Selasa, 25 Januari 2011

UNIVERSITAS CAK NUN I

Oleh Ahmad Saifullah pada 19 Juni 2010 pukul 22:37.

Cak Nun itu buku, atau lebih tepatnya orang kampus mengatakan Cak Nun itu teks, yang bisa dibaca dan menimbulkan banyak tafsir dan pengetahuan. Jadi seandainya banyak orang berjumpa dengan Cak Nun kemudian ia menulis tentang dia, dan ilmu kehidupan, maka itu niscaya, karena perjumpaannya adalah seperti membaca buku.

Cak Nun itu buku, bukan karangan saya sendiri. Ini saya dengar atas kalimat yang disampaikan beliau dalam pembacaan puisi Presiden Balkadaba. Kalau menurutku, ia membahasakan dirinya atas nama Mbah Sudrun, atau dia menganggap Mbah Sudrun sebagai buku, bisa juga sebagai sumber ilmu. Dan aku menganggap Cak Nun sebagai sumber ilmu. Laku hidupnya adalah sumber ilmu.

Di internet aku sempat mendengarkan pengajian Jalaluddin Rakhmat, ia menyampaikan tentang ilmu. Beliau mengaku bahwa dirinya tipe orang yang seandainya akan menulis harus membaca buku dulu. Makanya Kang Jalal mengagumi orang yang bisa menulis, tanpa harus membaca buku lebih dulu. Pentolan Ahlul Bait Indonesia ini kagum dengan Budayawan MH. Ainun Nadjib yang menulis ribuan tulisan, tentang multifenomena, tanpa harus membaca buku lebih dulu. “Dia mendapatkan ilmu laduni.” Kata Kang Jalal.

Kalau tidak salah Cak Nun juga pernah mengatakan, dirinya cukup membaca satu lembar buku itu sudah cukup bisa membuat ratusan tulisan. Baginya membaca tak harus membaca buku, tetapi setiap hal yang sempat berjumpa dengannya, pasti ia baca.

Beliau mampir di tukang bakso saja sudah bisa menjadi tulisan yang hakikat: “Bakso Khalifatullah”. Beliau berteman dengan Guk Nuki, bisa menelurkan karya dan berbagai macam tulisan tentang fenomena markesot. Beliau bertemu dengan serombongan ‘orang shalih’ yang tak mau berjabat tangan dengan ‘orang gila’, cukup bisa menjadi tulisan yang menginspirasi pembacanya, bahkan tulisannya mengetengahkan hakikat kebenaran yang sementara salah dipahami oleh banyak orang.

Beliau bercengkrama dengan ‘pencopet’, itu cukup baginya untuk menuliskan berlembar-lembar rangkaian kalimat. Beliau bertutur tentang budaya copet yang juga punya norma yang khas. Dari mulai bahasa copet, sampai pembagian wilayah pencopet. Bahkan dalam dirinya masih menyimpan jutaan ilmu yang belum sempat dituliskan. Lihat saja tulisannya ‘gerbang maiyah’ yang di akhir guratan itu ada dua kata “tak terhingga….” Karena ilmu Allah memang tak terhingga…. juga jawaban beliau menanggapi SMS Jamaah Maiyah yang bermimpi menjumpai Cak Nun bersama Ibu Halimah dan Ibu Cammana. Bahasanya “berjuta kilo meter ilmu…”

Sekali lagi saya tidak ngarang, tetapi berdasarkan pengakuan dalam tulisannya yang mengapresiasi tentang Ibu Cammana dan kenangannya di sana yang seandainya dituliskan maka akan berderet rangkaian kalimat yang butuh tampungan beratus lembar.

Kalau menurutku Cak Nun tipe manusia seperti samudera. Saya berpendapat seperti ini pun karena terinspirasi pendapat beliau tentang Gus Dur yang menurutnya sebagai manusia samudera. Jadi setiap sesuatu, hal, mesti ia tampung. Ia sangatlah luas. Daya tampungnya seperti tak bertepi dan menampung berbagai macam persoalan, ilmu, manusia, jin, malaikat, dan masih banyak lagi.

Ketika di Yogyakarta dulu, dalam setiap bulan mengikuti Mocopat Syafaat, saya selalu mendapati keadaan langit terang benderang. Setiap Cak Nun hadir dalam Mocopat Syafaat pasti mendung tak menjadi hujan. Kehadirannya laksana kehadiran pawang hujan. Atas kehadirannya, sepertinya ‘kepala dinas’ hujan mempercepat hujan, atau memperlambat, atau bahkan membatalkan turunnya hujan, hingga Mocopat Syafaat selesai.

Tetapi ketika beliau tak hadir dalam Mocopat Syafaat, pernah pengkajian di TKIT Al Hamdulillah ini dirundung hujan. Hujan seperti ada remnya. Itu buktinya nyata saat Mocopat Syafaat dihadiri Amien Rais. Pentolan Muhammadiyah ini sempat ‘khawatir’ karena sepertinya hujan segera datang. Waktu itu Cak Nun sigap menenangkannya dengan bahasa khas beliau: “hujan akan menyesal seandainya jadi turun menyentuh kalian.” Suara krayak-krayak pun seperti di-erem.

Beliau manusia merdeka, sekaligus memerdekakan. Untuk itu dia tak bisa menggunakan otoritasnya untuk membatasi siapapun, kapanpun, di manapun. Bahkan ia telah memupuskan semua jenis kekuasaan atas dirinya. Dalam salah satu tulisannya kalau tidak salah. Ia menyatakan tak pernah menanam pohon dalam pot, karena itu sama halnya mengekang kebebasan pohon untuk tumbuh. Akar yang seharusnya bisa leluasa mekar, tak harus dibatasi oleh pot yang mengekang.

Pekalongan, 20 Juni 2010
Ahmad Saifullah

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...