Minggu, 10 Agustus 2014

Alasan yang Lebih Buruk dari Kesalahan

Konon, suatu ketika di pagi buta, Abu Nawas (813-862 M) - Penyair jenaka yang dekat dengan Khalifah Harun Al-Rasyid - bertemu dengan seseorang. Rupanya ia ingin bergurau, maka dipegangnyalah bagian terpenting anggota tubuh orang itu. Namun, alangkah terperanjatnya ia ketika ia mendengar suara orang tersebut menghardiknya dengan sangat keras.

Abu Nawas tersadar bahwa ternyata yang dipegangnya adalah Sang Khalifah, Harun Al-Rasyid. Dengan suara terbata-bata ia mengajukan alasan: "Maafkan saya tuanku, saya kira yang saya pegang adalah permaisuri." Tentu saja alasan ini menambah amarah Khalifah karena apa yang didengarnya ini jauh lebih buruk daripada kesalahan yang dilakukan Abu Nawas. (Kalau ingatan saya tidak keliru, peristiwa ini dituturkan oleh Ibnu Abd Rabbih [w. 940 M] dalam bukunya, Al-'Iqd Al-Faridh).

Alasan yang lebih buruk daripada kesalahan tidak jarang kita dengar, misalnya, dari yang melakukan pelanggaran agama dengan berkata, "Ini boleh, tidak apa dilakukan." Jawaban ini, menjadikan kesalahannya berganda, pertama ketika ia melanggar dan kedua - yang lebih buruk - adalah alasan tersebut.

Pada saat menjelang Pemilu, alasan yang lebih buruk daripada kesalahan, terkadang kita dengar: "Tidak usah mencoblos, karena semuanya tidak akan mewakili aspirasi bangsa." Alasan ini lebih buruk karena menjadikan seluruh putra-putri bangsa yang dicalonkan adalah buruk. Apakah bangsa kita sudah sedemikian bejat sehingga mendapat penilaian demikian?

Agama dan pertimbangan akal sehat menetapkan keharusan adanya pemerintah yang mengelola kepentingan masyarakat, dan Pemilu adalah cara yang paling tepat. Dalam pandangan Nabi Muhammad saw., jangankan masyarakat umum, tiga orang pun - walau dalam perjalanan - dianjurkan untuk memilih salah seorang di antaranya sebagai pemimpin.

Memilih adalah amanat, jabatan yang diberikan oleh pemilih dan diterima oleh yang terpilih juga amanat. "Jika amanat disia-siakan atau diserahkan kepada yang tidak wajar memikulnya, maka nantikan saat kehancuran," demikian pesan Nabi saw. Ini berarti keengganan memilih, atau memilih yang tidak wajar merupakan penyia-nyiaan amanat. Dan Anda tahu, bagaimana sikap Tuhan terhadap yang menyia-nyiakannya.

Jangan berkata: "Tidak ada yang wajar dipilih, kesemuanya buruk." Karena kalaupun itu benar, Nabi sekali lagi memberi petunjuk, fi ba'dh al-syarri khiyar (dalam yang buruk pun ada pilihan), yakni dengan memilih yang paling sedikit keburukannya, karena sabda Nabi mengemukakan argumentasinya: "Pemerintahan yang aniaya lebih baik dari kekacauan."[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan halaman 393-395

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...