Kamis, 17 September 2015

Mengajarkan Tafsir di Perguruan Tinggi

Dengan menyoroti pengajaran tafsir yang selama ini dikenal di Indonesia, yakni metode sorongan di pesantren dan metode muhadharah di perguruan tinggi, pemakalah*) menyentuh kelemahan-kelemahan pengajaran tafsir dewasa ini. Kelemahan-kelemahan dimaksud, bila disimpulkan secara sederhana, adalah bahwa kedua metode itu hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai produk tafsir, bukan ilmunya.**). Sementara itu, produk itu sendiri terbatas pada kitab tafsir yang dipilih oleh metode sorongan atau materi ayat-ayat dalam silabus yang dipilih oleh satuan pendidikan.

Dikemukakan juga kelebihan-kelebihan kedua metode itu. Kelebihan metode sorongan, menurut pemakalah, adalah pada pemahaman peserta didik akan seluruh ayat yang dikemukakan dalam buku teks, sekaligus langkah-langkah mufasirnya. Sedangkan kelebihan metode muhadharah, sekaligus kelemahannya, terletak pada pemanfaatan waktu dan penyesuaiannya dengan spesialisasi peserta didik.

Dari sini pemakalah mencari dan mengusulkan metode alternatif yang menggabungkan kedua metode di atas, sekaligus mengeliminasi kekurangan keduanya. Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan pemakalah tentang kelemahan-kelemahan kedua metode yang disebutkan, tanpa menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan lainnya yang belum sempat direkam oleh pemakalah dalam makalahnya.

Tafsir dan Pengajarannya

Baiklah, terlebih dahulu kita mendudukkan persoalan tafsir dalam kaitannya dengan upaya pengajaran. Ada sekian banyak definisi mengenai tafsir yang dikemukakan oleh para pakar. Ada yang dapat dipertemukan dan ada juga yang tidak. Salah satu sebab perbedaan yang tidak dapat dipertemukan adalah pandangan tentang ada atau tidaknya kaidah-kaidah tafsir yang dapat dijadikan patokan untuk memahami firman-firman Allah itu. Kemudian, kalau patokan-patokan itu ada, sampai di mana batasnya? Di sisi lain, terdapat perbedaan pandangan dalam sikap terhadap produk tafsir terdahulu, baik produk sahabat, tabi'in ataupun ulama-ulama berikutnya.

Masing-masing pihak yakin dengan pandangan dan argumentasinya. Namun, yang pasti, pengajar yang menolak atau membatasi kaidah-kaidah itu akan membutuhkan waktu pengajaran lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh para pengajar yang memperhatikan kaidah-kaidah yang ada.

Pengajaran kaidah-kaidah Tafsir

Apabila seorang dosen menekankan pengajaran mengenai kaidah-kaidah tafsir, maka tanpa mengajarkan seluruh ayat yang berbicara tentang masalah atau kosakata yang sama atau mirip, peserta didiknya diharapkan mampu memahami ayat-ayat yang tidak dijelaskan itu berdasarkan kaidah-kaidah yang dipelajarinya.

Di atas telah disinggung pandangan pemakalah tentang kelemahan kedua metode dari sisi keterbatasan waktu. Hal tersebut sepenuhnya benar. Memang, menurut pengamatan, jumlah ayat-ayat wajib yang selama ini ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan kurikulum dan silabus yang ditetapkan sangatlah terbatas. Sepanjang pengalaman, seorang dosen hanya mampu mengajarkan tidak lebih dari empat puluh ayat dalam satu semester. Artinya, sampai dengan selesainya program S-1, hanya sekitar 320 ayat, atau sekitar lima persen dari jumlah keseluruhan ayat Al-Quran saja yang diajarkan. Kalau demikian, dibutuhkan puluhan tahun untuk menghasilkan seorang calon mufasir. Karena, diakui oleh semua pihak, bahwa materi-materi tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-shina'at thawilah wa al-'umr qashir" (Banyak yang harus dipelajari, padahal umur pendek), demikian kata Al-Zarkasyi, dalam mukadimah Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an.

Pemakalah, menurut hemat saya, sangat optimis ketika menduga bahwa para mahasiswa "menguasai" ayat-ayat tersebut, walaupun yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penguasaan atas materi yang dituntut oleh tujuan pengajaran. Mudah-mudahan saja demikian.

Di sisi lain, pemilihan ayat-ayat pun berkaitan dengan warna fakultas dan jurusan. Hal ini antara lain lebih banyak mengandung sisi negatifnya daripada positifnya, karena ia sedikit atau banyak dapat mengakibatkan tumpang tindih pengajaran tafsir dengan pengajaran bidang studi lain. Di Fakultas Syari'ah, misalnya, diajarkan ayat-ayat hukum. Padahal, persoalan-persoalan hukum telah mewarnai fakultas itu. Bukankah argumentasi satu pendapat yang diajarkan itu merujuk juga kepada ayat Al-Quran?

Satuan pendidikan memang tidak dapat menghindar dari penetapan silabus yang menguraikan materi pengajaran. Namun, pilihan materi yang diajarkan seyogianya tidak diprioritaskan kepada kandungan makna ayat atau kepada pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu tertentu. Tetapi, hendaknya melampaui hal tersebut hingga mencakup kunci-kunci yang kelak dapat mengantarkan peserta didik untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri. Kunci-kunci yang dimaksud adalah kaidah-kaidah tafsir, baik yang diambil alih oleh mufasir dari disiplin ilmu bahasa, ushul al-fiqh dan sebagainya, maupun yang dirumuskan dari Al-Quran sendiri.

Akhirnya perlu juga ditekankan bahwa silabus hanyalah pedoman dasar. Pengembangan dari dosen, berdasarkan diskusi kelas, tidak kurang pentingnya dalam menguraikan materi-materi ayat. IAIN Syarif Hidayatullah telah berupaya untuk mengarah ke sana, namun masih dalam bentuk awal. Masih dibutuhkan waktu, untuk menguji keandalannya.

Pengenalan terhadap Kitab-kitab Tafsir

Tidak dapat disangkal betapa pentingnya mempelajari karya-karya ilmiah ulama terdahulu dalam berbagai bidang ilmu, termasuk tafsir. Pengenalan akan karya-karya mereka akan sangat penting artinya bila materi pengajaran tafsir ditekankan pada penguasaan atas kaidah-kaidahnya. Melalui bacaan terhadap kitab-kitab tafsir, peserta didik akan menemukan apa yang diistilahkan oleh pemakalah sebagai "produk-produk" tafsir. Dengan demikian, materi ini dapat menutupi "kelowongan" yang diakibatkan oleh penekanan atas materi tafsir di atas.

Hanya persoalannya adalah bahwa sebagian materi yang disajikan dalam kitab-kitab tersebut telah sangat ketinggalan zaman. Sehingga, ketelitian dalam pengajarannya amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr yang menyatakan bahwa penafsiran yang menggunakan metode tajzi'iy (metode yang pada umumnya digunakan oleh kitab-kitab tafsir selama ini) telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial bahkan kontradiktif di kalangan para ulama. Karenanya, selain penting untuk apa yang disebut pemakalah sebagai "memahami langkah-langkah mufasirnya dalam menafsirkan ayat, atau model penafsiran, termasuk metode, manhaj, dan produknya," penting juga untuk mengetahui latar belakang sosio-budaya tempat mufasir dimaksud hidup. Karena, hal ini, tentunya mempengaruhi produk penafsirannya.

Metode Pengajaran Tafsir

Mungkin tidak keliru kalau dikatakan bahwa metode pengajaran adalah pelaksanaan cara mengajar, atau cara pendidik menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik. Ia meliputi metode mengajar, alat bantu mengajar, dan penilaian. Memilih metode pengajaran tafsir di perguruan tinggi berkaitan erat dengan banyak hal, antara lain problem-problem yang dihadapi, kondisi objektif perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, perpustakaan, serta tujuan pengajaran yang ingin dicapai.

Selama ini telah diperkenalkan metode Belajar Aktif yang merangsang keterlibatan mahasiswa baik secara intelektual maupun emosional dalam proses belajar-mengajar. Pola komunikasi satu arah, atau bahkan dua arah dalam arti keaktifan dosen menyampaikan dan mendengar dari mahasiswa, serta keaktifan mahasiswa mencatat dari dosen dan melaporkan hasil kerjanya, dapat dinilai kurang memadai. Kini yang dibutuhkan adalah komunikasi dan aktivitas dari tiga arah, antara sesama dosen, antara dosen dan mahasiswa, dan antara sesama mahasiswa.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, walaupun mahasiswa diberi penugasan untuk mencari dan menulis materi pelajaran dalam bentuk paper, namun paper tersebut sangat dangkal. Ini dikarenakan oleh keterbatasan bahan kepustakaan, baik akibat "kemalasan" atau ketidakmampuan mahasiswa maupun akibat miskinnya koleksi perpustakaan yang tersedia.

Dalam pengalaman mengajar tafsir, seringkali terasa bahwa pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa sedemikian dangkal dan merupakan pengulangan dari yang selama ini terdengar. Membiarkan hal demikian akan menyita waktu yang tersedia. Tetapi, membiarkan dosen menyampaikan sendiri apa yang terdapat dalam benaknya menghasilkan komunikasi satu arah. Di sini diperlukan kearifan dosen.

Lahirnya para mufasir membutuhkan adanya mahasiswa yang memiliki penguasaan bahasa yang memadai, dosen yang mampu membimbing mahasiswa ke arah yang diharapkan, serta ketekunan mereka semua. Tanpa hal tersebut, metode pengajaran apa pun yang diterapkan mustahil hasilnya akan menggembirakan.[]

Catatan Kaki

*) Pemakalah yang dimaksud adalah Drs. Jalaluddin Rakhmat, MSc. Tulisan ini memang merupakan bandingan atas makalahnya – Editor.

**) Yang dimaksud oleh pemakalah dengan "produk tafsir" adalah hasil penafsiran seorang mufasir seperti buku-buku tafsir, misalnya Tafsir Al-Maraghiy karya Al-Maraghi atau Tafsir Ad-Durr Al-Mantsur karya Al-Suyuthi. Sedangkan "ilmu tafsir" mengacu pada metode penafsiran – Editor.

M. Quraish ShihabMembumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 180-183.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...