iman pun kalau itu merupakan bisikan hati seseorang dibiarkannya. Tahukah Anda bahwa penghormatan kepada nurani melebihi penghormatan ini? Cobalah ceritakan bila Anda tahu. Jangan menilai keikhlasan Anda lebih dari keikhlasan orang yang berbeda pendapaat dengan Anda. Karena, "pernahkah Anda membelah dadanya?" tanya Nabi. Biarlah masing-masing bertanggung jawab atas pilihannya. Demikian agama memberi kebebasan pada nurani.

Pemerkosaan terhadap hak nurani lebih berbahaya daripada pemerkosaan terhadap jasmani. Bila yang terakhir ini hanya membatasi sikap dan ucapan atau menyakiti tubuh manusia, maka pemasungan nurani mencabut totalitas Anda sebagai manusia. Kebebasan nurani yang dianugerahkan oleh agama dibarengi dengan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab nurani itu sendiri: Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya (QS 75: 14-15). Karena itu, agama pun menegaskan bahwa siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu kembali kepada dirinya sendiri demikian pula sebaliknya. Karena tidak seorang pun dapat memikul dosa yang dilakukan oleh orang lain, sekalipun orang itu kerabat terdekatnya. Demikianlah agama memberikan kebebasan penuh kepada nurani sekaligus meletakkan tanggung jawab di atas pundaknya.

Nurani dapat terbentuk oleh pandangan hidup dan lingkungan, karena itu pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar. Kalau Anda gagal menetapkan peraturan, maka tak perlu gelisah atau menggerutu. Bukankah peraturan hanya membantu dan adanya pun tidak menjamin terlaksananya apa yang Anda inginkan?

Dewasa ini, tidak sedikit persoalan yang hangat dibicarakan dan menimbulkan polemik, yang sebenarnya dapat terselesaikan apabila petunjuk-petunjuk di atas dihayati.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kedupan, halaman 224-226

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...