Kalau Anda sedang jalan, tiba-tiba menjumpai ada seorang anak tergeletak di pinggir jalan karena kelaparan, maka Anda tidak dipersalahkan oleh fiqh serta tidak ada pasal hukum formal negara manapun yang membuat Anda ditangkap polisi. Tapi menurut pandangan akhlaq agama atau moralitas sosial, Anda sungguh salah. Apalagi menurut mata pandang taqwa: Anda mungkin dikategorikan bukan manusia.
Syarat rukun shalat adalah niat, terus takbiratul ihram dst… Tidak ada syarat harus khusyuk, sehingga kalau tidak khusyuk maka shalat Anda tidak sah. Jadi fiqh dan hukum formal itu lapisan paling dasar dari moral dan yang paling elementer dari taqwa. Saya tidak mengatakan fiqh dan hukum formal itu rendah atau tidak penting, melainkan ada yang lebih tinggi, yakni moralitas dan taqwa. Kalau shalat tidak khusyuk, atau setidaknya kurang berusaha untuk khusyuk, berarti tidak sungguh-sungguh menjalankan moral atau akhlak kepada Tuhan. Taqwanya diragukan.
Kalau dalam perspektif zakat misalnya, ukuran fiqih sangat teknis. Misalnya 2,5 persen. Asal sudah bayar segitu, tak dosa. Tapi tak dosa tidak sama dengan sudah berakhlak. Tak berdosa tidak berarti sudah lulus moral. Peta sosial-ekonomi suatu lingkaran masyarakat memiliki ukuran-ukuran tertentu sehingga kelayakan zakat menurut akhlaq berbeda-beda. Mungkin baru pantas kalau kita kasih 10%, atau bahkan 50%. Sedangkan terminologi taqwa menganjurkan kepantasan dan logika bahwa yang disebut sudah bertaqwa adalah kalau sudah ikhlas menyerahkan atau menyampaikan kembali segala yang kita miliki kepada yang punya, melalui siapa saja yang Ia kehendaki. Segala sesuatu yang kita punya itu bukan hanya deposito, rumah dan harta benda, tapi juga seluruh diri kita ini. Kalau sudah pada taraf itu, maka kita mengalami Islam: pemasrahan total diri kita kepada Yang Memiliki, Yang Menciptakan dan kemudian yang selama ini meminjamkan kepada kita.
Jadi sebenarnya taqwa itu sangat sederhana dan kelihatan mudah: yakni mengembalikan barang yang kita pinjam kepada pemiliknya. Apa anehnya dan apa susahnya? Kita mungkin keberatan kalau memberikan barang yang kita miliki kepada pihak lain. Tapi ini kan sekadar menyampaikan barang pinjaman kepada yang punya, tidak ada rugi dan keberatan apa-apa.
Kebanyakan kita cenderung lebih suka menggunakan sudut pandang pertama, yakni fiqh, atau hukum formal. Tapi ternyata tidak juga. Ada maling yang mencuri di suatu kampung, kontan saja masyarakat langsung memberikan hukuman—entah dengan menggebuki beramai-ramai atau menyeret ke kantor polisi setelah kondisi si maling tadi babak belur, atau membakarnya hidup-hidup. Ada dua orang lelaki kehilangan motor. Investigasi. Datang ke desa yang diduga tempat pencurinya. Sampai di sana malah diteriaki sebagai maling. Orang mengeroyoknya dan dibakar hidup-hidup.
Akhlak sosial yang dewasa melakukan etika untuk menanyakan terlebih dahulu, apa latar belakang dia mencuri. Mungkin karena isterinya akan melahirkan, sementara dia tidak mempunyai uang sama sekali. Karena kepepet dan berjumpa momentum, maka terpaksa dia mencuri. Penanganan terhadap si maling tadi, jika dilihat dari sudut pandang yang kedua ini, si maling tetap dihukum atau diserahkan ke polisi, tetapi masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak itu.
Bila masyarakat kita sudah berada dalam lingkaran taqwa, sebenarnya tidak ada kesulitan dalam mengatasi persoalan-persoalan seperti di atas. Jika si A membutuhkan pertolongan atau bantuan karena isterinya akan melahirkan, maka si A menyampaikan kebutuhannya tadi—secara syariat kepada si B, namun hakikatnya memohon kepada Allah—sehingga Allah akan memudahkan kepada si A dengan lantaran rizkinya dari si B. Maka, secara batin (hakikat), si A berterima kasih kepada Allah, sedangkan secara lahiriyah (dzahir), dia berterima kasih kepada si B. Dari sini tampak kontinuitas antara dimensi horizontal dengan dimensi vertikal. Bukankah segenap niat dan aktivitas kita selalu berkaitan dengan dua dimensi itu?
(Emha Ainun Nadjib/Kitab Ketentraman/ Republika/ PmBNetDok)
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar