Tapi mungkin jamannya Mbah kita K. Maufura tidak demikian, walaupun seseorang bergelar haji, tetapi kalau hajinya ada embel-embelnya “Haji Singapura” berarti dia hendak melakukan perjalanan haji naik kapal laut, dan waktu kapal andon istirahat di Singapura, calon haji ini kehabisan ongkos, sehingga ia harus cari makan di Singapura, dan cari ongkos untuk pulang lagi ke Nusantara. Tak heran kan, kalau wafat K. Maufura di Singapura, waktu rihlah untuk menunaikan ibadah haji. Karena memang sebelum menuju ke Makkah, peristirahatan kapal rombongan calon haji yang paling kondusif di negeri Singapura.
Haji merupakan ibadah yang paling diistimewakan oleh budaya manusia. Coba lihat saja kenapa orang mengerjakan shalat tidak perlu mencantumkan kata shalat, atau mushalli, di depan namanya? Orang zakat yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai muzakki juga tak pernah menjadi kategori kelengkapan nama seseorang. Apalagi orang yang berpuasa sebagai shaim, dia juga tak perlu mejadi kelengkapan nama. Misalnya: Shaim Ahmad Saifullah. Muzakki Ahmad Saifullah. Atau biar menghabiskan tinta bolpen bisa ditulis dengan rangkaian kata bahasa kita: Shalat Puasa Zakat Haji Ahmad Saifullah.
Kenapa mencantumkan ibadah yang telah dilakukan di depan namanya harus pilih-pilih, alias hanya haji? Apa karena mahalnya ongkos naik haji, sehingga cap haji sama juga sebagai cap yang bermakna: saya dipanggil haji, berarti saya kaya?
Haji memang sebagai pakaian sosial. Orang yang sudah haji sangat lumrah dalam masyarakat diperlakukan berbeda dengan orang yang belum haji. Misalnya dalam majlis, selalu dipersilahkan untuk duduk di deretan paling depan; dalam musyawarah kampung ide-idenya selalu didukung oleh banyak orang, walaupun kurang maslahat. Sebagian orang sangat bangga menyebut dirinya tiap dua tahun sekali pergi haji. Padahal tetangga samping kanan kirinya masih banyak yang miskin, anak yatim, dll.
Mohon maaf, saya harus melihat ancaman Surat al-Ma'un bagi orang yang shalat, tetapi melalaikan shalatnya. Kalau boleh dipahami, bahwa orang yang melalaikan shalatnya itu adalah orang yang mengerjakan shalat karena riya', juga mengerjakan shalat tetapi melalaikan anak yatim dan fakir miskin. Karena ungkapan menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin jatuh sebelum kalimat “celakalah bagi orang yang shalat”.
Kalau dalam kiasnya bisa dikatakan bahwa orang yang pergi haji sampai berkali-kali tetapi dia melalaikan kewajibannya menyantuni anak yatim dan fakir miskin sama predikatnya sebagai penanggung ancaman “celaka!”. Kalau dalam kategori Mbah Rifai, disebut sebagai “ninggal wajib milahur sunnah”.
Kenapa surat itu dinamai al-Ma'un? dan ungkapan dari surat tersebut berbunyi: “dan (orang yang) enggan (menolong dengan) barang berguna”. Al-Ma'un di situ berarti sesuatu yang bisa dipinjamkan sesama manusia (barang berguna).
Kata al-maun bisa dipahami dalam ungkapan: “mengapa uangmu kau hambur-hamburkan untuk wira-wiri pergi haji, padahal Nabi mensyariatkan hanya sekali sepanjang hidup bagi setiap Muslim, itupun kalau mampu? Mengapa tidak kau pijamkan saja uang itu untuk modal usaha fakir miskin sehingga menjadi sesuatu yang berguna bagi orang banyak (al-Ma'un)? Atau kau sedekahkan kepada anak Yatim. Karena kitalah yang butuh mereka. Bukan mereka yang butuh kita. Anak Yatim dan fakir miskin akan menolong kita semua terbebas dari hardikan Surat Al-Ma'un yang sangat mengancam itu: “Celaka”.
Aku kadang berhayal, karena aku sebagai orang Rifaiyah, suatu saat akan memakai Nama Syahadat Ahmad Saifullah, karena Rifaiyah kan rukun Islamnya hanya satu. Jadi mestinya yang patut jadi embel-embel di depan nama bukan Haji, tapi Syahadat. Nanti semua orang Rifaiyah kita anjurkan di depan namanya memakai laqab Syahadat. Jadi, kalau nanti ada seorang bupati atau gubernur bernama Syahadat Muhammad Paijo, Anda gak usah repot-repot tanya: “Bapak tergabung dalam ormas apa? Rifaiyah atau bukan.” Apalagi, Tanya: “agamanya apa?”
Kalau perkiraan sejarah yang saya baca, mungkin konstruk embel-embel Haji itu ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Dulu pas masa penjajahan, orang pergi haji sangatlah sulit. Orang yang pergi dan pulang haji pasti diperiksa dan diinterograsi oleh pemerintah Belanda. Setelah diperiksa, mereka mendapatkan surat keterangan (Beuslit). Kenapa harus diperiksa? Takutnya mereka bawa ajaran, pemikiran yang aneh-aneh yang bisa menumbuhkan sikap patriotis rakyat. Sudah banyak jaringan ulama nusantara yang menuntut ilmu di sana menjadi punggawa pemberontakan rakyat melawan penjajah.
Dulu pas jamannya Mbah Rifai, orang pergi haji itu masanya tak hanya satu-dua bulan seperti sekarang, tetapi bisa puluhan tahun, karena mereka mengemban misi mencari ilmu di tanah Haramain. Dan ketika para pengandut ilmu itu masuk ke tanah Jawi, pasti akan menyebarkan pemahaman ilmu dan semangatnya. Pemahaman yang mencerahkan kepada rakyat, seperti di tauladankan Mbah Rifai menjadi bom waktu bagi Belanda. Jadi untuk menandai apakah orang itu bahaya atau tidak, cukup bagi Belanda menyantumkan embel-embel Haji di depan nama seseorang. Kalau itu benar, maka lucu kalau sekarang kita memakai embel-embel haji ya….?!
Juga salah, kalau seseorang memakai embel-embel haji. Orang disebut sebagai al-Hajj itu kalau dia masih dalam rangkaian mengerjakan Ibadah Haji, disebut Shaim itu kalau dia berpuasa dan masih berpuasa. Disebut Muzakki itu kalau dia lagi mengerjakan zakat. Jadi kalau orang yang sudah pulang dari melaksanakan ibadah haji, tak ada hak untuk disebut Haji. Jadi orang Rifaiyah sekarang itu bisa dikatakan tidak ada yang haji. Wong sekarang bukan bulan DzulHijjah kok.
Maaf. Sebagian substansi ide ini saya kutip dari pemikiran guru saya Emha Ainun Nadjib.
Paesan, 19 Mei 2009
Oleh. Ahmad Saifullah
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar