Setiap kali menjelang 17 Agustus, saya mendapati iklan peringatan kemerdekaan yang selalu sama. Anak-anak bermain layang-layang di pematang sawah, gadis-gadis dengan kemben dan sarung mencuci pakaian di sungai, serta petani dan nelayan dengan senyum semringah bekerja secara ikhlas. Lalu semuanya ditutup dengan kalimat mengenai semangat nasionalisme pada hari kemerdekaan. Saya tidak percaya semua anak di Indonesia riang gembira seperti yang saya lihat pada iklan itu. Ada banyak anak yang tidak bisa sekolah, terpaksa bekerja, menjadi korban pelecehan seksual, dan ada yang menjadi korban perdagangan anak. Kalau saja saya boleh memilih, barangkali saya akan menolak dilahirkan dan menjadi warga negara Indonesia. Tapi memang saya tidak bisa memilih untuk bisa dilahirkan di mana dan oleh siapa. Saya lahir dan besar di Banda Aceh. Saya cukup beruntung tinggal di ibu kota provinsi, yang pada masa konflik "hanya" mendengar suara ledakan bom dan kontak senjata dari belakang jendela kamar. Pada masa itu, di beberapa daerah banyak anak yang mengalami nasib lebih buruk daripada sekadar mendengar suara ledakan atau senapan.