Sewaktu kecil, Asma adalah Asma kecil yang sakit-sakitan. Pernah katanya dia menderita sakit jantung, kemudian sakit paru-paru, bahkan juga pernah geger otak. Jadi kehidupan Asma kecil adalah kehidupan yang akrab dengan rumah sakit. Karena sakit-sakitan itu pula yang membuat dia tidak bisa menyelesaikan kuliahnya di IPB.
Lantas apa yang dilakukan saat berada di rumah sakit di RSCM? Membaca buku. Ibunya, yang biasa dia panggil mami, selalu membelikan buku ketika dia harus menunggu antrean di rumah sakit. Asma kadang bertanya dalam hati, dari mana uang untuk membeli buku itu, karena keluarga mereka boleh dibilang keluarga sangat sederhana. Belakangan Asma tahu bahwa ternyata dengan membeli buku itu, maminya mengorbankan makan siang.
Ketelatenan membeli buku itu tak terasa membuat koleksi buku mereka semakin banyak. Agar lebih bermanfaat, keluarga yang tinggal di pinggir rel kereta itu membuat tempat penyewaan buku yang sederhana. Uang sewa dari buku itu dibelikan lagi buku untuk menambah jumlah buku persewaan.
Asma Nadia yang bernama asli Asmarani Rosalba itu meyakini bahwa kebiasaan membaca buku sejak kecil itu secara tak langsung telah menginspirasinya menjadi penulis. Meskipun pada awalnya dia sendiri minder untuk menulis. ‘’Cerpen saya selalu mendapat kritik dari saudara saya,’’ kata Asma yang mempunyai dua saudara, salah satunya adalah penulis kawakan Helvy Tiana Rosa.
Tapi, selain memberi kritikan, Helvy tak henti-hentinya memompa motivasi agar Asma terus menulis. Helvy pula yang memberi nama ‘komersial’ sekarang ini. Nama tersebut berarti nama yang menyeru. Menurut Helvy, nama Asmarani Rosalba itu sulit diingat. Karena itulah ia menciptakan nama pena untuk adiknya yang gampang diingat dan gampang diucapkan, Asma Nadia.
Asma mulai menulis serius sejak duduk di bangku SMP. Suatu ketika dia menulis sebuah cerpen yang panjang. Langsung saja cerpen itu dikritik habis saudaranya. Kritik itu dia perlakukan sebagai cambuk, sampai akhirnya cerpen pertamanya berjudul “Surat Buat Assadullah di Surga” dimuat di Majalah Annida pada 1990. Lima tahun kemudian ia mendapatkan penghargaan dari majalah tersebut sebagai juara pertama lomba menulis cerpen Islami di tingkat nasional. Juara tersebut diraihnya dua tahun berturut-turut.
Hal tersebut masih belum membuatnya percaya diri dalam menulis. Ia masih merasa bahwa profesi menulis bukanlah profesi yang menjanjikan. Sampai kakaknya, Helvy Tiana Rosa, mengatakan bahwa menulis itu tidak hanya bisa dilakukan sebagai hobi, tetapi juga bisa menjadi media dakwah.
Dari sana Asma memutuskan untuk memberi misi dalam setiap tulisannya. Tulisan-tulisan di awal karir menulisnya memfokuskan diri pada tulisan remaja. Tulisan-tulisan ini mendapatkan berbagai penghargaan, salah satunya adalah dari Mizan Award sebagai pengarang fiksi remaja terbaik pada tahun 2003. Ia juga memperoleh penghargaan dari IKAPI dua tahun berturut-turut, yaitu 2001 dan 2002.
Sampai saat ini sudah 43 buku yang ia terbitkan. Novel terakhir berjudul ‘Rumah Tanpa Jendela’ yang merupakan pengembangan dari cerpennya ‘Rumah Rara’ diangkat menjadi film pada 2011. Sebelumnya, satu novel Asma juga pernah difilmkan, yaitu ‘Emak Ingin Naik Haji’. Buku-buku Asma juga sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Salah satunya adalah buku ‘Emak Ingin Naik Haji’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa India.
Buku, bagi Asma bisa menjadi media untuk melakukan perubahan. Karena itu sampai kapan pun dia tidak akan meninggalkan profesi sebagai penulis. Apalagi dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa buku yang dia tulis, entah itu novel, cerpen atau motivasi, mampu memberikan manfaat bagi orang lain.
..........TERKAIT..........
mbak asma sangat menginspirasi
BalasHapus