tag:blogger.com,1999:blog-39129518231768586592024-03-18T14:02:57.055+08:00Tempat BerbagiBerbagi berbagai artikel, ebook, foto, audio, dan video penting.Muhammad Abidhttp://www.blogger.com/profile/03937776476767451553noreply@blogger.comBlogger1000125tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-76251150677519269092016-12-31T11:00:00.000+08:002017-01-09T23:57:01.468+08:00Belajar pada Abdul Sattar Edhi [Catatan Sosial 2016]Di penghujung 2016 ini, saya ingin mengajak Anda untuk <b><a href="http://membagikan.blogspot.com/2014/10/belajar-kepada-gandhi-dan-hasan-al-bashri.html" target="_blank">bersama-sama belajar</a></b> lebih banyak dari Abdul Sattar Edhi, pekerja sosial asal Pakistan, yang wafat 8 Juli 2016 lalu. Bagi saya, dia guru kemanusiaan terbesar tahun ini dan kita belum cukup memberi penghargaan kepadanya.<br />
<a name='more'></a><br />
Ketika Edhi akan dimakamkan lewat suatu upacara di Stadion Nasional Karachi, sebelum dikebumikan di makam yang digalinya sendiri, massa berduyun-duyun ikut mengusung peti jenazahnya, yang dibalut bendera hijau-putih (Pakistan).<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://geotimes.co.id/online/wp-content/uploads/2016/12/sattar-ambulans.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://geotimes.co.id/online/wp-content/uploads/2016/12/sattar-ambulans.jpg" height="344" width="640" /></a></div>
<br />
Kematian Edhi, yang seperti malaikat penolong bagi banyak orang miskin di negeri itu, yang dikenal lewat pasukan ambulansnya yang selalu siaga menolong siapa saja, membawa duka mendalam.<br />
<br />
Tapi Nawaz Sharif, Perdana Menteri Pakistan, juga menyatakan berduka. “Edhi permata sejati dan aset Pakistan. Kami kehilangan pelayan kemanusiaan yang luar biasa. Dia manifestasi cinta kepada orang-orang yang rentan, miskin, tertindas, dan sulit mendapat pertolongan,” katanya.<br />
<br />
<h2>
Kegagalan Negara</h2>
Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya bergejolak di benak sang Perdana Menteri saat itu—dan apa makna dukanya. Sebab, yang pertama-tama ditunjukkan Edhi sepanjang hayatnya adalah bahwa negara telah gagal mengurusi warganya—dan bahwa tiap warga harus siap mengurus diri sendiri. Yang ironis, negara itu adalah negara yang menyebut diri “Negara Islam” dan yang didirikan persis karena alasan keagamaan itu, hampir 70 tahun sebelumnya.<br />
<br />
Inilah yang menjadi awal kerja-kerja sosial Edhi. Lahir di Gujarat (kini di India), pada 1928, Edhi dan keluarganya yang Muslim harus pindah ke Karachi (kini di Pakistan) pada 1947: mereka jadi korban konflik sektarian yang membelah anak-benua Indo-Pakistan (disebut <i>Partition</i>).<br />
<br />
Di tanah baru ini, ibunya, yang sudah lama sakit-sakitan, wafat ketika Edhi 19 tahun. Dalam satu peristiwa mengenaskan, Edhi harus membawa ibunya ke rumah sakit dan diberitahu bahwa di kota itu hanya ada satu ambulan dan itu milik Palang Merah Internasional.<br />
<br />
Trauma di atas mendorong Edhi memulai kerja-kerjanya. Dia juga amat kecewa melihat lingkungan sekitarnya, “di mana ketidakadilan, sogok-menyogok dan perampokan sangat umum terjadi.” Dia mulai dengan membuka toko obat kecil di samping rumahnya, yang menawarkan obat-obatan sederhana, berapa pun bayarannya.<br />
<br />
Tempat itu kini masih menjadi rumahnya yang sederhana, yang ditinggali juga oleh istri dan empat anaknya. “Saya kira itu kewajiban saya sebagai manusia,” kata Edhi mengenang langkah-langkah awalnya dulu. “Saya dapat pastikan bahwa pemerintahan kami tidak akan mengurusi layanan-layanan sosial seperti itu.”<br />
<br />
Pada 1957, dia mendirikan Yayasan Edhi untuk menerima donasi dalam rangka membangun tenda-tenda rumah sakit bagi korban flu Hong Kong yang mengancam kala itu. Dari seorang pengusaha, dia memperoleh dana untuk membeli mobil ambulan yang dibawanya sendiri untuk menjemput orang-orang sakit. “Itulah pertama kalinya saya memperoleh kepercayaan yang besar,” katanya.<br />
<br />
Pada 1965, Edhi menikahi Bilquis Bano, seorang perawat di satu klinik miliknya. Dinakhodai Bilquis, Yayasan Edhi lalu membangun rumah bersalin gratis dan membantu proses adopsi anak-anak yatim atau bayi-bayi “terbengkalai”. <b>Mereka menyiapkan keranjang bayi di banyak tempat untuk siapa saja yang tak menghendaki bayinya</b>. Mereka juga mengumumkan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk tujuan yang sama, tanpa minta keterangan siapa sang ibu atau lainnya. Di samping kantornya ada ayunan bayi dan tulisan “Jangan Bunuh Anakmu.”<br />
<br />
Salah satu periode paling mengerikan bagi Edhi dan Balquis adalah perang 1965 antara India dan Pakistan, ketika Karachi dibom. Selain merawat mereka yang terluka dan sekarat, keduanya harus memandikan 45 mayat (Edhi yang laki-laki, Bilquis perempuan) dan menyiapkan pemakaman mereka. Dalam memoarnya, <b><i>A Mirror to the Blind</i></b> (1996), Edhi terang-terangan mengecam mereka yang merasa jijik dan terlalu suci untuk menyentuh tubuh orang-orang mati.<br />
<br />
Sejak itu hingga sekarang, Yayasan Edhi menjadi organisasi besar yang memberikan layanan ambulan, klinik, rumah yatim, bank darah, dan banyak lagi yang lainnya—semuanya gratis atau dengan bayar seadanya. Yayasan itu paling dikenal berkat 1.800 mobil ambulannya, yang selalu tiba pertama, lebih dulu dibanding yang lain, di tempat kejadian.<br />
<br />
Salah satu momen penting dalam karir Edhi terjadi pada Mei 2002, ketika polisi menemukan jasad Daniel Pearl, reporter Wall Street Journal yang dibunuh jaringan teroris di Karachi. Ketika tak seorang pun mau mengurusnya, Edhi tampil mengumpulkan sisa-sisa tubuhnya (maaf: yang tercerai-berai menjadi sepuluh potongan), “membersihkannya”, dan membawanya ke bandara.<br />
<br />
Karachi memang salah satu kota dengan tingkat kekerasan tertinggi di dunia. Tapi bahkan di kota ini pun kelompok-kelompok yang biasa saling serang tunduk kepada satu “kode etik”: jika ambulans Edhi tiba, semua tembak-menembak harus berhenti, agar para relawan Edhi bisa mengumpulkan mereka yang mati atau terluka dan membawa mereka pergi.<br />
<br />
Pemerintah Pakistan wajib malu kepada Edhi dan yayasannya, karena yayasan itu kini merupakan organisasi layanan sosial terbesar di negara itu. Sejak didirikan, yayasan itu telah menampung sekitar 20.000 bayi yang ditelantarkan, merawat sekitar 50.000 anak yatim, dan melatih lebih dari 40.000 perawat. Dan yang paling Edhi kagumi: jumlah armada ambulansnya kini terbesar yang dijalankan organisasi non-pemerintah di dunia. <b>Jika Anda di Pakistan dan sekarat tanpa sejawat sama sekali, telepon saja Edhi!</b><br />
<br />
<h2>
“Ambulans Saya lebih Muslim dibanding Kalian”</h2>
Banyak orang menyebut Edhi seorang “filantropis”. Mungkin semacam miliarder Bill Gates di Amerika Serikat atau lembaga Dompet Dhuafa di Indonesia. Meski tak pernah menemukan informasi bahwa Edhi terang-terangan menolak penyebutan itu, saya duga dia belum tentu gembira mendengarnya.<br />
<br />
Yayasan Edhi tak bergerak seperti umumnya filantropi modern bekerja. Selain bukan orang kaya, dia sendiri hanya mengumpulkan donasi langsung yang diberikan kepadanya. Hingga wafatnya, Edhi terus menunggu donatur yang datang—dan tak seorang pun minta bukti pembayaran darinya. Dia menolak dana dari pemerintah dan pergi ke mana-mana dengan ambulansnya, siapa tahu ada seseorang yang butuh bantuan di perjalanan. Pada 1991, dia pernah minta supaya dia tidak diundang ke banyak acara, karena “itu hanya akan menghabiskan waktu saya untuk membantu orang-orang lain.”<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://geotimes.co.id/online/wp-content/uploads/2016/12/kutipan-Sattar-Edhi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://geotimes.co.id/online/wp-content/uploads/2016/12/kutipan-Sattar-Edhi.jpg" height="236" width="640" /></a></div>
<br />
Dalam Yayasan Edhi, tidak ada birokrasi yang ruwet dan makan biaya, dan semua orang bekerja sebagai sukarelawan. Para dokter, perawat, dan sopir ambulans diharapkan membantu tanpa bayaran. Dalam satu adegan <b><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=ZCuCRgzEI7g" target="_blank">These Birds Walk</a></i></b> (2013), film dokumenter tentang Edhi, kita menyaksikan bagaimana seorang sopir ambulansnya keteteran harus menjemput seorang anak yang kabur dari panti asuhan tapi hendak kembali lagi.<br />
<br />
Yayasan Edhi juga dikenal imparsial, tidak memihak kelompok mana pun. Ketika suatu kali ditanya mengapa dia melayani semua orang tanpa pandang bulu, tanpa mendahulukan mereka yang Muslim, Edhi menjawab, “karena ambulans saya lebih Muslim dibanding kalian.”<br />
<br />
Ini pula yang mendorong Edhi untuk tak membatasi kiprahnya hanya di Pakistan. Pada 2005, ketika Hurricane Katrina menghantam Amerika Serikat, Yayasan Edhi mendonasikan US$100.000 kepada para korban.<br />
<br />
Karena keteguhannya memegang prinsip ini, Edhi sering menjadi target serangan kalangan konservatif dan radikal Muslim di Pakistan, yang menuduhnya atheis atau “kafir”. Tak heran jika dia kerap diancam mau dibunuh.<br />
<br />
Edhi tak pernah menggubris kecaman-kecaman seperti ini. Umum dikenal berkat janggut putihnya yang tebal dan sorot matanya yang tajam, dia hanya menjawab, “Agama saya adalah mengabdi kepada kemanusiaan dan saya percaya bahwa semua agama di dunia punya dasar-dasar kemanusiaan.” Kitab suci, katanya lagi, “harus terpancar dari jiwamu… Bukalah hatimu dan lihatlah para hamba Tuhan ini. Dalam penderitaan mereka, kamu akan menemukan-Nya.”<br />
<br />
<h2>
Nobel Perdamaian</h2>
Edhi kadang disebut “The Mother (Father) Teresa of Pakistan”, merujuk kepada kerja-kerja kemanusiaan Bunda Teresa di India, yang dianugerahi Nobel Perdamaian (1979). Meskipun dimaksudkan sebagai pujian, perbandingan ini tidak <i>fair</i> dan tidak memadai, karena keduanya bekerja dalam konteks yang berbeda. (Ini mengingatkan saya pada Abdul Ghaffar Khan, pemimpin Muslim perbatasan India-Afghanistan yang memang kawan dan pengikut Gandhi, yang sering sekali disebut “The Frontier Gandhi”, <b>seakan tidak ada yang khas dari Khan dibanding Gandhi</b>.)<br />
<br />
Banyak pula orang mengusulkan agar Edhi dianugerahi Nobel Perdamaian. Selain oleh para aktivis kemanusiaan di Pakistan dan seluruh dunia, usulan itu juga disampaikan Malala Yousafzai, perempuan belia Pakistan yang dianugerahi hadiah itu pada 2014 (bersama Kailash Satyarthi, aktivis hak-hak anak dari India). Hingga akhir hayatnya, Edhi tak memperoleh penghargaan itu.<br />
<br />
Saya duga Edhi juga tak pusing dengan sebutan dan penghargaan di atas. Dalam satu kesempatan dia menyatakan, “Saya mengharapkan hadiah yang lebih baik dari Allah, ketika nanti tiba saatnya saya berjumpa dengan-Nya.”<br />
<br />
Pada diri Edhi, saya menyaksikan contoh bagaimana Islam yang benar, yang merupakan rahmat bagi semesta alam itu, dijalankan dengan baik. Dengan sendirinya tanpa pamrih dan kesombongan, <i><b>riya’</b></i>. Terima kasih, Sattar Edhi.<br />
<br />
<i><a href="http://geotimes.co.id/belajar-pada-abdul-sattar-edhi/" target="_blank"><b>Ihsan Ali-Fauzi</b></a></i>Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-26635601224536372582015-12-22T08:05:00.000+08:002016-05-27T18:23:31.435+08:00Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran<!--[if gte mso 9]><xml> <o:OfficeDocumentSettings> <o:AllowPNG/> </o:OfficeDocumentSettings> </xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:EnableOpenTypeKerning/> <w:DontFlipMirrorIndents/> <w:OverrideTableStyleHps/> </w:Compatibility> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--"/> <m:smallFrac m:val="off"/> <m:dispDef/> <m:lMargin m:val="0"/> <m:rMargin m:val="0"/> <m:defJc m:val="centerGroup"/> <m:wrapIndent m:val="1440"/> <m:intLim m:val="subSup"/> <m:naryLim m:val="undOvr"/> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]-->Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu,<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn1" name="_ednref1" style="mso-endnote-id: edn1;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[121]</span></span></span></span></a> menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ayat-ayat kawniyyah</i></b>. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn2" name="_ednref2" style="mso-endnote-id: edn2;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[122]</span></span></span></span></a> Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.<br />
<a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal">
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">tibyanan likulli syay'i</i></b> (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html" target="_blank">dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi</a>.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn3" name="_ednref3" style="mso-endnote-id: edn3;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[123]</span></span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sesuatu</i> (QS 7:89). Dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku </i>(QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jawahir Al-Qur'an</i></b>.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn4" name="_ednref4" style="mso-endnote-id: edn4;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[124]</span></span></span></span></a> Di sini, dia mempersamakan antara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ilmu</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">kalam</i>, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui itu diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka."<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn5" name="_ednref5" style="mso-endnote-id: edn5;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[125]</span></span></span></span></a> Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<h2>
Al-Quran dan Alam Raya</h2>
<div class="MsoNormal">
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut:</div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 12.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo1; text-indent: -17.85pt;">
<br />
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">(1)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk --mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah SWT.</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">ultimate goal</i>).</div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 12.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo1; text-indent: -17.85pt;">
<br />
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">(2)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l1 level1 lfo2; text-indent: -18.0pt;">
<br />
<ol>
<li>Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.</li>
<li>Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).</li>
</ol>
</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 12.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo1; text-indent: -17.85pt;">
<br />
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">(3)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Redaksi ayat-ayat <b><i>kawniyyah</i></b> bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:</div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; mso-list: l0 level1 lfo3; text-indent: -18.0pt;">
<ol>
<li>Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"> </span></span></li>
<li>Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ummiyyin</i></b> yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.</li>
<li>Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini.<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"> </span></span></li>
<li>Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus ke dalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">kawniyyah</i></b> tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.</li>
</ol>
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir --khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<h2>
Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah</h2>
<div class="MsoNormal">
Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn6" name="_ednref6" style="mso-endnote-id: edn6;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;"><sup>[126]</sup></span></span></span></span></a> Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn7" name="_ednref7" style="mso-endnote-id: edn7;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;"><sup>[127]</sup></span></span></span></span></a> Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn8" name="_ednref8" style="mso-endnote-id: edn8;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[128]</span></span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, Al-Aqqad memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn9" name="_ednref9" style="mso-endnote-id: edn9;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[129]</span></span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn10" name="_ednref10" style="mso-endnote-id: edn10;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[130]</span></span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bint Al-Syathi' dalam bukunya, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah</i></b>, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran.<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn11" name="_ednref11" style="mso-endnote-id: edn11;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[131]</span></span></span></span></a> Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">tathbiq</i></b> (penerapan).<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn12" name="_ednref12" style="mso-endnote-id: edn12;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[132]</span></span></span></span></a> Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<h2>
Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya</h2>
<div class="MsoNormal">
Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antarayat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan</i>), ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan</i> (tumbuh-tumbuhan) <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dan Kami turunkan hujan dari langit ...</i>"<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn13" name="_ednref13" style="mso-endnote-id: edn13;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[133]</span></span></span></span></a> Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">fa</i></b>; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">fa anzalna min al-sama' ma'a</i></b> yang seharusnya diterjemahkan dengan maka <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kami turunkan hujan</i>. Huruf <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">fa'</i></b> yang berarti "<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">maka</b>" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menerjemahkan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">lawaqiha</i></b> dengan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">meniupkan</b> juga kurang tepat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara</i> (bagian-bagian<i style="mso-bidi-font-style: normal;">)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ...</i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_edn14" name="_ednref14" style="mso-endnote-id: edn14;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">[134]</span></span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahaesa itu.[]</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<h2>
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Catatan kaki</b></h2>
</div>
<div style="mso-element: endnote-list;">
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="edn1" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref1" name="_edn1" style="mso-endnote-id: edn1;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[121]</span></span></span></span></a> Jumlah ini adalah yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam Al-Zarkasyi, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an</i></b>, Al-Halabiy, Kairo 1957, jilid I, h. 249.</div>
</div>
<div id="edn2" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref2" name="_edn2" style="mso-endnote-id: edn2;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[122]</span></span></span></span></a> Lihat, antara lain, Thanthawi Jauhari, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an</i></b>, Kairo, 1350 H, jilid I, h. 3.</div>
</div>
<div id="edn3" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref3" name="_edn3" style="mso-endnote-id: edn3;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[123]</span></span></span></span></a> Lihat Mahmud Syaltut, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim</i></b>, Dar Al-Qalam, Mesir, Cetakan II, t.t., h. 13, dan seterusnya.</div>
</div>
<div id="edn4" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref4" name="_edn4" style="mso-endnote-id: edn4;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[124]</span></span></span></span></a> Al-Ghazali, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jawahir Al-Qur'an</i></b>, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I, t.t., h. 31.</div>
</div>
<div id="edn5" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref5" name="_edn5" style="mso-endnote-id: edn5;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[125]</span></span></span></span></a> Abu Ishaq Al-Syathibi, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Muwafaqat</i></b>, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t., jilid 1, h. 46.</div>
</div>
<div id="edn6" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref6" name="_edn6" style="mso-endnote-id: edn6;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[126]</span></span></span></span></a> Muhammad Ridha Al-Hakimi, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits</i></b>, Dar Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.</div>
</div>
<div id="edn7" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref7" name="_edn7" style="mso-endnote-id: edn7;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[127]</span></span></span></span></a> Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Syathahat Mushthafa Mahmud</i></b>, Dar Al-I'thisham, Kairo, 1976, h. 12.</div>
</div>
<div id="edn8" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref8" name="_edn8" style="mso-endnote-id: edn8;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[128]</span></span></span></span></a> Muhammad Ridha Al-Hakimi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loc cit</i>.</div>
</div>
<div id="edn9" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref9" name="_edn9" style="mso-endnote-id: edn9;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[129]</span></span></span></span></a> Abbas Mahmud Al-Aqqad, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah</i></b>, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 182.</div>
</div>
<div id="edn10" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref10" name="_edn10" style="mso-endnote-id: edn10;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[130]</span></span></span></span></a> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>.</div>
</div>
<div id="edn11" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref11" name="_edn11" style="mso-endnote-id: edn11;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[131]</span></span></span></span></a> Bint Al-Syathi', <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah</i></b>, Dar Al-Ilmu li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 313.</div>
</div>
<div id="edn12" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref12" name="_edn12" style="mso-endnote-id: edn12;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[132]</span></span></span></span></a> Muhammad Husain Al-Thabathaba'i, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tafsir Al-Mizan</i></b>, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h. 6.</div>
</div>
<div id="edn13" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref13" name="_edn13" style="mso-endnote-id: edn13;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[133]</span></span></span></span></a> Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Qur'an dan Terjemahannya</i></b>, Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.</div>
</div>
<div id="edn14" style="mso-element: endnote;">
<div class="MsoEndnoteText">
<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/12/ayat-ayat-kawniyyah-dalam-al-quran.html#_ednref14" name="_edn14" style="mso-endnote-id: edn14;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">[134]</span></span></span></span></a> Hanafi Ahmad, <b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah</i></b>, Dar Al-Ma'arif Mesir, 1960, h. 363, dan seterusnya.</div>
</div>
</div>
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2010/12/isi-buku-membumikan-al-quran.html" target="_blank">Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat</a>.</i>Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-5544283954795248822015-10-17T08:06:00.000+08:002016-05-27T18:23:56.102+08:00Pengajaran Akidah dan Syari'ah di Sekolah UmumSetiap pembahasan tentang pendidikan Islam biasanya disertai dengan suatu pertanyaan "Materi, sitem dan metode pendidikan apakah yang dapat dikatakan bersumber dari ajaran Islam, dan yang sekaligus dapat diterapkan dalam kehidupan kontemporer?" Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tersebut, khususnya dalam masalah akidah dan <b><i>syari'ah</i></b>, yang dihubungkan dengan kebenaran dan perkembangan materi ajaran agama serta kerukunan umat beragama.<br />
<a name='more'></a><br />
Adapun pokok-pokok pikiran yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah:<br />
<ol>
<li>Dalam bidang akidah: (a) Julukan kafir bagi yang mengatakan bahwa Isa itu Tuhan; (b) Julukan kafir bagi orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tiga; (c) Hukum haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir; (d) Bolehnya memerangi orang murtad dan menghalalkan darahnya; (e) Diharamkannya orang kafir menjadi seorang pemimpin; dan (f) Tidak ada agama di sisi Allah selain Islam.</li>
<li>Dalam bidang <b><i>syari'ah</i></b><i><b></b></i>: bersuci, aurat, shalat, dan zakat.</li>
</ol>
<h2>
Sifat Penyajian Materi Pendidikan Islam</h2>
Seperti diketahui, agama Islam menuntut agar manusia dididik dengan segala totalitasnya (jasmani, akal dan jiwa) tanpa perbedaan dan pemisahan, dan sedapat mungkin disajikan secara simultan. Hal ini terlihat jelas dalam <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">materi-materi yang disajikan Al-Quran</a> dan hadis. Uraian-uraiannya tidak hanya sekadar menyentuh jiwa, tetapi juga diiringi dengan argumentasi-argumentasi logis, atau yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (anak didiknya) melalui penalaran akalnya. Dengan ini, manusia akan merasa diajak berperan dalam menemukan, memiliki dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.[1]<br />
<br />
Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat adalah, walaupun materi yang disajikan bersumber dari Al-Quran dan hadis, namun ia telah disusun sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan sistematika ilmiah. Disadari atau tidak, persesuaian itu telah melucuti segi-segi ruhaniah dan aqliahnya---suatu hal yang selalu mengiringi materi yang disajikan Al-Quran dan hadis. Sehingga, pada akhirnya, walaupun berhasil, kita hanya berhasil melahirkan "ilmuwan-ilmuwan di bidang agama", bukan "agamawan-agamawan yang berilmu".<br />
<br />
Dari kenyataan seperti itu, maka tidak heranlah kalau para anak didik---bahkan, pendidik sendiri---merasa kesulitan dalam memahami petunjuk-petunjuk syariat Islam, apalagi melaksnakannya. Hal ini dapat menimbulkan tuntutan-tuntutan pembaruan yang tidak sejalan dengan ketetapan dan nilai-nilai Islam.<br />
<br />
Apa yang dikemukakan di atas menuntut agar materi pendidikan agama disajikan dengan menjelaskan <b><i>hikmah al-tasyri'</i></b>-nya. Ini diusahakan dengan tujuan agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh, tentu setelah materi-materi yang disajikan itu telah dipertimbangkan secara masak.<br />
<br />
<h2>
Materi Bidang Akidah</h2>
Secara umum, para ahli keislaman mengakui bahwa materi-materi yang ditemukan dalam berbagai akidah (teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi masa kini.[2] Materi-materi tersebut diambil oleh generasi demi generasi. Sedangkan penulisnya pertama kali dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik ketika itu, yang tergambar dalam superioritas pemerintahan dinasti-dinasti yang "mewakili" umat Islam, dan pertikaian kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menimbulkan kedengkian dan perselisihan di antara mereka.[3] Ekses-ekses negatif dari hal tersebut masih terasa hingga kini. Ia, antara lain, tergambar dalam kata-kata "kafir" yang terlontar ke kanan dan ke kiri seperti bola.[4] Hal ini menimbulkan berbagai pendapat yang jauh dari jiwa ajaran agama, bahkan menimbulkan kesalahpahaman terhadap <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">istilah-istilah Al-Quran</a> dan hadis.<br />
<br />
Seperti telah diuraikan di atas, materi-materi pelajaran agama yang didambakan adalah yang menguraikan kebenaran ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sekaligus mendorong terwujudnya kerukunan hidup antarumat beragama. Dengan kata lain, ia berusaha mewujudkan kerukunan yang tidak mengakibatkan pendangkalan atau kekaburan ajaran, sebagaimana tidak pula terjadi uraian kebenaran ajaran yang mengakibatkan terganggunya kerukunan.<br />
<br />
Bertitik tolak dari pandangan di atas, saya berpendapat bahwa materi-materi yang dirinci dan diharapkan untuk dikemukakan dalam tulisan ini, sebagian masih perlu dipertahankan dan dikembangkan, dan sebagian lagi wajar bila ditinggalkan.<br />
<br />
Butir-butir (a), (b) dan (c), tentang hukum kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir, merupakan hal-hal yang perlu disajikan untuk anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa para penganut ajaran Trinitas tidak disebut "kafir" oleh Al-Quran, melainkan disebut "<b><i>Ahl Al-Kitab</i></b>". Dan bahwa larangan (diharamkannya) wanita Muslim kawin dengan pria kafir sangat berkaitan erat dengan masa depan ketenteraman jiwa anak-anak, di samping keharmonisan kedua insan tersebut yang idealnya menganut agama yang sama. Dengan kata lain, larangan bukan disebabkan karena perbedaan, tetapi dampak dari perbedaan itu sendiri.<br />
<br />
Butir (d), tentang diperbolehkannya memerangi orang murtad, menurut hemat saya, seharusnya tidak dijadikan materi pembahasan. Ini bukan saja karena para ahli keislaman masih berbeda pendapat terhadap masalah ini, tetapi juga karena manfaat mengetahuinya tidak banyak. Bahkan, sebaliknya, bila butir ini dipahami secara keliru, bahwa "kebolehan" tersebut berlaku bagi setiap orang, maka akibatnya akan lebih berbahaya bagi stabilitas keamanan.<br />
<br />
Butir (e), tentang diharamkannya seorang kafir menjadi pemimpin, saya cenderung menghilangkannya dari materi pelajaran agama sampai tingkat SMA. Tetapi, kalaupun ia masih dianggap sesuai diajarkan, maka hendaknya penyajiannya harus utuh dan, paling tidak, menggarisbawahi dua hal. <i>Pertama</i>, arti "kafir" dalam Al-Quran tidak hanya terbatas pada non-Muslim, tetapi termasuk di dalamnya pelaku perbuatan yang bertentangan dengan tujuan agama.[5] Karenanya, paling tidak ditemukan lima arti kafir dalam Al-Quran,[6] yang pengejawantahannya sangat beragam. <i>Kedua</i>, sebab larangan pengangkatan tersebut dan batas-batasnya tidak dipahami secara jelas:[7] apakah larangan bekerja sama, mengikat perjanjian, atau bahkan menaruh kepercayaan dalam suatu persoalan.[8].<br />
<br />
Butir (f) tentang tiadanya agama di sisi Allah selain Islam, menurut saya, perlu disajikan sebagai materi pelajaran. Hanya saja, penjelasannya harus disertai dengan penjelasan tentang arti "Islam" dalam ayat tersebut. Dan bahwa bagi seorang Muslim, ungkapan tersebut harus dipahami sebagai sikap internal. Sedangkan sikap eksternal, dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, digambarkan dalam firman Allah berikut ini:<br />
<br />
<i>Katakanlah (wahai Muhammad): "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi?" Katakanlah: "Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat." Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui."</i> (QS 34: 24-26)<br />
<br />
<h2>
Materi Bidang Syari'ah</h2>
Materi-materi seperti bersuci, aurat, shalat, dan zakat merupakan materi yang harus disajikan kepada anak didik sedini mungkin. Dan tentu saja penyajiannya harus sejalan dengan metode yang digunakan Al-Quran sambil menekankan <b><i>hikmah al-tasyri'</i></b> (hikmah di balik penetapan suatu hukum keagamaan) yang dapat dijangkau pemikiran mereka.<br />
<br />
Salah satu dari keempat materi di atas, yaitu masalah aurat, merupakan materi yang membutuhkan penyelesaian yang berani dan bijaksana. Kajian tentang maksud ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini sangat dibutuhkan oleh seluruh umat Islam. Jika telah ditemukan dan disepakati, maka kaidah-kaidah yang memberikan keringanan atau yang membolehkan pelanggarannya---karena darurat atau kebutuhan mendesak---haruslah disertakan dalam materi. Bahkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang memberikan kemudahan-kemudahan, seperti yang <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">digarisbawahi Al-Quran</a> bahwa <i>Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan</i>, harus disertakan pula dalam materi ajaran agama.<br />
<br />
Dalam hal bersuci dan shalat, kita memuji keberanian Syaikh Nadim Al-Jisr, seorang Mufti Lebanon dan anggota Pusat Kajian Islam Mesir (<b><i>Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyyah</i></b>). Dalam pertemuan Pusat Kajian Islam Mesir II (1965), ia mengatakan: "Untuk menyadarkan pemuda-pemudi yang meninggalkan shalat akibat kesulitan yang mereka hadapi dalam bersuci, kita berkewajiban untuk memudahkan mereka bersuci dengan atau tanpa air pada saat adanya halangan, agar mereka merasa mudah dalam melaksanakan shalat dan terbiasa dengannya. Shalat inilah yang kelak menghalangi mereka melakukan pelanggaran dan kekejian, sebagaimana ia pula yang kelak menghalangi mereka bertayamum tanpa alasan yang dibenarkan. Hal ini lebih baik daripada meninggalkan shalat. Demikian pula, ada baiknya kita mempermudah mereka menjamak dua shalat di saat ada halangan, dengan bersandarkan pendapat kepada pendapat ulama Hanafi yang membolehkannya."[9]<br />
<br />
Pendapat terakhir ini sama dengan pendapat Syaikh Muhammad 'Abduh. Bahkan, sebagaimana diceritakan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, beliau secara pribadi mengamalkannya.[10]<br />
<br />
Syaikh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Rektor Al-Azhar dan Menteri Waqaf dan urusan Al-Azhar di Mesir, berpendapat bahwa wanita yang memakai pewarna kuku (<i>nail polish</i>) tidak diharuskan menghilangkannya sebelum bersuci. Pendapat ini dianalogikan dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengharuskan pemakai cincin yang sempit untuk melepaskannya ketika berwudhu, walaupun air tidak menyentuh bagian jari yang ditutupi cincin tersebut.[11]<br />
<br />
<h2>
Catatan Kaki</h2>
1. Lihat Abu Al-Karim Al-Khatib, <b><i>Qadhiyat Al-Uluhiyyah bayn Al-Din wa Al-Falsafah</i></b>, III, Dar Al-Fikr, Kairo, 1962, h. 319.<br />
2. Lihat lebih jauh Abu Halim Mahmud, <b><i>Al-Islam wa Al-‘Aql</i></b>; dan Mahmud Syaltut, <b><i>Al-Islam Aqidah wa Syari’ah</i></b>.<br />
3. Muhammad Al-Ghazali, <b><i>Aqidah Al-Muslim</i></b>, Dar Al-Kutub Al-Hasitsah, Kairo, 1965, h. 9.<br />
4. <i>Ibid</i>., h. 10.<br />
5. Muhammad Rasyid Ridha, <b><i>Tafsir Al-Manar</i></b>, IV, Dar Al-Manar, Kairo, 1367 H, h. 54.<br />
6. Arti-arti tersebut adalah: (1) tidak mengakui kebenaran ajaran Muhammad saw. (QS 2:2, 6); (2) tidak mengamalkan ajaran Islam (QS 2:3, 85); (3) tidak mensyukuri nikmat Tuhan (QS 14:4, 7); menolak untuk merestui sesuatu (yang bertentangan dengan agama sekalipun) (QS 60:4); (5) menutupi, baik tanah dengan benih (petani) (QS 57:20), maupun nikmat-nikmat Tuhan (tidak mengolahnya) (QS 16:112).<br />
7. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, <i>op. cit</i>., h. 81.<br />
8. <i>Ibid</i>., III, h. 277.<br />
9. <b><i>Al-Mu’tamar Tsani li Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah</i></b>, Al-Azhar, 1965, h. 347.<br />
10. Muhammad Rasyid Ridha, <b><i>Tarikh Al-Ustadz Al-Imam</i></b>, Al-Manar, Kairo, 1951, h. 6.<br />
11. “Al-Mar’ah wa Ramadlan,” dalam <b><i>Jaridat Al-Jumhuriyyah</i></b>, 12 Januari 1965.<br />
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2010/12/isi-buku-membumikan-al-quran.html" target="_blank">Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat</a></i>, halaman 184-188.Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-89985066847630690812015-09-17T08:17:00.000+08:002016-05-27T18:24:15.014+08:00Mengajarkan Tafsir di Perguruan TinggiDengan menyoroti pengajaran tafsir yang selama ini dikenal di Indonesia, yakni metode sorongan di pesantren dan metode muhadharah di perguruan tinggi, pemakalah*) menyentuh kelemahan-kelemahan pengajaran tafsir dewasa ini. Kelemahan-kelemahan dimaksud, bila disimpulkan secara sederhana, adalah bahwa kedua metode itu hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai produk tafsir, bukan ilmunya.**). Sementara itu, produk itu sendiri terbatas pada kitab tafsir yang dipilih oleh metode sorongan atau materi ayat-ayat dalam silabus yang dipilih oleh satuan pendidikan.<br />
<a name='more'></a><br />
Dikemukakan juga kelebihan-kelebihan kedua metode itu. Kelebihan metode sorongan, menurut pemakalah, adalah pada pemahaman peserta didik akan seluruh ayat yang dikemukakan dalam buku teks, sekaligus langkah-langkah mufasirnya. Sedangkan kelebihan metode <b><i>muhadharah</i></b>, sekaligus kelemahannya, terletak pada pemanfaatan waktu dan penyesuaiannya dengan spesialisasi peserta didik.<br />
<br />
Dari sini pemakalah mencari dan mengusulkan metode alternatif yang menggabungkan kedua metode di atas, sekaligus mengeliminasi kekurangan keduanya. Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan pemakalah tentang kelemahan-kelemahan kedua metode yang disebutkan, tanpa menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan lainnya yang belum sempat direkam oleh pemakalah dalam makalahnya.<br />
<br />
<h2>
Tafsir dan Pengajarannya</h2>
Baiklah, terlebih dahulu kita mendudukkan persoalan tafsir dalam kaitannya dengan upaya pengajaran. <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/06/sejarah-perkembangan-tafsir.html">Ada sekian banyak definisi mengenai tafsir yang dikemukakan oleh para pakar</a>. Ada yang dapat dipertemukan dan ada juga yang tidak. Salah satu sebab perbedaan yang tidak dapat dipertemukan adalah pandangan tentang ada atau tidaknya kaidah-kaidah tafsir yang dapat dijadikan patokan untuk memahami firman-firman Allah itu. Kemudian, kalau patokan-patokan itu ada, sampai di mana batasnya? Di sisi lain, terdapat perbedaan pandangan dalam sikap terhadap produk tafsir terdahulu, baik produk sahabat, tabi'in ataupun ulama-ulama berikutnya.<br />
<br />
Masing-masing pihak yakin dengan pandangan dan argumentasinya. Namun, yang pasti, pengajar yang menolak atau membatasi kaidah-kaidah itu akan membutuhkan waktu pengajaran lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh para pengajar yang memperhatikan kaidah-kaidah yang ada.<br />
<br />
<h2>
Pengajaran kaidah-kaidah Tafsir</h2>
Apabila seorang dosen menekankan pengajaran mengenai kaidah-kaidah tafsir, maka tanpa mengajarkan seluruh ayat yang berbicara tentang masalah atau kosakata yang sama atau mirip, peserta didiknya diharapkan mampu memahami ayat-ayat yang tidak dijelaskan itu berdasarkan kaidah-kaidah yang dipelajarinya.<br />
<br />
Di atas telah disinggung pandangan pemakalah tentang kelemahan kedua metode dari sisi keterbatasan waktu. Hal tersebut sepenuhnya benar. Memang, menurut pengamatan, jumlah ayat-ayat wajib yang selama ini ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan kurikulum dan silabus yang ditetapkan sangatlah terbatas. Sepanjang pengalaman, seorang dosen hanya mampu mengajarkan tidak lebih dari empat puluh ayat dalam satu semester. Artinya, sampai dengan selesainya program S-1, hanya sekitar 320 ayat, atau sekitar lima persen dari <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">jumlah keseluruhan ayat Al-Quran</a> saja yang diajarkan. Kalau demikian, dibutuhkan puluhan tahun untuk menghasilkan seorang calon mufasir. Karena, diakui oleh semua pihak, bahwa materi-materi tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "<b><i>Al-shina'at thawilah wa al-'umr qashir</i></b>" (Banyak yang harus dipelajari, padahal umur pendek), demikian kata Al-Zarkasyi, dalam mukadimah <b><i>Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an</i></b>.<br />
<br />
Pemakalah, menurut hemat saya, sangat optimis ketika menduga bahwa para mahasiswa "menguasai" ayat-ayat tersebut, walaupun yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penguasaan atas materi yang dituntut oleh tujuan pengajaran. Mudah-mudahan saja demikian.<br />
<br />
Di sisi lain, pemilihan ayat-ayat pun berkaitan dengan warna fakultas dan jurusan. Hal ini antara lain lebih banyak mengandung sisi negatifnya daripada positifnya, karena ia sedikit atau banyak dapat mengakibatkan tumpang tindih pengajaran tafsir dengan pengajaran bidang studi lain. Di Fakultas Syari'ah, misalnya, diajarkan ayat-ayat hukum. Padahal, persoalan-persoalan hukum telah mewarnai fakultas itu. Bukankah argumentasi satu pendapat yang diajarkan itu merujuk juga kepada ayat <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">Al-Quran</a>?<br />
<br />
Satuan pendidikan memang tidak dapat menghindar dari penetapan silabus yang menguraikan materi pengajaran. Namun, pilihan materi yang diajarkan seyogianya tidak diprioritaskan kepada kandungan makna ayat atau kepada pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu tertentu. Tetapi, hendaknya melampaui hal tersebut hingga mencakup <i>kunci-kunci</i> yang kelak dapat mengantarkan peserta didik untuk <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri</a>. <i>Kunci-kunci</i> yang dimaksud adalah kaidah-kaidah tafsir, baik yang diambil alih oleh mufasir dari disiplin ilmu bahasa, <b><i>ushul al-fiqh</i></b> dan sebagainya, maupun yang dirumuskan dari Al-Quran sendiri.<br />
<br />
Akhirnya perlu juga ditekankan bahwa silabus hanyalah pedoman dasar. Pengembangan dari dosen, berdasarkan diskusi kelas, tidak kurang pentingnya dalam menguraikan materi-materi ayat. IAIN Syarif Hidayatullah telah berupaya untuk mengarah ke sana, namun masih dalam bentuk awal. Masih dibutuhkan waktu, untuk menguji keandalannya.<br />
<br />
<h2>
Pengenalan terhadap Kitab-kitab Tafsir</h2>
Tidak dapat disangkal betapa pentingnya mempelajari karya-karya ilmiah ulama terdahulu dalam berbagai bidang ilmu, termasuk tafsir. Pengenalan akan karya-karya mereka akan sangat penting artinya bila materi pengajaran tafsir ditekankan pada penguasaan atas kaidah-kaidahnya. Melalui bacaan terhadap kitab-kitab tafsir, peserta didik akan menemukan apa yang diistilahkan oleh pemakalah sebagai "produk-produk" tafsir. Dengan demikian, materi ini dapat menutupi "kelowongan" yang diakibatkan oleh penekanan atas materi tafsir di atas.<br />
<br />
Hanya persoalannya adalah bahwa sebagian materi yang disajikan dalam kitab-kitab tersebut telah sangat ketinggalan zaman. Sehingga, ketelitian dalam pengajarannya amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr yang menyatakan bahwa penafsiran yang menggunakan metode <b><i>tajzi'iy</i></b> (metode yang pada umumnya digunakan oleh kitab-kitab tafsir selama ini) telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial bahkan kontradiktif di kalangan para ulama. Karenanya, selain penting untuk apa yang disebut pemakalah sebagai "memahami langkah-langkah mufasirnya dalam menafsirkan ayat, atau model penafsiran, termasuk metode, <b><i>manhaj</i></b>, dan produknya," penting juga untuk mengetahui latar belakang sosio-budaya tempat mufasir dimaksud hidup. Karena, hal ini, tentunya mempengaruhi produk penafsirannya.<br />
<br />
<h2>
Metode Pengajaran Tafsir</h2>
Mungkin tidak keliru kalau dikatakan bahwa metode pengajaran adalah pelaksanaan cara mengajar, atau cara pendidik menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik. Ia meliputi metode mengajar, alat bantu mengajar, dan penilaian. Memilih metode pengajaran tafsir di perguruan tinggi berkaitan erat dengan banyak hal, antara lain problem-problem yang dihadapi, kondisi objektif perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, perpustakaan, serta tujuan pengajaran yang ingin dicapai.<br />
<br />
Selama ini telah diperkenalkan metode Belajar Aktif yang merangsang keterlibatan mahasiswa baik secara intelektual maupun emosional dalam proses belajar-mengajar. Pola komunikasi satu arah, atau bahkan dua arah dalam arti keaktifan dosen menyampaikan dan mendengar dari mahasiswa, serta keaktifan mahasiswa mencatat dari dosen dan melaporkan hasil kerjanya, dapat dinilai kurang memadai. Kini yang dibutuhkan adalah komunikasi dan aktivitas dari tiga arah, antara sesama dosen, antara dosen dan mahasiswa, dan antara sesama mahasiswa.<br />
<br />
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, walaupun mahasiswa diberi penugasan untuk mencari dan menulis materi pelajaran dalam bentuk <i>paper</i>, namun <i>paper</i> tersebut sangat dangkal. Ini dikarenakan oleh keterbatasan bahan kepustakaan, baik akibat "kemalasan" atau ketidakmampuan mahasiswa maupun akibat miskinnya koleksi perpustakaan yang tersedia.<br />
<br />
Dalam pengalaman mengajar tafsir, seringkali terasa bahwa pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa sedemikian dangkal dan merupakan pengulangan dari yang selama ini terdengar. Membiarkan hal demikian akan menyita waktu yang tersedia. Tetapi, membiarkan dosen menyampaikan sendiri apa yang terdapat dalam benaknya menghasilkan komunikasi satu arah. Di sini diperlukan kearifan dosen.<br />
<br />
Lahirnya para mufasir membutuhkan adanya mahasiswa yang memiliki penguasaan bahasa yang memadai, dosen yang mampu membimbing mahasiswa ke arah yang diharapkan, serta ketekunan mereka semua. Tanpa hal tersebut, metode pengajaran apa pun yang diterapkan mustahil hasilnya akan menggembirakan.[]<br />
<br />
<h2>
Catatan Kaki</h2>
*) Pemakalah yang dimaksud adalah Drs. Jalaluddin Rakhmat, MSc. Tulisan ini memang merupakan bandingan atas makalahnya – Editor.<br />
<br />
**) Yang dimaksud oleh pemakalah dengan "produk tafsir" adalah hasil penafsiran seorang mufasir seperti buku-buku tafsir, misalnya <b><i>Tafsir Al-Maraghiy</i></b> karya Al-Maraghi atau <b><i>Tafsir Ad-Durr Al-Mantsur</i></b> karya Al-Suyuthi. Sedangkan "ilmu tafsir" mengacu pada metode penafsiran – Editor.<br />
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2010/12/isi-buku-membumikan-al-quran.html" target="_blank">Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat</a></i>, halaman 180-183.Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-56262880780263979802015-08-14T08:17:00.000+08:002016-05-27T18:24:38.945+08:00Konsep Pendidikan dalam Al-Quran<a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">Al-Quran mengintroduksikan dirinya sebagai "<i>pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus</i>" (QS 17:19)</a>. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Rasulullah saw., yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima Al-Quran, bertugas untuk <i>menyampaikan </i>petunjuk-petunjuk terebut, <i>menyucikan </i>dan <i>mengajarkan </i>manusia (QS 67:2). <i><b>Menyucikan</b> </i>dapat diidentikkan dengan <i><b>mendidik</b></i>, sedangkan <i>mengajar </i>tidak lain kecuali <i>mengisi benak anak didik</i> dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.[1]<br />
<a name='more'></a><br />
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah <i>pengabdian kepada Allah </i>sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Dzariyat 56: <i>Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepadaku</i>.[2]<br />
<br />
Aktivitas yang dimaksudkan di atas tersimpul dalam kandungan ayat 30 Surat Al-Baqarah: <i>Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi</i>, dan surat Hud ayat 61: <i>Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi </i>(tanah) <i>dan menugaskan kamu untuk memakmurkan</i>. Artinya, manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah.<br />
<br />
Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan Al-Quran adalah "membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah".[3] Atau, dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Al-Quran, "untuk bertakwa kepada-Nya."[4]<br />
<br />
Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) penerima tugas, dalam hal ini manusia, perorangan maupun kelompok; (3) tempat atau lingkungan, di mana manusia berada; dan (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.[5]<br />
<br />
Tugas kekhalifahan tersebut tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan. Khusus menyangkut kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya, harus digarisbawahi bahwa corak hubungan tersebut dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Dan karena itu, penjabaran tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing. Atas dasar ini, disepakati oleh seluruh ahli pendidikan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah "pakaian" yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.<br />
<br />
Seperti yang dikemukakan di atas, tujuan yang Al-Quran ingin capai adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah <b><i>adab al-din </i></b>dan <i><b>adab al-dunya</b></i>.<br />
<br />
Pembinaan manusia, atau---dengan kata lain---pendidikan Al-Quran terhadap anak didiknya, dilakukan secara bersamaan. Satu contoh sederhana adalah sikap Al-Quran ketika menggambarkan puncak kesucian jiwa yang dialami oleh seorang Nabi pada saat ia menerima wahyu. Di sana Al-Quran mengaitkan perilaku yang mengalami puncak kesucian tersebut dengan situasi yang bersifat material. Perhatikan ayat-ayat berikut:<br />
<br />
(a). Ketika Musa a.s. menerima wahyu, Allah, setelah memperkenalkan diri-Nya, berfirman: "<i>Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?</i>" (QS 20:17);<br />
(b). Ketika Nabi Muhammad saw. menerima wahyu, oleh Tuhan diingatkan: "<i>Janganlah engkau gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya</i>" (QS 75:16); atau<br />
(c). Gambaran yang dijelaskan oleh Al-Quran tentang sikap Nabi sebagai: "<i>Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak pula melampauinya</i>" (QS 53:17).<br />
<br />
Kalau uraian di atas dikaitkan dengan pembangunan nasional yang bertujuan "membangun manusia Indonesia seutuhnya" atau lebih khusus dibandingkan dengan tujuan pendidikan nasional, jelas sekali relevansi dan persesuaiannya. Dalam GBHN 1983 dinyatakan: "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa."<br />
<br />
Dalam rumusan di atas, jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia Indonesia yang: (a) tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; (b) cerdas dan terampil; (c) berbudi pekerti luhur dan berkepribadian; dan (d) memiliki semangat kebangsaan. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.<br />
<br />
Jika diamati, tidak satu pun dari butir-butir di atas yang tidak ditemukan dalam analisis ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan dalam uraian ini. Satu-satunya yang mungkin dipertanyakan adalah butir (d). Namun, bila disadari bahwa semangat kebangsaan pada hakikatnya adalah rasa kebersamaan hidup dalam suatu wilayah atau lingkungan, disertai kesadaran akan persamaan nasib, sejarah, dan masa depan, yang harus dipertanggungjawabkan bersama, maka pertanyaan tersebut tidak akan lahir, karena ia pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan salah satu tugas kekhalifahan yang tidak dapat diabaikan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kaitan semangat kebangsaan dengan fungsi kekhalifahan serta tugas memakmurkan bumi ditemukan pula secara jelas dalam ayat 13 surat Al-Hujurat, yang menjelaskan tujuan penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yakni untuk saling mengenal.<br />
<br />
<h2>
Metode Penyampaian Materi</h2>
Al-Quran Al-Karim, dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia, sebagaimana dikemukakan di atas, memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya: jasmani, akal dan jiwa. Atau, dengan kata lain, "mengarahkannya menjadi manusia seutuhnya". Karena itu, materi-materi pendidikan yang disajikan oleh Al-Quran hampir selalu mengarah kepada jiwa, akal dan raga manusia. Sampai-sampai ditemukan ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Allah SWT, yakni: "<i>Dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar</i>" (QS 8:17).<br />
<br />
Dalam penyajian materi pendidikannya, Al-Quran membuktikan kebenaran materi tersebut melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran akalnya. Ini dianjurkan oleh Al-Quran untuk dilakukan pada saat mengemukakan materi tersebut "agar akal manusia merasa bahwa ia berperan dalam menemukan hakikat materi yang disajikan itu sehingga merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk membelanya."[6] Hal ini ditemui pada setiap permasalahan: akidah atau kepercayaan, hukum, sejarah, dan sebagainya.<br />
<br />
Salah satu metode yang digunakan oleh Al-Quran untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan "kisah". Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.<br />
<br />
Dalam mengemukakan kisah-kisah, Al-Quran tidak segan-segan untuk menceritakan "kelemahan manusiawi". Namun hal tersebut digambarkannya sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan atau rangsangan. Kisah tersebut biasanya diakhiri dengan menggarisbawahi akibat kelemahan itu, atau dengan melukiskan saat kesadaran manusia dan kemenangannya mengatasi kelemahan tadi. Perhatikan misalnya kisah yang diungkapkan pada surat Al-Qashahsh 76-81. Di sini, setelah dengan bangganya Karun mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat hasil usahanya sendiri, suatu kekaguman orang-orang sekitarnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekayaannya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak pernah akan memperoleh keberuntungan yang langgeng. Atau kisah Nabi Sulaiman ketika terpengaruh oleh keindahan kuda-kudanya dalam surat Shad 30-35. Dalam ayat ini digambarkan betapa Nabi Sulaiman menyenangi kuda-kuda tersebut dan kemudian lengah, sehingga waktu Ashar berlalu tanpa sempat ia melaksanakan shalat. Ketika itu ia sadar dan disembelihnya (atau diwakafkannya) kuda-kuda itu yang telah menyebabkannya lalai melaksanakan shalat.<br />
<br />
Al-Quran bahkan, sama dengan sikap para pengarang novel, menganggap bahwa wanita adalah salah satu unsur terpenting dalam satu kisah.[7] Bahkan, agaknya Al-Quran juga menggambarkan mukaddimah hubungan seks, tetapi harus digarisbawahi bahwa gambaran tersebut tidak seperti apa yang dilakukan oleh sementara penyusun novel yang memancing nafsu dan merangsang birahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak perlu ditutup-tutupi atau dianggap sebagai satu kekejian.[8] Lihat misalnya kisah Yusuf dan Zulaikha dalam surat Yusuf 22-23. Di dalam ayat tersebut digambarkan tentang sikap istri penguasa Mesir itu merayu Yusuf, menutup pintu rapat-rapat secara berkata: "Ayo, inilah aku..."<br />
<br />
Al-Quran Al-Karim menggunakan juga kalimat-kalimat yang menyentuh hati guna mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Tetapi nasihat yang disampaikan ini selalu disertai dengan panutan dari si pemberi atau penyampai nasihat tersebut, dalam hal ini Rasul saw. Karena itu, terhimpunlah dalam diri Rasul berbagai keistimewaan yang memungkinkan orang-orang yang mendengar ajaran-ajaran Al-Quran untuk melihat dengan nyata penjelmaan ajaran atau nasihat tersebut pada pribadi beliau, yang selanjutnya mendorong mereka untuk meyakini keistimewaan dan mencontoh pelaksanaannya.<br />
<br />
Di samping itu, pembiasaan yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan ditempuh pula oleh Al-Quran dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya. Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif maupun aktif. Tetapi perlu diperhatikan bahwa yang dilakukan Al-Quran menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat dengan akidah atau etika. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan, ditemui pembiasaan tersebut secara menyeluruh.<br />
<br />
Hal ini dapat dibuktikan dengan larangannya yang bersifat pasti tanpa bertahap terhadap penyembahan berhala, syirik atau kebohongan. Sedangkan dalam soal-soal mengenai larangan minuman keras, zina atau riba, proses pembiasaan tersebut dijumpai. Demikian pula dalam hal kewajiban shalat, zakat, dan puasa.<br />
<br />
Apabila semua hal di atas telah ditempuh, janji-janji ganjaran pun telah dikemukakan. Namun, jika sasaran yang dituju belum juga berhasil, pada saat itu Al-Quran menjatuhkan sanksi-sanksinya, yang juga ditempuh secara bertahap: dimulai dengan pernyataan "<i>tidak mendapat kasih Tuhan</i>" (lihat misalnya Al-Nisa' 36, Al-Maidah 87, Al-An'am 141, dan sebagainya), kemudian disusul dengan ancaman amarah Tuhan (lihat antara lain Al-Nahl 106, Al-Nur 9, dan sebagainya), selanjutnya dengan ancaman peperangan langsung dari Tuhan (Al-Baqarah 278-279), lantas disusul dengan ancaman siksa di akhirat (Al-Furqan 68-69), dan siksa di dunia (Al-Taubah 39, dan lain-lain), dan akhirnya menjatuhkan hukuman secara pasti (seperti dalam Al-Maidah 38 dan Al-Nur 2).<br />
<br />
Demikianlah, selayang pandang, sebagian dari ciri-ciri metode yang ditempuh Al-Quran dalam rangka pendidikan umat. Kalau butir-butir metode yang digunakan Al-Quran itu kita gunakan untuk menyoroti metodologi pendidikan nasional, khususnya pendidikan agama, maka ditemukan dalam kenyataan banyak hal yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep tersebut.<br />
<br />
Di atas telah digambarkan bahwa Al-Quran menuntun peserta didiknya untuk menemukan kebenaran melaui usaha peserta didik sendiri, menuntut agar materi yang disajikan diyakini kebenarannya melaui argumentasi-argumentasi logika, dan kisah-kisah yang dipaparkannya mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan dalam berbagai aspkenya, dan nasihat yang ditunjang panutan. Sementara pendidikan kita, khususnya dalam bidang metodologi, seringkali sangat menitikberatkan pada hapalan, dan contoh-contoh yang dipaparkan bersifat ajaib, kiasan yang dikemukakan dengan bahasa yang gersang, tidak menyentuh hati, ditambah lagi nasihat yang diberikan tidak ditunjang oleh panutan pemberinya.<br />
<br />
Keberhasilan mencapai tujuan pendidikan nasional lebih sulit lagi dengan adanya tantangan yang besar akibat pengaruh ilmu pengetahuan <i>empiris, rasional, materialistis</i>, dan <i>kuantitatif </i>(ERMK), yang keseluruhan sistemnya dibangun atas dasar pengalaman dan dengan mudah dimengerti akal, terjangkau oleh pancaindera. Ini pada akhirnya mudah tersebar luas dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Melalui sistem ERMK ini, pemikiran dilatih dan pembuktian terus menerus diperdalam dengan "bahasa" yang tidak asing digunakan oleh kalangan banyak. Dapat digambarkan apa yang dapat dilakukan dengan metodologi yang ditemukan dalam kenyataan ketika menghadapi hasil sistem ERMK tersebut.<br />
<br />
<h2>
Pendidikan Sepanjang Hayat</h2>
Sifat pendidikan Al-Quran adalah "<i><b>rabbniy</b></i>", berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama. Sementara orang yang melaksanakan juga disebut "<b><i>rabbaniy</i></b>" yang oleh Al-Quran dijelaskan cirinya antara lain <i>mengajarkan kitab Allah, baik yang tertulis </i><i>(Al-Quran), maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta mempelajarinya secara terus menerus </i>(baca QS 3:79).[9]<br />
<br />
Jangkauan yang harus dipelajari, yang demikian luas dan menyeluruh itu, tidak dapat diraih secara sempurna oleh seseorang. Namun, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang ia mampu meraihnya. Karenanya, ia dituntut untuk terus menerus belajar. Nabi Muhammad saw., sekalipun telah mencapai puncak segala puncak, masih tetap juga diperintah untuk selalu memohon (berdoa) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (QS 20:114).<br />
<br />
Atas dasar itu, sangat populer apa yang oleh sementara orang dianggap sebagai hadis Nabi saw. yang berbunyi, "<i>Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad!</i>" Terlepas dari benar tidaknya penisbahan ungkapan tersebut terhadap Nabi, yang jelas ia sejalan dengan konsepsi Al-Quran tentang keharusan menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan sepanjang hayat. Ungkapan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ide yang terdapat dalam khazanah pemikiran Islam ini mendahului "<i>life long educatioan</i>" yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya <i><b>An Introduction to Lifelong Education</b></i>. Pendidikan seumur hidup yang dikemukakannya ini tentunya tidak hanya terlaksana melalui jalur-jalur formal, tetapi juga jalur informal dan nonformal, atau dengan kata lain pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan pemerintah.<br />
<br />
Bahkan, lebih jauh, dapat dikatakan bahwa Al-Quran tidak hanya menekankan pentingnya belajar, tetapi juga pentingnya mengajar. Dalam surat Al-'Ashr ditegaskan bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya adalah saling wasia-mewasiati (ajar-mengajar) tentang <i><b>al-haqq</b></i> (kebenaran). Ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.<br />
<br />
<h2>
Penutup</h2>
Apabila konsep pendidikan Al-Quran, yang secara teoretis sejalan dengan dasar-dasar pendidikan nasional yang dituangkan dalam GBHN, ingin dikaitkan dengan pembangunan nasional serta ditemukan relevansinya dalam bentuk yang berdaya guna, maka kita harus mampu menyoroti data empiris yang diperoleh dari masyarakat, sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang dibutuhkan guna lebih memantapkan keberhasilan yang telah dicapai. Setiap penyajian materi pendidikan harus mampu menyentuh jiwa dan akal peserta didik, sehingga dapat mewujudkan nilai etis atau kesucian, yang merupakan nilai dasar bagi seluruh aktivitas manusia, sekaligus harus mampu melahirkan keterampilan, dalam materi yang diterimanya. Hal ini menjadi keharusan karena ia merupakan tujuan pendidikan menurut konsep Al-Quran dan GBHN.<br />
<br />
Tujuan tersebut tidak akan mungkin tercapai melalui dogma, atau tutur kata dan nasihat semata, tanpa panutan. Ia hanya dapat dicapai antara lain melalui diskusi yang melibatkan akal pikiran, tutur kata yang menyentuh jiwa, serta kisah manusia yang baik dan yang buruk, disertai dengan panutan yang baik dari pendidik.[]<br />
<br />
<h2>
Catatan Kaki</h2>
1. Bandingkan dengan Amal Hamzah Al-Marzuqiy dalam <i><b>Nazhariyyat Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah bayn Al-Fard wa Al-Mujtama'</b></i>, Makkah, Syarikat Makkah, 1400 H, h. 1.<br />
2. Lihat penafsiran ayat tersebut oleh Musthafa Al-Kik dalam <i><b>Bayn 'Alamain</b></i>, Dar Al-Ma'arif, Kairo, 1965, h. 94.<br />
3. Muhammad Quthb, <b><i>Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah</i></b>, Dar Al-Syuruq, Kairo, 1400 H, Cetakan IV, Jilid I, h. 13.<br />
4. Kata "taqwa" dalam Al-Quran mencakup segala bentuk dan tingkat kebajikan dan karenanya ia merupakan wasiat Tuhan kepada seluruh makhluk dengan berbagai tingkatnya sejak Nabi hingga orang-orang awam.<br />
5. Lihat lebih jauh Muhammad Baqir Al-Shadr dalam <b><i>Al-Madrasah Al-Qur'aniyah Al-Sunan Al-Tarikiyah fi Al-Qur'an Al-Karim</i></b>, Dar Al-Ta'aruf, Beirut, 1980, h. 128.<br />
6. Abdul Karim Al-Khatib, <i><b>Qadhiyat Al-Uluhiyyat bayn Al-Din wa Al-Falsafah</b></i>, Dar Al-Fikr Al-Arabiy, Kairo, 1962, Jilid I, h. 319.<br />
7. Lihat Abdul Karim Al-Khatib, <i>op. cit., </i>h. 328.<br />
8. Bandingkan dengan Muhammad Quthb, <i><b>Jahiliyat Al-Qarn Al-Isyrin</b></i>, Wahbah, Mesir, 1964, Cetakan I, h. 216 dst.<br />
9. Kesinambungan tersebut dipahami dari penggunaan bentuk <i><b>mudhari' </b></i>(<i>present tense</i>) dalam redaksi ayat tersebut, yang bentuk itu diartikan oleh ahli-ahli kebahasaan sebagai menunjukkan kesinambungan peristiwa yang ditunjukkan oleh kekosakataannya.<br />
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2010/12/isi-buku-membumikan-al-quran.html" target="_blank">Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat</a></i>, halaman 172-179.Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-21128234423064615692015-07-13T08:15:00.000+08:002015-10-05T02:05:09.499+08:00Falsafah Dasar Iqra'<b><i>Iqra'</i></b> atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/sejarah-turun-dan-tujuan-pokok-al-quran.html">turunnya Al-Quran</a> (QS 29:48) bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya. Namun, keheranan ini akan sirna jika disadari arti <b><i>iqra'</i></b> dan disadari pula bahwa perintah ini tidak diturunkan kepada pribadi Nabi Muhammad saw. semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.<br />
<a name='more'></a><br />
Kata <i><b>iqra'</b></i> yang terambil dari kata <i><b>qara'a</b></i> pada mulanya berarti "<b>menghimpun</b>". Apabila Anda merangkai huruf atau kata kemudian angka mengucapkan rangkaian tersebut, Anda telah menghimpunnya atau, dalam bahasa Al-Quran, <i><b>qara'tahu qiratan</b></i>. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa <i><b>iqra'</b></i>, yang diterjemahkan dengan "<i><b>bacalah</b></i>", tidak mengharuskan adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya Anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa, beraneka ragam arti dari kata tersebut -- antara lain <i><b>menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya</b></i>, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "<b>menghimpun</b>" yang merupakan arti akar kata tersebut.<br />
<br />
<i><b>Iqra'</b></i>, demikian perintah Tuhan yang disampaikan oleh Jibril. Tetapi apa yang harus dibacanya? "<i><b>Ma aqra'?</b></i>" demikian pertanyaan Nabi -- dalam suatu riwayat -- setelah berulang kali Jibril menyampaikan perintah tersebut sambil merangkul beliau.<br />
<br />
<h2>
Akar Kata <i>Q</i><i>ara'a</i> dan pentinya Membaca</h2>
Sehubungan dengan itu ada baiknya kita menggali informasi dari Al-Quran tentang arti <i><b>qara'a</b></i> yang terulang tiga kali dalam Al-Quran, masing-masing pada surah ke-17 ayat 14 dan surah ke-96 ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata <b>Al-Quran</b> yang terulang sebanyak 70 kali.<br />
<br />
Jika diamati objek membaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata <i><b>qara'a</b></i> ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (QS 17:45 dan 10:94) -- dan terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah (lihat misalnya QS 17:14).<br />
<br />
Di sini, ditemukan perbedaan antara <i><b>membaca</b></i> yang menggunakan akar kata <i><b>qara'a</b></i> dengan <i><b>membaca </b></i>yang menggunakan akar kata <i><b>tala tilawatan</b></i> di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar (lihat misalnya QS 2:252 dan 5:27).<br />
<br />
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata <i><b>qara'a</b></i> digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam-raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci Al-Quran, majalah, koran, dan sebagainya.<br />
<br />
Objek <i><b>qira'at</b></i> yang demikian luas itu, memang dapat sedikit menyempit apabila dilihat dari dirangkaikannya perintah membaca dengan <i><b>qalam</b></i>, baik pada ayat keempat wahyu pertama maupun pada ayat kedua wahyu kedua yang menggunakan salah satu huruf alpabet (surah Al-Qalam). Namun, harus diingat bahwa sekian pakar tafsir kontemporer memahami kata <i><b>qalam</b></i> sebagai semacam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan juga harus diingat bahwa <i><b>qalam</b></i> bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.<br />
<br />
Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan "<i><b>bi ismi rabbika</b></i>" ("dengan nama Tuhanmu"). Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan "nama Allah" itu.<br />
<br />
Demikianlah, Al-Quran secara dini menggarisbawahi pentingnya "membaca" dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.<br />
<br />
<h2>
Arti Kata <i>Akram</i> dan Dorongan Al-Quran untuk Meningkatkan Minat Baca</h2>
Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan <i><b>wa rabbuka al-akram</b></i>. Ayat ini antara lain merupkan dorongan untuk meningkatkan minat baca.<br />
<br />
Dalam Al-Quran hanya dua kali ditemukan kata <i><b>al-akram</b></i>, yaitu pada ayat ke-3 surah Al-'Alaq dan pada ayat ke-13 surah Al-Hujurat, yaitu "<b><i>inna akramakum 'ind Allah atqakum</i></b>". Kata <i><b>akram </b></i>biasanya diterjemahkan dengan "<b>Maha Pemurah</b>" atau "<b>semulia-mulia</b>". Untuk memahami lebih jauh arti sebenarnya dari kata <i><b>akram</b></i>, sewajarnya kita kembali kepada akar katanya yaitu <i><b>karama</b></i> yang menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti <i><b>memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih</b>, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, </i>dan <i>kebangsawanan</i>.<br />
<br />
Dalam Al-Quran ditemukan kata <i><b>karim</b></i> terulang sebanyak 27 kali. Kata tersebut menyifati 13 hal yang berbeda-beda, seperti <b><i>qawl</i></b> (ucapan), <i><b>rizq</b></i> (rezeki), <i><b>zawj</b></i> (pasangan), <i><b>malak</b></i> (malaikat), <i><b>zhil</b></i> (naungan), <i><b>kitab</b></i> (surat), dan sebagainya.<br />
<br />
Tentunya, pengertian yang dikandung oleh sifat "<b>karim</b>" dari ayat yang berbeda-beda di atas harus disesuaikan dengan subjek yang disifatinya. Kata "<b>karim</b>" pada "<i><b>qawl</b></i>" (ucapan) tentu berbeda pengertiannya dengan kata "<b>karim</b>" pada "rezeki" atau "<i><b>zawj</b></i>" (pasangan). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, indah terdengar, benar susunan dan kandungannya, mudah dipahami serta menggambarkan segala sesuatu yang pembicara ingin sampaikan. Sedang kata <i><b>karim</b></i> pada "rezeki", yang dimaksud antara lain adalah <i>banyak, bermanfaat</i>, serta <i>halal</i>. Kalau demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kata <b><i>karim</i></b> dan kemudian <i><b>akram</b></i> digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya.<br />
<br />
Kembali kepada "<i><b>rabbuka Al-Akram</b></i>", yang disifati di sini adalah "<i><b>Rabb</b></i>" (Tuhan Pemelihara). Apakah kata <i><b>akram</b></i> yang berbentuk <i>superlative </i>ini akan dibatasi pengertiannya pada suatu hal tertentu? Jawabannya adalah tidak; apalagi ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut dari kata <i><b>karim</b></i>.<br />
<br />
"<i><b>Wa rabbuka Al-Akram</b></i>" mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan <b>puncak dari segala yang terpuji</b> bagi segala hambanya yang membaca.<br />
<br />
Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besar "<i><b>karam</b></i>" Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini dapat menjangkau sifat Tuhan Yang Mahamutlak dan tidak terbatas itu? Namun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan sebagai berikut:<br />
<br />
<i>"Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan </i><b>karam</b><i>-nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui."</i><br />
<i><br />
</i> <i>"Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan </i><b>karam</b><i>-Nya akan memberikan pandangan/pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut."</i><i><br />
</i><br />
<i><br />
</i> <i>"Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia </i><b>Akram</b><i> </i>(memiliki segala macam kesempurnaan).<i><br />
</i><br />
<br />
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.<br />
<br />
Tuhan dalam ayat ketiga ini menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca "demi karena Allah", maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.<br />
<br />
Apa yang dijanjikan ini terbukti secara sangat jelas dalam "<b>membaca</b>" ayat Al-Quran yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru atau dengan pengembangan-pengembangan pelbagai pendapat dari yang telah pernah dikemukakan. Hal ini terbukti pula dengan sangat jelasnya dalam "<b>pembacaan</b>" alam raya ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam.<br />
<br />
<h2>
Peradaban yang Dibangun oleh "Makhluk Membaca"</h2>
Demikianlah, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "<b>membaca</b>" adalah syarat utama guna membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, demikian pula sebaliknya. Maka, tidak mustahil jika pada suatu ketika "manusia" akan didefinisikan sebagai "makhluk membaca", suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi lainnya semacam "makhluk sosial" atau "makhluk berpikir".<br />
<br />
Sejarah umat manusia, secara umum, dibagi dalam dua periode utama: <i>sebelum penemuan tulis-baca </i>dan <i>sesudahnya</i>, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya tulis-baca, peradaban manusia tidaklah merambah jalan dan merangkak-rangkak, tetapi mereka telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban dari peradaban Sumaria sampai dengan peradaban Amerika masa kini. <b>Peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh yang lalu dan dapat dibaca oleh yang kemudian</b>. Manusia tidak lagi memulai dari nol, berkat kemampuan tulis-baca itu.<br />
<br />
Manusia bertugas sebagai <i><b>'abd Allah</b></i> dan juga sebagai <i><b>khalifah fi al-ardh</b></i>. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan dua tugas tersebut.<br />
<br />
Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia (Adam), ia memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk membangun peradaban (menjadi khalifah di bumi ini). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat.<br />
<br />
Ilmu, baik yang <i><b>kasbiy</b></i> (<i>acquired knowledge</i>) maupun yang <i><b>ladunniy</b></i> (abadi, <i>perennial</i>), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan <b><i>qira'at</i></b> -- pembacaan dalam arti yang luas.<br />
<br />
Kekhalifahan menuntut hubungan manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan menuntut juga kearifan. Karena, dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan mengharuskan adanya bimbingan terhadap makhluk agar mampu mencapai tujuan penciptaannya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya. Pengenalan ini tidak mungkin tercapai tanpa usaha <i><b>qira'at</b></i> (membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya).<br />
<br />
Demikianlah, <i><b>iqra'</b></i> merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusia.[]<br />
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2010/12/isi-buku-membumikan-al-quran.html">Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat</a></i>, halaman 167-171Adminhttp://www.blogger.com/profile/08110489493485149557noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-83178525002828110562015-05-01T08:11:00.000+08:002016-05-27T18:25:32.037+08:00Seni dan Budaya Islam Bagaikan MatahariBudaya bangsa yang bernafaskan Islam menjadi ciri Festival Istiqlal yang pernah diselenggarakan di Indonesia. "<b>Budaya</b>" secara sempit dapat dipahami sebagai "<b>seni</b>", dan dapat pula dipahami secara luas sehingga mencakup <b>segala aktivitas dari budi daya manusia serta seluruh pengetahuan dan pengalamannya yang menjadi pedoman tingkah laku manusia</b>.<br />
<a name='more'></a><br />
Adapun "<b>nafas Islam</b>" tidak mudah untuk merumuskannya. Walaupun demikian, isyarat maknanya dapat ditemukan, antara lain, dalam surah Al-Quran, yaitu <b>surah yang berbicara dalam konteks seni. Surah Al-Syams---demikian nama surah itu</b>---memulai uraiannya tentang pemandangan alam:<br />
<br />
<i>Matahari dan cahanya ketika naik sepenggalahan, bulan saat menyusul matahari, siang dan benderangnya, malam dan keheningannya, serta langit dalam pembinaan, dan bumi dengan penghamparannya</i> (ayat 1-6)<br />
<br />
Setelah itu, pada ayat berikutnya, berbicara tentang manusia dan <b>ilham yang diperolehnya, yang menghasilkan kedurhakaan dan ketakwaan, dan yang mengakibatkan keberuntungan dan kesengsaraan</b> (ayat 7-10). Kemudian surah ini juga berbicara tentang <b>Kaum Tsamud, yang dilukiskan dalam ayat lain sebagai memiliki keterampilan dan keahlian luar biasa dalam bidang seni pahat</b>. Bukan saja patung yang mereka ciptakan, tetapi istana-istana, bahkan gunung pun mereka pahat (ayat 74).<br />
<br />
Kepada mereka diutus Nabi Shaleh untuk membawa bukti kebenaran Ilahi dan sejalan dengan keterampilan mereka, yaitu "unta hidup yang tercipta dari batu gersang". Mereka diperintahkan memberi minum dan memelihara "karya seni ciptaan Tuhan ini" (ayat 13), karena, melalui unta itu pun mereka dapat hidup---bukan saja karena, konon, perahan susunya menghidupi mereka, tetapi yang pasti adalah kehadiran unta itu dapat mengantarkan mereka kepada "kehidupan abadi" berkat kesadaran religius yang seharusnya dilahirkan dari karya seni Ilahi yang Mahasempurna.<br />
<br />
Akibat dikalahkan oleh karya seni ciptaan Tuhan itu, keangkuhan kaum Tsamud pun nampak. Keangkuhan ini mengantarkan mereka membunuh unta, dan karenanya jatuhlah palu godam Tuhan atas diri mereka (ayat 11-15).<br />
<br />
Demikian surah ini yang <b>dengan penuh keserasian dan keindahan menguraikan secara runtut pemandangan alam, manusia, dan ilham yang menghasilkan budaya atau seni, baik yang terpuji maupun yang tercela</b>, serta <b>contoh karya seni yang sempurna, yakni yang hidup, memberi kehidupan</b>, serta kewajiban memeliharanya.<br />
<br />
Itulah sebagian <b>ciri budaya yang bernafaskan Islam yang diisyaratkan dalam surah Al-Syams (Matahari)</b>. Penamaan ini sendiri seakan sebagai isyarat bahwa <b>karya seni dan budaya harus selalu bagaikan matahari dengan aneka sifat dan fungsinya</b>.<br />
<br />
Seniman dan budayawan bebas melukiskan apa saja. Selama ciri di atas terpenuhi, maka karyanya dinilai sebagai bernafaskan Islam.<br />
<br />
<b>Tidak terlarang melukiskan atau menggambarkan kelemahan manusia</b>. Al-Quran pun melukiskannya, bahkan cumbu-rayu dan hubungan seksual dijelaskan dengan bahasa yang halus, terselubung, <b><a href="http://dibagi.blogspot.com/2014/09/selera-rendah.html" target="_blank">tidak menimbulkan rangsangan atau mengundang tepuk tangan bagi yang berselera rendah</a></b>. "Ditutupnya pintu rapat-rapat sambil berkata 'ayo kemari';" inilah rayuan istri penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf yang diabadikan dalam Al-Quran (QS 12: 23).<br />
<br />
Dewasa ini, banyak karya seni yang hidup. Gambar pun dihidupkan melalui bioskop dan televisi. Hanya saja, sering kali <b><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/search/label/Video" target="_blank">gambar hidup</a></b> itu mematikan kesadaran religius penontonnya, bahkan kadang menuntun penonton ke kebinasaan. Yang demikian itu, menurut surah Al-Syams adalah <b>karya yang mengilhamkan kedurhakaan</b>, dan mereka ini sungguh-sungguh merugi dan wajar apabila mendapatkan palu godam Ilahi.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 369-371.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-47384470660884041202015-04-01T02:10:00.000+08:002016-05-27T18:25:51.992+08:00Cendekiawan MuslimDalam <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia</i>, kata <b>"cendekia"</b> antara lain diartikan sebagai <b>"cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar"</b>, sedangkan <b>"cendekiawan"</b> artinya adalah <b>"orang yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu"</b>.<br />
<a name='more'></a><br />
Dalam Al-Quran kita dapat menemukan sifat dan peranan mereka dari sejumlah ayat yang menggunakan kata <b>"ilmu"</b> atau <b>"ulama"</b> dan <i><b>ulul albab</b></i>. Dua kali kata ulama disebut dalam Al-Quran: <i>pertama</i> dikemukakan dalam konteks ajakan memperhatikan fenomena alam (QS 35: 28) dan <i>kedua</i> dalam konteks uraian tentang kebenaran Kitab Suci ini (QS 26: 197). Dengan demikian, yang dimaksud <b>cendekiawan</b> adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci dan atau yang terhampar di alam raya.<br />
<br />
Lebih jauh lagi jika kita amati ayat-ayat yang berbicara tentang <b>"ilmu"</b>, dalam berbagai bentuknya, yang terulang sebanyak 854 kali (bersama kata-kata lain yang semakna), maka secara jelas ditemukan bahwa Al-Quran menekankan keharusan bagi ilmuwan untuk bersikap <i><b>khasyah</b></i> (takut), <i><b>istislam</b></i> (berserah diri [kepada Allah]), <i><b>al-infitah</b></i> (keterbukaan) dalam arti kesediaan untuk memberi dan menerima dari dan untuk siapa pun tanpa mempertimbangkan usia atau lokasi, dan <i><b>insaniyah</b></i> yakni mengabdikan hasil pengetahuan untuk kemanusiaan tanpa membedakan agama, ras, atau bangsa.<br />
<br />
Penjabaran dari sikap atau sifat ini nampak dengan jelas pada ungkapan seperti "tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina"; "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad"; "hikmah adalah dambaan setiap Muslim, dari mana pun sumbernya, dia lebih berhak memilikinya"; "ilmu tanpa pengabdian bagaikan pohon tanpa buah", dan lain-lain.<br />
<br />
Di sisi lain, para ulama atau cendekiawan dinilai Al-Quran sebagai telah mewarisi Kitab Suci (baca QS 38: 32) dalam arti memahami dan <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/09/memfungsikan-al-quran.html" target="_blank"><b>mengaktualkan fungsi Al-Quran</b></a> sebagai "pemberi putusan bijaksana dan jalan keluar bagi perselisihan dan problem umat manusia" (baca QS 2: 213). Dari istilah <i><b>ulul albab</b></i>, yang dalam Al-Quran terulang sebanyak 16 kali, ditemukan bahwa mereka memiliki tiga ciri utama, yakni <b>berzikir</b>, <b>memikirkan atau mengamati fenomena alam</b>, dan <b>berkreasi</b> (lihat QS 3: 190-195).<br />
<br />
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa para cendekiawan memiliki dua tuntutan besar. <i>Pertama</i>, mempelajari Kitab Suci dalam rangka memahami, menyebarluaskan, dan menerapkan nilai-nilainya di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam kebutuhan dan problemnya. <i>Kedua</i>, mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini, baik dalam diri manusia secara perorangan maupun berkelompok, di samping juga mengamati fenomena alam dan kemudian berkreasi. Hal ini berarti bahwa mereka harus selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan sosial, dan bahwa peran mereka tidak sekadar merumuskan atau mengarahkan tujuan-tujuan, tetapi juga sekaligus memberi contoh pelaksanaan dan sosialisasinya.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 358-360Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-14574804061918458062015-03-14T00:00:00.000+08:002015-03-14T05:23:22.454+08:00Sajak Sebotol Bir<i>Menenggak bir sebotol,</i><br />
<i>Menatap dunia,</i><br />
<i>Dan melihat orang-orang kelaparan.</i><br />
<i>Membakar dupa,</i><br />
<i>Menciumi bumi,</i><br />
<i>Dan mendengar derap huru-hara.</i><br />
<a name='more'></a><i><br />
</i> <i>Hiburan kota besar dalam semalam,</i><br />
<i>Sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa.</i><br />
<i>Peradaban apakah yang kita pertahankan?</i><br />
<i><br />
</i> <i>Mengapa kita membangun kota metropolitan,</i><br />
<i>Dan alpa terhadap peradaban di desa?</i><br />
<i>Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,</i><br />
<i>Dan tidak kepada pengedaran?</i><br />
<i><br />
</i> <i>Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,</i><br />
<i>Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing,</i><br />
<i>Akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam.</i><br />
<i>Kota metropolitan di sini,</i><br />
<i>Adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina,</i><br />
<i>Amerika, Australia, dan negara industri lainnya.</i><br />
<i><br />
</i> <i>Di manakah jalan lalu lintas yang dulu,</i><br />
<i>Yang menghubungkan desa-desa dengan desa-desa?</i><br />
<i>Kini telah terlantarkan.</i><br />
<i>Menjadi Selokan atau kubangan.</i><br />
<i>Jalan lalu lintas masa kini,</i><br />
<i>Mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,</i><br />
<i>Adalah alat penyaluran barang-barang asing,</i><br />
<i>Dari pelabuhan ke kabupaten-kabupaten,</i><br />
<i>Dan bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.</i><br />
<i><br />
</i> <i>Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,</i><br />
<i>Tidak untuk petani, tetapi</i><br />
<i>Untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.</i><br />
<i><br />
</i> <i>Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.</i><br />
<i>Di mana kita hanya mampu berak dan makan,</i><br />
<i>Tanpa daya untuk menciptakan.</i><br />
<i>Apakah kita akan berhenti sampai di sini?</i><br />
<i><br />
</i> <i>Apakah semua negara yang ingin maju,</i><br />
<i>Harus menjadi negara industri?</i><br />
<i>Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik,</i><br />
<i>Yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan?</i><br />
<i>Harus senantiasa menghasilkan?</i><br />
<i>Dan akhirnya memaksa negara lain,</i><br />
<i>Untuk menjadi pasaran barang-barang kita?</i><br />
<i><br />
</i> <i>Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata?</i><br />
<i>Apakah pemikiran ekonomi kita?</i><br />
<i>Hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme?</i><br />
<i>Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira?</i><br />
<i>Apakah kita akan hanyut saja,</i><br />
<i>Di dalam kekuatan penumpukan,</i><br />
<i>Yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan,</i><br />
<i>Terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia?</i><br />
<i><br />
</i> <i>Kita telah dikuasai satu mimpi,</i><br />
<i>Untuk menjadi orang lain.</i><br />
<i>Kita telah menjadi asing,</i><br />
<i>Di tanah leluhur sendiri.</i><br />
<i>Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,</i><br />
<i>Dan menghamba ke Jakarta.</i><br />
<i>Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi,</i><br />
<i>Dan menghamba kepada Jepang,</i><br />
<i>Eropa, atau Amerika.</i><br />
<i><br />
</i> Pejambon Jakarta, 23 Juni 1977.<br />
<br />
<b>W.S. Rendra</b><br />
<i><b>Potret Pembangunan dalam Puisi</b></i>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-51164196773428342482015-02-15T05:46:00.001+08:002015-02-15T05:46:56.543+08:00Kebahagiaan Bermurah HatiTidak mudah memang, berbagi dengan orang lain, apalagi ketika kita merasa kurang. Harta yang sudah kita dapatkan dengan susah payah, rasanya sayang bila harus dibagi dengan orang lain. Bukankah itu hasil kerja keras kita, sehingga kita yang paling berhak untuk menikmatinya? Masih banyak keperluan dan keinginan yang hendak kita penuhi. Rasanya tidak rela bila harus mengurangi jatah kita untuk kepentingan orang lain.<br />
<a name='more'></a><br />
Semakin banyak harta yang kita miliki, tidak berarti semakin ringan kita dalam memberi. Banyak orang kaya yang lebih senang menumpuk uangnya atau menghabiskannya dengan berfoya-foya, daripada harus membaginya dengan orang lain yang membutuhkan. Sifat kikir dan boros ini memang dapat menjangkiti siapa saja, yang lupa bahwa semua hartanya adalah pemberian Allah dan ada hak orang lain di dalamnya.<br />
<br />
Rasulullah saw. bersabda:<i> </i><br />
<br />
<i>Jauhilah kekikiran. Sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan (umat-umat) sebelum kamu.</i> (HR. Muslim).<br />
<br />
<i>Barangsiapa melakukan pemborosan (royal dan <b>tabdzir</b>) maka Allah akan mencegahnya dari perolehan (rezeki).</i> (HR. Asysyihaab).<br />
<br />
<i>Dari Asma’ binti Abu Bakar ra. bahwa dia menemui Nabi saw., lalu beliau bersabda: “Janganlah kamu berkarung-karung (kamu kumpulkan harta dalam karung lalu kamu kikir untuk menginfaqkannya) sebab Allah akan menyempitkan rezeki bagimu dan berinfaqlah dengan ringan sebatas kemampuanmu.’</i> (HR. Bukhari).<br />
<br />
<i>Dari Fathimah binti Al Mundzir dari Asma’ ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Bersedekahlah kamu dan jangan menghitung-hitung, karena Allah akan menghitung-hitung pula pemberian-Nya kepadamu. Dan janganlah kikir, karena Allah akan kikir pula kepadamu.’”</i> (HR. Muslim).<br />
<br />
Seluruh harta yang kita miliki merupakan karunia Allah yang patut kita syukuri. Harta tersebut bukan semata-mata milik kita, melainkan juga titipan agar digunakan untuk seluas-luas manfaat. Berbagi dengan orang lain, berbuat kebaikan dengan apa yang kita punya, adalah bentuk rasa syukur atas segala kebaikan dan nikmat yang kita terima. Semakin ringan kita berbagi, semakin lapang hati kita. Allah juga akan meluaskan rezeki dan mendekatkan kita dengan surga-Nya. Sabda Rasulullah saw.:<br />
<br />
<i>Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati (dermawan). Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset (jatuh). Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia dan dekat kepada surga. <b>Seorang yang bodoh tapi murah hati (dermawan) lebih disukai Allah daripada seorang alim tapi kikir</b>.</i> (HR. Ath-Thabrani).<br />
<br />
<i>Kemurahan hati adalah dari (harta) dan pemberian Allah. Bermurah hatilah niscaya Allah bermurah hati kepadamu.</i> (HR. Ath-Thabrani).<br />
<br />
<i>Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (<b>Anshar</b>) sebelum (kedatangan) mereka (<b>Muhajirin</b>), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.</i> (QS. Al-Hasyr: 9).<br />
<br />
Tidak ada yang dirugikan dari sifat kikir kita kecuali diri kita sendiri. Allah tidak menyukai dan menyempitkan rezeki kita, manusia menjauhi kita, kita pun seakan selalu merasa kurang. Rasulullah saw. pun berlindung dari Allah dari sifat yang menghancurkan ini.<br />
<br />
<i>Dari Anas bin Malik ra. dia berkata,”Nabi saw. selalu mengucapkan: ‘Ya Allah, <b>aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, kekikiran dan kepikunan</b>. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.’</i> (HR. Bukhari).<br />
<br />
<i>Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.</i> (QS. Muhammad: 38).<br />
<br />
<a href="http://alifmagz.com/?p=12920" target="_blank"><b>Alif Magazine</b></a> Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-50084008065067537682014-10-28T11:00:00.000+08:002016-05-27T18:26:12.736+08:00AIDS: Pelanggaran Atas FitrahDewasa ini banyak peristiwa yang dapat membuktikan salah satu istilah keagamaan yang tidak cukup populer, yaitu <b><i>'uqubat al-fithrah </i></b>(<b>hukuman atas pelanggaran fitrah</b>). <i><b>Fithrah </b></i>berarti <b>"asal kejadian", "jati diri"</b>, atau <b>"naluri manusia"</b>. Adapun fitrah manusia sangat beragam dan bertingkat-tingkat, salah satunya adalah agama (QS 30: 30).<br />
<a name='more'></a><br />
Agama sebagai fitrah mengandung makna bahwa tidak satu pun petunjuknya yang bertentangan dengan jati diri manusia. Di sisi lain, melalui <i><b>'uqubat al-fithrah</b></i> dinyatakan bahwa setiap pelanggaran terhadap fitrah manusia atau ajaran agama, maka -- cepat atau lambat -- pasti akan ada sanksi atau hukuman atas pelanggaran tersebut.<br />
<br />
Satu dari sekian banyak contoh yang dapat dikemukakan adalah penyakit AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1979 di New York pada diri seseorang yang melakukan hubungan seksual yang tidak normal. Kemudian berturut-turut ditemukan banyak lagi penderita yang pada umumnya memiliki kebiasaan seksual yang tidak normal tersebut.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://static.rappler.com/images/hiv-aids-youth-ribbon-20130301-rappler.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://static.rappler.com/images/hiv-aids-youth-ribbon-20130301-rappler.jpg" height="225" width="400" /></a></div>
<br />
Hubungan seks adalah fitrah dan manusiawi. Namun demikian, menurut fitrahnya, hubungan ini harus dilakukan dengan lawan jenis. Pria mencintai wanita, atau wanita mencintai pria, itulah fitrah. Karena itulah agama tidak melarang mengadakan hubungan seks, bahkan menganjurkan perkawinan. Tetapi karena fitrah manusia adalah monogami, maka agama melarang poliandri (berhubungan dalam waktu yang bersamaan dengan banyak lelaki), berbeda dengan pria yang memiliki kecenderungan berpoligami. Karena itu agama tidak melarang dan hanya membatasinya dengan menetapkan syarat-syaratnya yang ketat agar izin tersebut tidak disalahgunakan. Inilah fitrah. Inilah agama. Kalau ini dilanggar pasti ada sanksinya: Ada <i><b>'uqubat al-fithrah</b></i>.<br />
<br />
Penyebab utama AIDS adalah hubungan seksual yang bertentangan dengan fitrah, yakni homoseksual dan perzinaan (hubungan seks antara seorang wanita dengan banyak pria). Al-Quran menamai hal ini sebagai <i><b>fahisyah</b></i> atau keburukan yang melampaui batas. Karena itulah sanksi yang diberikan cukup berat: Ada sanksi agama dan ada juga hukuman lainnya yang termasuk dalam istilah <i><b>'uqubat al-fithrah</b></i>, dan AIDS adalah contoh dari <i><b>'uqubat </b></i>tersebut.<br />
<br />
Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda: <i>Tidak mejaralela </i><b>fahisyah </b><i>dalam suatu masyarakat, sampai meeka terang-terangan melakukannya, kecuali tersebar pula wabah dan penyakit di antara mereka yang belum pernah dikenal oleh generasi terdahulu.</i><br />
<br />
AIDS belum pernah dikenal di masa lampau, dan hingga kini obatnya pun belum ditemukan. Yang lebih parah lagi, mereka yang tidak berdosa dapat terjangkit. Ini salah saltu yang diperingatkan oleh Al-Quran: <i>Berhati-hatilah terhadap cobaan atau sanksi yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berlaku aniaya di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah Mahakeras siksa-Nya </i>(QS 8: 26).<br />
<i> </i><br />
Kewaspadaan terhadap penyakit ini harus ditingkatkan, bukan sekadar dalam bentuk membagikan kondom, tetapi yang lebih penting adalah memberantas penyebabnya. Salah satu di antaranya adalah rangsangan seksual yang secara sadar atau tidak sering dipamerkan kepada khalayak umum.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 325-327Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-62842296586685608182014-10-23T17:00:00.000+08:002016-05-27T18:26:40.549+08:00Memahami Datangnya Bencana AlamApakah bencana alam itu merupakan kehendak Tuhan? Kalau demikian, di mana rahmat kasih sayangnya? Ataukah bencana itu di luar kehendak-Nya? Kalau begitu, adakah yang terjadi di luar kehendaknya?<br />
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://bpbd.bengkuluprov.go.id/wp-content/uploads/2014/08/Rumah-Terbalik-Akibat-Gempa-di-Jepang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://bpbd.bengkuluprov.go.id/wp-content/uploads/2014/08/Rumah-Terbalik-Akibat-Gempa-di-Jepang.jpg" height="253" width="400" /></a></div>
<br />
Ada yang berkata bahwa gempa bumi itu merupakan peristiwa alam dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikit pun. Keterlibatan Tuhan, menurut pendapat mereka, telah selesai dengan selesainya penciptaan alam. Ada juga yang memahaminya sebagai kehendak Tuhan semata, tidak ada keterlibatan siapa pun seakan-akan tidak ada sistem yang diciptakan Allah bagi tata kerja alam raya ini. Ada juga yang mengakui bahwa gempa adalah peristiwa alam, tetapi ada keterlibatan Tuhan dalam rangka rahmat dan pemeliharaan-Nya terhadap alam ini. Yang Mahakuasa menghendaki sesuatu di balik peristiwa itu, di samping keterlibatan manusia dengan sikap atau ulahnya.<br />
<br />
Memang, gempa tidak terjadi begitu saja. Tuhan tidaklah sewenang-wenang memerintahkan bumi berguncang atau laut menerjang sehingga terjadi bencana. Sebelumnya ada hukum-hukum yang ditetapkan-Nya menyangkut sistem kerja alam raya. Inilah hukum-hukum alam.<br />
<br />
Tidak sepotong ayat pun yang mengisyaratkan bahwa bumi berguncang dengan sendirinya. Tetapi ia "diguncangkan", maka terjadilah gempa. Hanya saja, ketika Al-Quran berbicara tentang pelaku guncangan itu, seringkali digunakan bentuk pasif; tidak dijelaskan siapa pelakunya. Sedangkan dalam sekian ayat yang berbicara tentang terjadinya gempa secara faktual, Al-Quran menggunakan kata "Kami". Redaksi ini---bila merujuk kepada Allah---maka ia, antara lain, untuk mengisyaratkan bahwa ada keterlibatan selain Allah pada peristiwa itu. Boleh jadi manusia itu sendiri, atau paling tidak hukum-hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. <br />
<br />
<b>Boleh jadi manusia---karena kedurhakaannya---menjadi penyebab dan korbannya sekaligus, sebagaimana kisah Qarun yang diuraikan dalam Al-Quran</b>. Qarun adalah orang yang melimpah ruah kekayaannya, tapi tidak memiliki rasa kesetiakawanan sosial, bahkan enggan mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat anugerah Ilahi. Gempa yang merenggut nyawa dan seluruh hartanya adalah sanksi baginya dan pelajaran bagi yang lain.<br />
<br />
Boleh jadi juga korban tidak berdosa, tetapi melalui mereka Allah memperingatkan kepada yang lain sambil membuktikan Kekuasaan dan Keesaan-Nya.<br />
<br />
Keserasian alam raya adalah salah satu bukti Keesaan-Nya. Ada manusia yang menjadikan keserasian itu sebagai bukti kekuatan <i>nature</i> (alam) dan ketiadaan Tuhan. Allah membuktikan kepada mereka kehadiran-Nya, melalui guncangan-guncangan yang terjadi.<br />
<br />
Anda jangan mereka disia-siakan Tuhan, justru sebaliknya mereka ditempatkan di tempat yang amat terhormat, Itu sebabnya agama menamai juga para korban tersebut sebagai <i><b>syuhada'</b></i>[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 322-324.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-45505574837020835142014-10-16T00:01:00.000+08:002015-02-15T06:05:43.617+08:00Ihwal IklanAnda tentu pernah melihat kucing yang sedang marah. Ia bagaikan meniup dirinya sehingga tubuhnya terlihat lebih besar. Hasil tiupan itu adalah tipuan belaka, namun boleh jadi itu dapat ditolerir karena ia sedang menghadapi musuh atau mempertahankan eksistensinya.<br />
<a name='more'></a><br />
Ada juga manusia yang meniup dirinya seperti halnya kucing. Ini dilakukan bukan hanya ketika marah atau menghadapi musuh, tetapi juga pada saat dia merayu, mencari simpati bagi dirinya atau karyanya. Sekadar untuk menyebut nama, Nietszche, filosof Jerman, dan Al-Biqa'i, pakar tafsir dari Syam adalah contohnya.<br />
<br />
Sebenarnya semua orang senang dipuji, bahkan filosof berpendapat bahwa semua aktivitas manusia, termasuk keinginan dipuji dan atau memuji, merupakan salah satu cara manusia mempertahankan eksistensinya. Sebab---kata sang pemikir---pujian dirasakan sebagai tanda kekaguman, dan ketika itu rasa aman akan eksistensi terpenuhi. Beragama pun, katanya, tidak terkecuali, hanya saja eksistensi di sini, melampaui wujud duniawi.<br />
<br />
Pujian, boleh jadi secara tulus datang dari puhak lain, boleh jadi juga diminta oleh yang bersangkutan. Pesan sponsor, istilah kita sekarang, atau iklan dalam bahasa yang lebih halus. Ada pujian yang mudah dipercaya, walaupun bohong dan menyesatkan dan ada juga sebaliknya. Iklan mudah dipercaya antara lain karena ia disampaikan secara simpatik dan dengan sedikit humor. Untuk jelasnya Anda dapat mengamati iklan-iklan di media massa, khususnya di <a href="http://buku-lentera-hati.blogspot.com/2014/10/ihwal-acara-acara-televisi-kita.html" target="_blank"><b>layar televisi</b></a>.<br />
<br />
Iklan obat di televisi akhir-akhir ini disoroti oleh berbagai kalangan karena dinilai menyesatkan. Sorotan itu bukan hanya menjadikannya pujian terburuk, tetapi juga amat berbahaya, karena yang dihadapi bukan musuh, tidak juga ditayangkan untuk mempertahankan eksistensi seperti halnya kucing di atas, tetapi yang dihadapi adalah bangsa sendiri yang mendambakan obat. Sedangkan obat yang ditawarkan menyesatkan, bahkan dapat mengganggu eksistensi. Sikap semacam ini telah menanggalkan nilai-nilai moral dan agama, yang seharusnya menghiasi setiap aktivitas.<br />
<br />
Agama menuntut dalam setiap akad atau transaksi agar objeknya dijelaskan. Jual beri kucing dalam karung tidak dibenarkan. Dalam hal ini Nabi bersabda: <i>"Siapa yang melamar seorang wanita, sedangkan dia menyemir rambutnya, maka hendaklah ia menyampaikan itu, kepada yang dilamarnya." </i>Kewajiban ini bukan hanya terletak di pundak penjual, tetapi juga bagi setiap orang yang boleh jadi mengetahui. <i>"Tidak dibenarkan seseorang menjual kecuali ia jelaskan keadaan jualannya. Tidak pula dibenarkan yang mengetahuinya untuk tidak menjelaskannya," </i>begitulah sabda Nabi saw.<br />
<br />
Ketika Nabi ke pasar dan menemukan seorang yang menjajakan barangnya dengan cela yang disembunyikan, beliau bersabda: <i>"Siapa yang menipu </i>(menyembunyikan cela jualan) <i>maka ia bukan kelompok kita." </i>Ini baru yang menyembunyikan cela, bagaimana pula yang bukan sekadar menyembunyikannya, tetapi mengiklankan keistimewaan barangnya, padahal iklan tersebut menyesatkan?<br />
<br />
Agama tidak melarang iklan, tidak juga pujian yang wajar. Ia hanya berpesan khususnya dalam bidang bisnis, sebagaimana firman Allah: <b><i>Jangan makan harta benda di antara kamu secara batil </i></b>(QS 9: 188).<br />
<br />
Maksud ayat di atas adalah jangan melakukan suatu aktivitas---apa pun bentuknya---yang dapat merugikan dirimu dan orang lain di dunia atau di akhirat.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 319-321Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-18711727580323483902014-10-11T21:57:00.000+08:002016-05-27T12:42:14.788+08:00Menguji Kebenaran Sebuah BeritaInformasi merupakan kebutuhan manusia, bukan saja pada abad modern ini, tetapi sejak manusia tercipta. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya naluri ingin tahu yang menghiasi makhluk manusia.<br />
<br />
Adam a.s. terperdaya oleh rayuan Iblis melalui naluri ingin tahunya: <i>Hai Adam, maukah Aku tunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan abadi?</i> (QS 20: 120).<br />
<a name='more'></a><br />
Informasi Iblis ini ternyata bukan hanya salah tetapi sekaligus menyesatkan. Al-Quran mengingatkan penerima informasi untuk menimbang bahkan menyelidiki dengan seksama informasi yang disampaikan khususnya oleh orang-orang yang tidak terpercaya (baca QS 49: 6). Di sisi lain kepada pembawa berita, Al-Quran berpesan: <i>Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang</i> <b>sadid</b> (QS 33: 70).<br />
<br />
Kata <i><b>sadid</b></i> dalam pesan di atas, bukan hanya berarti<b> "benar"</b>. Lebih jauh dari itu, kata ini dalam berbagai bentuknya pada akhirnya bermuara kepada makna <b>menghalangi</b> atau <b>membendung</b> (dalam arti <b>yang tidak sesuai, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna</b>). Atas dasar makna ini para ulama menekankan bahwa semua ucapan apa pun bentuk dan kandungannya, di samping harus sesuai dengan kenyataan juga harus menjamin sasarannya untuk tidak terjerumus ke dalam kesulitan, bahkan membuahkan manfaat.<br />
<br />
Dari sinilah dikenal ungkapan <i><b>li kulli maqam maqal wa likulli maqal maqam</b></i> (untuk setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai). Boleh jadi ada kebenaran yang harus Anda tangguhkan penyampaiannya demi kemaslahatan.<br />
<br />
Umar r.a melihat Abu Hurairah berjalan tergesa-gesa dan kemudian menegurnya: "Akan ke mana, hai Abu Hurairah?"<br />
<br />
"Ke pasar, menyampaikan apa yang kudengar dari rasul saw., bahwa siapa yang mengucapkan <i><b>la ilaha illa Allah</b></i> ia akan masuk surga," jawabnya.<br />
<br />
Umar menarik Abu Hurairah dan menemui Rasul guna menguji kebenaran informasi tersebut. Akhirnya Rasul saw. membenarkan. Namun demikian, Umar mengusulkan agar berita itu tidak disampaikan kepada sembarang orang karena khawatir menimbulkan kesalahpahaman dan Rasul menyetujui usul Umar.<br />
<br />
Apakah ini ketertutupan atau tanggung jawab? Apa pun namanya, yang pasti kalimat yang disampaikan adalah amanat yang harus dipelihara dan dipertanggungjawabkan. Menarik sekali mengamati sistematika ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan soal ini. Setelah memerintahkan untuk mengucapkan kata-kata yang benar dan membawa kemaslahatan serta setelah menjelaskan dampak positif dari petunjuk tersebut (QS 33: 70-71) baru disusulnya penjelasan itu dengan: <i>Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan menerimanya</i> (karena) <i>takut menyia-nyiakannya, lalu amanat tersebut</i> (diterima untuk) <i>dipikul manusia, sesungguhnya manusia amat aniaya lagi amat bodoh</i> (QS 33: 72).<br />
<br />
Amanat yang dimaksud adalah petunjuk-petunjuk agama atau akal pikiran. Dalam bidang informasi, kebodohan manusia antara lain tampak pada ketidakmampuannya memilah dan memilih tempat, waktu, dan bahan informasi yang tepat guna. Sedangkan penganiayaannya tercermin antara lain dalam informasi dan ucapannya yang keliru dan menyesatkan, seperti memutarbalikkan fakta, menimbulkan <a href="http://dibagi.blogspot.com/2014/09/selera-rendah.html" target="_blank"><b>selera rendah</b></a>, melucukan yang tidak lucu, dan sebagainya yang kadang melanggar setiap norma.<br />
<br />
Entah sudah seberapa jauh kebodohan dan penganiayaan yang kita lakukan selama ini. Maha benar Allah ketika menyatakan Manusia sungguh bodoh lagi aniaya.<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a></b>, halaman 313-315 Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-44215822069718212092014-10-06T18:19:00.000+08:002015-02-15T06:06:22.451+08:00Ben Affleck dan Pembelaan yang Menghantam KepalaJangan pernah membuat Batman kesal.<br />
<a name='more'></a><div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="309" src="//www.youtube.com/embed/vln9D81eO60" width="550"></iframe><br /></div>
<div style="text-align: center;">
Diterbitkan tanggal 3 Oktober 2014</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="413" src="//www.youtube.com/embed/O9d-9GM9RGQ" width="550"></iframe><br /></div>
<div style="text-align: center;">
Diupload tanggal 23 Oktober 2008</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="413" src="//www.youtube.com/embed/mAFDAPqvc9U" width="550"></iframe><br />
Diunggah tanggal 27 Mei 2007</div>
Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-6910940001070337832014-09-23T23:05:00.000+08:002016-05-27T18:27:25.955+08:00Fungsi PakaianAlhamdulillah, berkat kerja keras kita, kita telah mampu memproduksi bahkan mengekspor sandang. Menurut Al-Quran, moyang kita, Adam a.s., ketika masih berada di surga diperingatkan oleh Tuhan: <i>Hai Adam, sesungguhnya ini</i> (iblis) <i>adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Jangan sampai ia mengeluarkanmu berdua dari surga, sehingga menyebabkan engkau bersusah payah</i> (dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan) (QS 20:117).<br />
<a name='more'></a><br />
Memang salah satu persoalan yang menyangkut peradaban umat manusia, bahkan kebutuhan pokoknya, ialah persoalan sandang. Pakaian berkaitan bukan saja dengan etika dan estetika, tetapi juga dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya, bahkan iklim. Tidak heran jika Al-Quran berbicara tentang masalah tersebut, walaupun pembicaraanya tidak menyangkut mode atau bentuknya. Yang dibicarakannya adalah fungsi dan tujuan berpakaian.<br />
<br />
Paling tidak ada tiga fungsi pakaian yang disinggung Al-Quran: <i>pertama</i>, memelihara pemakainya dari sengatan panas dan dingin serta segala sesuatu yang dapat mengganggu jasmani (baca QS 16: 81). <i>Kedua</i>, menunjukan identitas, sehingga pemakainya dapat terpelihara dari gangguan dan usilan (baca QS 33: 59). <i>Ketiga</i>, menutipi yang tidak wajar kelihatan (aurat) serta menambah keindahan pemakainya(QS 7: 26).<br />
<br />
Ketiganya hendaknya dapat menyatu pada pakaian yang dikenakan.Kita mengarisbawahi butir kedua dan ketiga.<br />
<br />
Identitas seseorang dan garis-garis besar cara berpikirnya dapat diketahui dari pakaiannya. Pakaian seseorang bahkan dapat mempengaruhi tingkah laku dan emosinya. Orang tua yang memakai pakaian anak muda dapat mengalir di dalam dirinya jiwa anak muda. Bila seseorang memakai pakaian kiai, dia akan berusaha berlaku sopan, demikianlah seterusnya.<br />
<br />
Peran pakaian begitu besar, sehingga tidak jarang ada negara yang mengubah pakaian militernya setelah mengalami kekalahan. Bahkan, misalnya, Turki melarang pemakaian <i>tarbusy</i> dan menggantinya dengan topi ala barat, karena Kemal Attaturk menilai bahwa <i>tarbusy</i> tersebut adalah bagian dari pemikiran kolot yang menghambat kemajuan masyarakatnya. <b>Demikian besar pengaruh pakaian pada diri seseorang dan masyarakat</b>.<br />
<br />
Adalah suatu kekeliruan jika mengingkari pentingnya pakaian, tetapi keliru lagi yang tidak selektif dalam memilih pakaian yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Namun demikian, sangat keliru mereka yang mengabaikan petunjuk-petunjuk agama dalam hal berpakaian.<br />
<br />
Salahlah apabila perasaan seseorang disinggung karena memilih pakaian yang dianggapnya baik. Tetapi lebih salah lagi jika melarangnya memakai suatu pakaian yang dinilai agamanya baik. <b><i>Wallahu a’lam</i></b>.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html">Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</a></i></b>, halaman 278-290Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-3520501513497018222014-09-23T22:30:00.000+08:002014-09-23T22:30:07.782+08:00Download Buku Catatan Komunitas Kenduri CintaEbook ini berisi Kumpulan catatan Komunitas Kenduri Cinta. Di dalamnya banyak tulisan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan orang-orang yang aktif berperan dalam Komunitas Kenduri Cinta dan Jamaah Maiyah Nusantara (Mocopat Syafaat, Padhangmbulan, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan, dll).<br />
<a name='more'></a><br />
Sebuah ebook sarat makna dan hakikat hidup yang layak untuk disimak. Dengan bahasa tulisan ringan, kadang lucu dan menggoda untuk membaca lebih dalam lagi sambil mencari makna yang tersembunyi di dalamnya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://duniadownload.com/wp-content/uploads/2012/01/Catatan-Komunitas-Kenduri-Cinta.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://duniadownload.com/wp-content/uploads/2012/01/Catatan-Komunitas-Kenduri-Cinta.jpeg" height="400" width="384" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<a href="http://dc423.4shared.com/download/TeWkQROS/Catatan-Komunitas-Kenduri-Cint.zip?null">Unduh <b>Buku <i>Catatan Komunitas Kenduri Cinta</i></b> (PDF)</a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Selamat menikmati dan tetaplah berbagi. </div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-57628571598635894222014-09-23T22:00:00.000+08:002016-05-27T21:45:30.648+08:00Download Buku Buya Hamka: Di Bawah Lindungan Ka'bah<h2>
<span style="font-size: large;">Sekilas Cerita</span></h2>
<b>MEKKAH PADA TAHUN 1927</b><br />
<br />
Harga getah di Jambi, di seluruh tanahair sedang naik, negeri Mekah baharu sahaja pindah dari tangan Shariff Hussin ke tangan Ibn Sa’ud, Raja Hijaz dan Najad dan daerah takluknya yang kemudian ditukarkan namanya menjadi kerajaan <i><b>“Arabiah Sa’udiah”</b></i>. Setahun sebelum itu telah naik haji dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Keamanan negeri Hijaz, telah tersiar. Kerana itu banyak orang yang berniat menyempurnakan Islam yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh sesak memebawa jemaah haji.<br />
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://d.gr-assets.com/books/1317299855l/12750736.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="http://d.gr-assets.com/books/1317299855l/12750736.jpg" height="400" width="275" /></a></div>
Konon khabarnya, belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum atau pun sesudahnya.<br />
<br />
Ketika itulah saya naik haji. Dari pelabuhan Belawan saya telah belayar menuju ke Jeddah menumpang kapal “Karimata”. Empat belas hari lamanya saya terkatung-katung di dalam lautan besar. Pada hari kelima belas sampailah saya dipelabuhan Jeddah, pantai Laut Merah itu. Dua hari kemudian saya pun sampai ke Mekah tanah suci kaum Muslimin sedunia.<br />
<br />
Betapa besar hati saya ketika melihat ka’bah tidaklah dapatsaya perikan, kerana dari kecilku sebagai kebiasaan tiap-tiap orang Islam, Ka’bah dan menara Masjidil Haram yang tujuh itu menjadi kenang-kenanganku.<br />
<br />
Saya injak tanah suci itu dengan persangkaan yang baik, saya hadapi tiap-tiap orang yang mengerjakan ibadat dengan penuh kepercayaan, bahwa mereka pun berasa gembira <b>iaitu</b> sebagaimana yang saya rasai itu, saya tidak akan bertemu dengan kejadian-kejadian yang ganjil atau hikayat yang sedih daripada penghidupan manusia. Sebab sangka saya tentu sahaja selain daripada diri saya sendiri, orang-orang yang datang ke sana itu adalah orang-orang yang gembira dan yang mampu banyak tertawanya daripada tangisannya. Tetapi rupanya, di mana-mana jua di atas dunia ini; asalkan sahaja ditempati manusia, kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang rendah, kesukaan dan kedukaan, tertawa dan ratapan tangis...<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<h2 style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">Kutipan Favorit</span></h2>
<div style="text-align: center;">
<blockquote class="tr_bq">
"Meskipun mata dipaksa hendak tidur, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak akan bertambah-tambah lagi."</blockquote>
</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Silakan <a href="http://www.mediafire.com/download/qwzwcqw8y7iidca/Dibawah+Lindungan+Ka%27bah+%5Bscupeid.blogspot.com%5D.zip">Unduh <b>Novel <i>Di Bawah Lindungan Ka'bah</i></b></a> selengkapnya.</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Selamat menikmati dan tetaplah berbagi.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-74590135606778842512014-09-13T18:27:00.003+08:002015-04-28T09:09:13.697+08:00Hakikat PendidikanPendidikan pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas serta, dalam rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan <i><b>mina l-mahd ila l-lahd </b></i>(dari buaian hingga liang lahad atau pendidikan seumur hidup), sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu kepada peserta didik: "<b>Berilah aku seluruh yang engkau miliki, maka akan kuberikan kepadamu sedikit yang aku punyai."</b><br />
<a name='more'></a><br />
Yang pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali tenaga dan dana yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk mengembangkan pendidikan. Bahkan diduga keras, sebagian di antara kita, mengabaikan tugas-tugas kependidikan dan merasa bahwa sekolah sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Pada hal, sekolah -- walaupun mampu melaksanakan tugasnya dengan baik -- tidak akan mampu mendewasakan manusia, lebih-lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini akan semakin jauh dari tujuan jika upaya yang dilakukannya hanya terbatas pada pengajaran dan latihan.<br />
<br />
Diduga keras pula, sebagian di antara kita melupakan bahwa pendukung dan pelaksana pendidikan bukan hanya tenaga, dana, dan sarana yang disediakan oleh pemerintah. Tetapi, lebih dari itu, juga tersedia dan disediakan oleh keluarga, masyarakat, dan peserta didik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Di sisi lain, diduga keras pula bahwa sebagian tenaga kependidikan tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Yang saya maksud dengan tenaga kependidikan di sini adalah kita semua, bukan hanya guru dan dosen, karena kita semua seharusnya berfungsi sebagai pendidik.<br />
<br />
Marilah kita ambil contoh sederhana menyangkut pendidikan anak di kalangan keluarga. Pembentukan kepribadian anak bermula di sini dan sejak ia masih di buaian. "Ketika itu, pikiran-pikiran pendidik, perasaan dan jiwanya dapat diserap oleh anak bagaikan pasir menyerap tetesan-tetesan air," demikian tulis Alexis Carrel.<br />
<br />
Ummu Al-Fadhl bercerita: "Suatu ketika aku menimang-nimang seorang bayi. Rasul saw. kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi <i>pipis</i> membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut dengan keras bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul saw. pun menegurku: 'Air dapat membersihkan pakaianku. Tetapi apa yang dapat menjernihkan perasaan sang bayi yang dikeruhkan oleh sikapmu yang kasar itu?'."<br />
<br />
Nabi saw. sadar bahwa perlakuan demikian dapat berbekas dalam jiwa sang bayi yang dapat menimbulkan rasa rendah diri yang dibawanya hingga dewasa. Bukankah sebagian besar kompleks kejiwaan dapat dikembalikan penyebabnya pada pengalaman negatif masa kanak-kanak?<br />
<br />
Berapa banyakkah di antara kita yang memperlakukan anak atau peserta didik seperti perlakuan Ummu Al-Fadhl? Berapa banyak di antara kita yang tidak membantu terwujudnya iklim pendidikan yang sehat, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas?[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank">Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</a></i></b>, halaman 272-274Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-63828797615717059822014-09-08T21:23:00.000+08:002016-05-27T18:27:47.145+08:00M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak tentang IslamRasa ingin tahu anak-anak yang luar biasa seringkali menghasilkan berbagai pertanyaan yang tidak terduga bagi orang dewasa. Pertanyaan yang mungkin sederhana, namun tidak sesederhana itu untuk menjawabnya.<br />
<a name='more'></a><br />
Melalui buku ini, M. Quraish Shihab berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan anak-anak tentang Islam. Pertanyaan yang dikumpulkan oleh Sekolah Cikal Jakarta ini dipilih dan dikelompokkan menjadi sembilan bagian. Dalam sembilan bagian itu, penulis menjawab pertanyaan anak tentang: Allah; Nabi dan Rasul; Al-Quran; Malaikat, Jin, dan Setan; Hari Kiamat dan Kehidupan Akhirat; Shalat; Puasa dan Haji; Doa dan Fiqih; Islam dan Hubungan Sosial.<br />
<br />
Tidak selalu mudah menjawab pertanyaan anak-anak. Kita harus terlebih dahulu memahami jawaban dari pertanyaan itu sendiri, kemudian menjelaskannya dengan konsep yang dapat diterima dengan nalar dan pemahaman mereka. Di sisi lain, tentunya penting untuk menjawab pertanyaan mereka dengan jelas dan tepat, agar pemahaman yang benar terbentuk sejak dini.<br />
<br />
Dalam buku ini pun, penulis mengakui kesulitannya dalam merumuskan jawaban sederhana yang kiranya bisa memuaskan rasa ingin tahu anak-anak. Walau demikian, jawaban-jawaban yang ditulis dalam buku ini akan sangat membantu para guru dan orangtua khususnya, sebagai pegangan untuk menjawab pertanyaan para murid dan anak mereka.<br />
<br />
“Kalau kita meninggal, pulangnya ke mana? Apa benar ke rumah Allah? Kalau benar, di mana rumah Allah?”; “Bagaimana bentuk Allah?”; “Apakah benar setan dan iblis itu ada?”; “Malaikat itu siapanya Allah sih?”. Lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaan polos khas anak-anak semacam ini akan ditemukan dalam buku ini. Perlu diakui, sebagian dari pertanyaan tersebut bisa jadi luput dari pikiran kita. Sehingga membaca buku ini, selain dapat membantu menjawab pertanyaan anak, sekaligus juga menambah pemahaman pembaca dewasa akan wawasan keislaman yang mendasar tapi kerap terlupakan.<br />
<br />
<b>Judul Buku: </b><a href="http://alifmagz.com/?p=28204" target="_blank">M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam</a><br />
<b>Pen</b><b>ulis: </b>M. Quraish Shihab<br />
<b>Penerb</b><b>it: </b>Penerbit Lentera Hati<br />
<b>Tahun: </b>Cetakan Pertama, Maret 2014<br />
<b>Volume:</b> xv + 172 halaman/ 15 x 23 cm<br />
<b>Jenis Cetak:</b> Hard cover/ Bookpaper<br />
<b>ISBN:</b> 978-602-7720-19-0<br />
<b>Harga:</b> <b><i>Rp. 84.000</i></b><br />
<b><br />
</b> <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://alifmagz.com/wp-content/uploads/2014/05/MQS-Menjawab-Pertanyaan-Anak.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://alifmagz.com/wp-content/uploads/2014/05/MQS-Menjawab-Pertanyaan-Anak.jpg" height="640" width="458" /></a></div>
<b><br />
</b>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-13875510832749620782014-08-19T23:55:00.001+08:002016-05-27T18:28:41.883+08:00NURANI<i style="font-weight: bold;">"Assalamu 'alaikum," </i>ucap seseorang. Ternyata lawan bicara yang diberi salam tidak menyambut salam tersebut. "Ini pasti musuh," demikian, malah, bisikan hati si lawan bicara. Dan ketika itu pula dihunuslah pedangnya, maka bershembuslah nyawa si pengucap salam. Al-Quran pun turun menegurnya: <i>Jangan berkata </i>(bersikap) <i>terhadap seseorang yang mengucapkan salam kepadamu, "Anda bukan mukmin". Dulu kalian juga demikian </i>(QS 4: 94). "Dulu kalian juga demikian" dipahami oleh beberapa ahli tafsir bahwa dulu nurani kalian juga tidak percaya pada Islam, namun Allah membiarkan kalian, karena Dia tidak bermaksud memasung nurani.<br />
<a name='more'></a><br />
Sementara itu, ada sahabat Nabi - yang mersasakan suatu ganjalan dalam jiwanya menyangkut Tuhan - berkata kepada Nabi saw.: "Wahai Nabi, ada ganjalan dalam jiwa kami. Lebih baik kami terjerumus ke jurang yang dalam daripada mengucapkannya." "Apakah kalian telah merasakan itu?" tanya Nabi. "Kami merasakannya," jawabnya. "Alhamdulillah, itulah iman. Alhamdulillah, Tuhan menggagalkan tipu daya setan sehingga hanya menjadikan keraguan. Nabi Ibrahim pun ragu, dan kita lebih wajar ragu daripada beliau," demikian tiga komentar Rasulullah saw.<br />
<br />
Apa arti kedua teks keagamaan ini? Nurani sangat dihargai oleh Allah dan rasul-Nya, sampai-sampai keraguan iman pun kalau itu merupakan bisikan hati seseorang dibiarkannya. Tahukah Anda bahwa penghormatan kepada nurani melebihi penghormatan ini? Cobalah ceritakan bila Anda tahu. Jangan menilai keikhlasan Anda lebih dari keikhlasan orang yang berbeda pendapaat dengan Anda. Karena, "pernahkah Anda membelah dadanya?" tanya Nabi. Biarlah masing-masing bertanggung jawab atas pilihannya. Demikian agama memberi kebebasan pada nurani.<br />
<br />
Pemerkosaan terhadap hak nurani lebih berbahaya daripada pemerkosaan terhadap jasmani. Bila yang terakhir ini hanya membatasi sikap dan ucapan atau menyakiti tubuh manusia, maka pemasungan nurani mencabut totalitas Anda sebagai manusia. Kebebasan nurani yang dianugerahkan oleh agama dibarengi dengan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab nurani itu sendiri: <i style="font-weight: bold;">Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya</i> (QS 75: 14-15). Karena itu, agama pun menegaskan bahwa siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu kembali kepada dirinya sendiri demikian pula sebaliknya. Karena tidak seorang pun dapat memikul dosa yang dilakukan oleh orang lain, sekalipun orang itu kerabat terdekatnya. Demikianlah agama memberikan kebebasan penuh kepada nurani sekaligus meletakkan tanggung jawab di atas pundaknya.<br />
<br />
Nurani dapat terbentuk oleh pandangan hidup dan lingkungan, karena itu pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar. Kalau Anda gagal menetapkan peraturan, maka tak perlu gelisah atau menggerutu. Bukankah peraturan hanya membantu dan adanya pun tidak menjamin terlaksananya apa yang Anda inginkan?<br />
<br />
Dewasa ini, tidak sedikit persoalan yang hangat dibicarakan dan menimbulkan polemik, yang sebenarnya dapat terselesaikan apabila petunjuk-petunjuk di atas dihayati.[]<br />
<br />
<b><a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, </b><i style="font-weight: bold;"><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html">Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kedupan</a></i>, halaman 224-226Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-86183678426637837342014-08-10T15:21:00.000+08:002015-05-06T16:30:22.425+08:00Alasan yang Lebih Buruk dari KesalahanKonon, suatu ketika di pagi buta, Abu Nawas (813-862 M) - Penyair jenaka yang dekat dengan Khalifah Harun Al-Rasyid - bertemu dengan seseorang. Rupanya ia ingin bergurau, maka dipegangnyalah bagian terpenting anggota tubuh orang itu. Namun, alangkah terperanjatnya ia ketika ia mendengar suara orang tersebut menghardiknya dengan sangat keras.<br />
<a name='more'></a><br />
Abu Nawas tersadar bahwa ternyata yang dipegangnya adalah Sang Khalifah, Harun Al-Rasyid. Dengan suara terbata-bata ia mengajukan alasan: "Maafkan saya tuanku, saya kira yang saya pegang adalah permaisuri." Tentu saja alasan ini menambah amarah Khalifah karena apa yang didengarnya ini jauh lebih buruk daripada kesalahan yang dilakukan Abu Nawas. (Kalau ingatan saya tidak keliru, peristiwa ini dituturkan oleh Ibnu Abd Rabbih [w. 940 M] dalam bukunya, <i><b>Al-'Iqd Al-Faridh</b></i>).<br />
<br />
Alasan yang lebih buruk daripada kesalahan tidak jarang kita dengar, misalnya, dari yang melakukan pelanggaran agama dengan berkata, "Ini boleh, tidak apa dilakukan." Jawaban ini, menjadikan kesalahannya berganda, pertama ketika ia melanggar dan kedua - yang lebih buruk - adalah alasan tersebut.<br />
<br />
Pada saat menjelang Pemilu, alasan yang lebih buruk daripada kesalahan, terkadang kita dengar: "Tidak usah mencoblos, karena semuanya tidak akan mewakili aspirasi bangsa." Alasan ini lebih buruk karena menjadikan seluruh putra-putri bangsa yang dicalonkan adalah buruk. Apakah bangsa kita sudah sedemikian bejat sehingga mendapat penilaian demikian?<br />
<br />
Agama dan pertimbangan akal sehat menetapkan keharusan adanya pemerintah yang mengelola kepentingan masyarakat, dan Pemilu adalah cara yang paling tepat. Dalam pandangan Nabi Muhammad saw., jangankan masyarakat umum, tiga orang pun - walau dalam perjalanan - dianjurkan untuk memilih salah seorang di antaranya sebagai pemimpin.<br />
<br />
Memilih adalah amanat, jabatan yang diberikan oleh pemilih dan diterima oleh yang terpilih juga amanat. <i>"Jika amanat disia-siakan atau diserahkan kepada yang tidak wajar memikulnya, maka nantikan saat kehancuran,"</i> demikian pesan Nabi saw. Ini berarti keengganan memilih, atau memilih yang tidak wajar merupakan penyia-nyiaan amanat. Dan Anda tahu, bagaimana sikap Tuhan terhadap yang menyia-nyiakannya.<br />
<br />
Jangan berkata: "Tidak ada yang wajar dipilih, kesemuanya buruk." Karena kalaupun itu benar, Nabi sekali lagi memberi petunjuk, <i><b>fi ba'dh al-syarri khiyar</b></i> (dalam yang buruk pun ada pilihan), yakni dengan memilih yang paling sedikit keburukannya, karena sabda Nabi mengemukakan argumentasinya: <i>"Pemerintahan yang aniaya lebih baik dari kekacauan."</i>[]<br />
<br />
<a href="http://www.quraishshihab.com/" target="_blank">M. Quraish Shihab</a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</i></a> halaman 393-395Muhammad Abidhttp://www.blogger.com/profile/03937776476767451553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-82597533647197030782014-07-06T07:59:00.001+08:002016-05-27T18:28:41.903+08:00Bertanggung Jawab sebagai Individu dan sebagai Anggota MasyarakatHari demi hari berlalu. Demikian juga minggu, bulan, dan tahun. Kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, dalam hari-hari yang berlalu itu, senantiasa mengisi lembaran-lembaran yang setiap tahun kita tutup untuk kemudian kita buka kembali dengan lembaran baru pada tahun berikutnya. Lembaran-lembaran itu adalah sejarah hidup kita secara amat rinci, dan itulah kelak yang akan disodorkan kepada kita – sebagai individu dan masyarakat – untuk dibaca dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada Hari Kemudian nanti.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Bacalah lembaran </i>(kitabmu)<i>, cukuplah engkau sendiri hari ini yang akan melakukan perhitungan atas dirimu</i> (QS 17: 14). <i>Engkau akan melihat setiap umat berlutut, setiap umat diajak untuk membaca kitab amalan </i>(sejarahnya) (QS 45: 28).<br />
<br />
Al Quran adalah buku pertama yang menegaskan bahwa bukan hanya individu, tetapi juga bangsa dan masyarakat, mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mengarahkan dan menentukan keruntuhan dan kebangkitannya. Masyarakat terdiri dari individu-individu, dan manusia sebagai individu mempunyai potensi untuk mengarahkan masyarakat dan diarahkan olehnya. <b>Karena itu, manusia sebagai individu dan manusia sebagai kelompok masyarakat bertanggung jawab atas dirinya dan atas masyarakatnya</b>. Dari sinilah lahir apa yang dikenal dalam istilah hukum Islam sebagai <i><b>fardhu 'ain</b></i> dan <i><b>fardhu kifayah</b></i>.<br />
<br />
<i>Tuhan tidak mengubah keadaan suatu masyarakat, sebelum mereka mengubah </i>(terlebih dahulu) <i>sikap mental mereka</i> (QS 13:11). Begitu bunyi sebuah ayat yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagi faktor penentu kelahiran sejarah. Dari sini dapat dipahami, mengapa para Nabi memulai langkah mereka dengan menanamkan kesadaran terdalam itu dalam jiwa umat. Darimana Anda Datang? Kemana Anda menuju? Bagaimana alam ini mewujud dan ke arah mana ia bergerak? “Semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya” dan “Akhir dari segala siklus adalah kemablinya kepermulaan”, demikian para sufi dan filosof Muslim merumuskan.<br />
<br />
Itulah kesadaran pertama yang ditanamkan pada manusia. Kemudian disusul dengan kesadaran jenis kedua, yaitu kesadaran akan kemanusiaan manusia serta kehormatannya. Ruh Ilahi dan potensi berpengetahuan yang diperoleh makhluk ini dari Tuhan, mengundangnya untuk memanusiakan dirinya dengan jalan mengaktualkan pada dirinya sifat-sifat Ilahi sesuai dengan kemampuannya. Dan kesadaran ketiga yang ditanamkannya adalah kesadaran akan tanggung jawab sosial. <br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>Mengapa kalian tidak berjuang di jalan Allah, sedangkan kaum lemah tertindas, baik lelaki, wanita, maupun anak-anak bermohon agar mereka dikaruniai penolong dan pelindung dari sisi Allah?</i> Demikian tantangan (kalau bukan hardikan) Al-Quran surah Al-Nisa ayat 75. </blockquote>
Ayat di atas mengandung dua nilai keruhanian, yakni keniscayaan berjuang di jalan Allah dan tanggung jawab melindungi kaum lemah.<br />
<br />
Perjuangan yang dilakukan karena Allah dan yang digerakkan oleh nilai-nilai suci itulah yang memajukan umat manusia dan peradabannya sekaligus mengukir sejarahnya dengan tinta emas.<br />
<br />
Nah, kalau manusia atau masyarakat mampu mengisi hari-hari yang berlalu dalam hidupnya atas dasar kesadaran di atas, maka di sanalah dia memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam hal ini Al-Quran menegaskan: <i>Mereka itulah yang akan menerima lembaran sejarah hidupnya dengan tangan kanannya</i> (QS 17:71).<br />
<br />
<a href="http://www.quraishshihab.com/" target="_blank"><b>Muhammad Quraish Shihab</b></a>, <b><i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html">Lentera Hati:</a></i></b><i> <span id="goog_2132533824"></span><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kisah-sesendok-madu-renungan-untuk.html"><b>Kisah dan Hikmah Kehidupan<span id="goog_2132533825"></span></b></a>,</i> halaman 115-117Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-84446926238962147092014-07-02T18:37:00.000+08:002015-03-14T05:33:24.497+08:00Kaitan Pempimpin dan Yang DipimpinNabi saw. dikenal sebagai seseorang yang sangat fasih dan indah tutur bahasanya. Kemampuannya menyampaikan <b>ungkapan yang sarat makna, dalam kalimat-kalimat yang sangat singkat</b>, merupakan keistimewaan tersendiri atau apa yang diistilahkan dalam bahasa hadis dengan <b><i>jawami' al-kalim</i></b>. Sebagai contoh adalah ungkapan beliau seperti <b><i>al-din al-mu'amalah</i></b> (agama adalah keserasian interaksi) dan <b><i>la dharar wa la dhirar</i></b> (tidak dibenarkan mengganggu dan diganggu).<br />
<a name='more'></a><br />
Salah satu dari <i>jawami' al-kalim</i> yang akan kita bicarakan adalah sabda beliau yang mengisyaratkan tentang pengangkatan pemimpin, atau - katakanlah - berbicara tentang Pemilu. *<b><i>Kama takununa yuwalla 'alaikum</i></b> (Bagaimana keadaan kalian demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian)," sabda Nabi.<br />
<br />
Kalimat yang sangat singkat di atas dapat mengandung beberapa makna. Ia dapat berarti bahwa seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Pemimpin atau penguasa yang baik adalah dia yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedangkan <b>masyarakat yang baik adalah yang berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat mewujudkan aspirasi mereka</b>.<br />
<br />
Ungkapan Nabi di atas dapat juga berarti suatu pesan untuk <b>tidak tergesa-gesa menyalahkan terlebih dahulu pempimpinnya yang menyeleweng, durhaka atau membangkang, karena pada hakikatnya yang bersalah adalah masyarakat itu sendiri</b>. Bukankah pemimpin atau penguasa adalah cerminan dari keadaan masyarakat itu sendiri? "Sebagaimaan keadaan kalian demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian."<br />
<br />
Masyarakat yang enggan menegur atau mengoreksi pemimpinnya atau menyanjungnya secara berlebihan pada hakikatnya telah menanam benih keangkuhan dan kebejatan pada diri pemimpinnya walaupun pada mulanya sang pemimpin adalah seorang yang baik. Demikian peranan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya dan demikian itu sebagian dari kandungan hadis di atas.<br />
<br />
Dari sini terlihat pentingnya koreksi sosial atau, dalam bahasa agama, <i>amar ma'ruf nahi munkar</i>. Dari sini pula dapat dipahami mengapa Nabi saw. menekankan pentingnya mengangkat pemimpin walaupun yang dipimpin hanya dua orang, bahkan walaupun mereka dalam perjalanan, sebagaimana sabda Nabi saw.: "<i>Apabila ada tiga orang bepergian maka hendaklah mereka memilih salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.</i>" Juga sabda Rasul saw.: <i>Barangsiapa yang memilih seseorang sedangkan ia mengetahui ada orang lain yang lebih wajar dari yang dipilihnya maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat Kaum Muslimin.</i>[]<br />
<br />
<a href="http://quraishshihab.com/" target="_blank"><b>M. Quraish Shihab</b></a>, <a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html" target="_blank"><i><b>Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</b></i></a>, halaman 390-392.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3912951823176858659.post-41814625844659060472014-06-19T07:00:00.000+08:002016-05-27T18:28:41.896+08:00Kriteria Seorang Pemimpin yang Layak DipilihMenjelang Pemilu, masyarakat kita mendengar tokoh-tokoh menyampaikan program-program mereka dalam rangka mencari dukungan. Masyarakat dipersilakan menilai siapa di antara meeka yang paling wajar dipilih. Al-Quran memberi petunjuk - secara tersurat atau tersirat - dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk upaya menjawab "siapakah yang layak kita pilih?"<br />
<a name='more'></a><br />
Dari celah-celah ayat Al-Quran ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal ini hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>"Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah <b>orang yang kuat lagi terpercaya</b>,"</i> demikian ucapan puteri Nabi Syu'aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Qashash ayat 26.</blockquote>
Konsideran pengangkatan Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan diabadikan pula oleh Al-Quran adalah: <i>Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi terpercaya</i> (QS 12: 54).<br />
<br />
Ketika Abu Bakar ra. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf alasannya pun tidak jauh berbeda: "Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu." Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat itu memiliki sifat kuat lagi terpercaya (baca QS 82: 19-21).<br />
<br />
Salah satu arti amanat menurut Rasulullah adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku: <i>"Amanat terabaikan dan kehancuran akan tiba, bila jabatan diserahkan kepada yang tidak mampu,"</i> demikian kurang lebih sabda Nabi saw. Sahabat Abu Dzar pernah dinasihati oleh Nabi saw.: <i>"Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku suka untukmu apa yang aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan memimpin</i> (walau) <i>dua orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim."</i><br />
<br />
"Apabila amanat diabaikan, maka nantikanlah kehancuran. Mengabaikannya adalah menyerahkan tanggung jawab kepada seseorang yang tidak wajar memikulnya," demikian salah satu jabaran arti amanat.<br />
<br />
Tidak mudah terhimpun dalam diri seseorang kedua sifat tersebut secara sempurna, tetapi kalaupun harus memilih, maka pilihlah yang paling sedikit kekurangannya, dan lakukanlah pilihan sesudah upaya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan yang terbaik. Ketika Imam Ahmad Ibn Hanbal ditanya tentang dua orang yang dicalonkan untuk memimpin satu pasukan - yang pertama kuat tetapi bergelimang dalam dosa dan yang kedua baik keberagamaannya namun lemah - beliau menjawab: <b>"Orang pertama, dosanya dipikulnya sendiri sedangkan kekuatannya mendukung kepentingan umat; dan orang kedua keberagamaannya untuk dirinya sendiri sedangkan kelemahannya menjadi petaka bagi yang dipimpin."</b><br />
<br />
Anda boleh menetapkan pertimbangan Anda, tapi ingatlah selalu sabda Rasul: <i>"Siapa yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan masyarakat sedangkan dia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan kaum Muslim." </i>[]<br />
<br />
<a href="http://www.quraishshihab.com/" target="_blank"><b>Muhammad Quraish Shihab</b></a>, <b><i><a href="http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html">Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan</a></i></b>, halaman 387-389Unknownnoreply@blogger.com0