Kamis, 05 Mei 2011

Mendaras Islam Progresif, Melampaui Islam Liberal

Oleh Airlangga Pribadi pada 04 Mei 2011 pukul 14:03
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Koordinator Serikat Dosen Progresif

Islam sebagai agama adalah sebuah risalah profetik yang tunggal, namun demikian tafsir manusia terhadap risalah yang satu ini dalam perjalanan historisnya di bumi manusia tidak pernah berbentuk tunggal. Kondisi hidup dari setiap kelompok dan kekuatan sosial ketika memaknai situasi yang ia hadapi selalu mempengaruhi bagaimana ia membangun pandangan hidup, sistem nilai dan basis legitimasi atas apa yang ia yakini. Seperti diuraikan dengan gamblang oleh intelektual Islam profetik asal Iran Ali Syari’ati (1985) ketika menulis tentang riwayat Abu Dzar al-Ghifari dalam And Once Again Abu Dzar menguraikan “Tidaklah cukup mengatakan kembali ke Islam. Kita harus uraikan secara spesifik. Islamnya Abu Dzar sebagai rakyat ataukah Marwan sang penguasa...Yang satu adalah Islam khalifah, istana, penguasa, sementara yang lain adalah Islamnya rakyat, yang tertindas dan miskin”.

Pandangan Ali Shariati di atas menunjukkan dengan jelas bagaimana ketika setiap orang datang dan memeluk teks suci tidaklah bebas nilai, manusia datang dengan segenap harapan dan problematikanya sendiri. Demikian pula tiap-tiap Muslim ketika memaknai agamanya Islam, maka mereka akan mendatanginya dengan sebuah komitmen awal yang mereka pilih secara sadar, sebuah titik berangkat yang pada kelanjutannya apabila ditelusuri akan membentuk pilihan ideologis, sistem nilai dan perangkat keyakinan yang secara metodologis membentuk pemahamannya tentang agama yang mereka peluk.

Hermeunetika Islam

Pandangan hermeunetik ini sendiri di dalam Islam bukanlah muncul belakangan, namun agaknya telah lahir seiring dengan kehadiran Islam itu sendiri. Seperti diuraikan dengan jelas oleh Imam Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah saat ia ditegur oleh kaum Khawarij ketika sepakat untuk berunding dengan Muawiyah, hal ini dianggap menyalahi perintah Al-Qur’an. Beliau kemudian meminta kepada mereka untuk membawa Al-Qur’an dan menyuruh kepada mereka agar Al-Qur’an berbicara. Ketika kaum Khawarij itu bingung dan terdiam atas uraian Imam Ali lalu beliau pun menguraikan sebuah kalimat yang menandai tradisi hermeunetika di dalam Islam yaitu, “Inilah Al-Qur’an itu yang ditulis dengan sebenar-benarnya, dan berdiri di antara dua pihak, namun ia tidak berbicara dengan lidahnya; ia butuh penafsir dan para penafsir adalah manusia”.

Dalam uraian yang dituturkan oleh Imam Ali ini maka hubungan antara teks suci dan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan kondisi obyektif yang dialami oleh tiap-tiap manusia. Mempercayai universalitas Al-Qur’an sepanjang masa adalah berbeda dengan meyakini teks Al-Qur’an dapat dibaca tanpa memperhatikan kondisi ruang dan waktu serta kondisi sosial yang dihadapi oleh tiap-tiap orang yang mendatanginya. Setiap perjalanan teks suci sebagai sebuah risalah selalu terkait dengan berbagai peristiwa yang melatarinya (atau dalam istilah ilmu khazanah Islam disebut sebagai peristiwa-peristiwa yang melatari turunnya ayat/azbabun nuzul). Seperti diutarakan oleh teolog Islam pembebasan anti-apartheid asal Afrika Latin yaitu Farid Essack (1997) dalam Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression dalam pemaknaan pewahyuan progresif wahyu dimaknai dalam prinsip tadrij bahwa setiap ajaran diwahyukan secara berangsur-angsur mencerminkan dengan baik interaksi dinamis antara kehendak Allah SWT, realitas di bumi dan kebutuhan dan kondisi manusia dalam situasi yang konkret. Pewahyuan Al-Qur’an yang diwahyukan secara koheren dalam prosesnya berlangsung secara bertahap sebagai sebuah dialog interaktif antara wahyu profetik dan kebutuhan konkret.

Kontekstualisasi terhadap pesan-pesan profetik Al-Qur’an inilah yang memungkinkan tampilnya konstruksi teologi progresif yang memungkinkan kita untuk meletakkan komitmen dasar keyakinan sebagai seorang Muslim untuk membangun sistem nilai berdasarkan dialognya antara kenyataan yang ia hadapi dengan risalah suci yang ia yakini. Melalui kerja tafsirlah maka setiap kata, peristiwa dan ajaran yang terbentang jauh dalam jarak masa lalu memiliki relevansi dapat difahami dan memberikan makna eksistensial terhadap kondisi saat ini. Pemahaman tentang pemaknaan manusia atas agama melalui proses tafsir ini memiliki makna progresif dan radikal ketika seorang Muslim memaknai keislamannya.

Berbeda dengan pendekatan kaum literalis yang berusaha mereplikasi dan mereproduksi secara utuh realitas kehidupan ummat Islam zaman Rasulullah dalam realitas abad ke-21, maka kaum Muslim progresif memaknai ayat-ayat Islam sebagai ayat-ayat yang bergerak. Kaum progresif membedakan antara api Islam yaitu nilai-nilai substansial yang menjadi ruh dari agama ini dengan ayat-ayat yang secara spesifik digunakan sebagai aturan yang ditegakkan dalam konteks ruang dan waktu.

Mengutip dialog dalam status Facebook dari penulis terhadap salah satu komentar yang menolak pendekatan kontekstual ruang dan waktu dalam memahami agama, maka pada waktu itu penulis mengajukan pertanyaan tentang “apakah Anda sepakat bahwa Islam melarang perbudakan?” lalu ia menyepakati pertanyaan penulis. Selanjutnya saya kembali menanyakan kepadanya, apakah Anda menemukan ayat ataupun hadits nabi yang secara tegas menghapuskan institusi perbudakan. Kawan yang memberi komentar tersebut kemudian menjawab tidak secara jelas terkait bahwa Islam melarang perbudakan. Diskusi tentang –perbudakan ini saya pilih, karena pada persoalan inilah setiap Muslim menyepakati bahwa posisi manusia setara di dalam Islam.

Dengan contoh dialog tersebut, saya bermaksud untuk menjelaskan bahwa “Api Islam” yang menjadi semangat konstan dari agama ini adalah kesetaraan ummat manusia dan tatanan bebas dominasi. Seperti tertuang lebih dari 50 ayat tentang relasi keadilan dalam hubungan ummat manusia dalam Islam. Sementara terkait dengan kontekstualitas zaman waktu itu maka belum dihapuskannya institusi perbudakan adalah terkait dengan keterbatasan kondisi ruang dan waktu. Namun demikian bukan berarti Islam abai terhadap persoalan ini, secara perlahan-lahan relasi Tuan dan Budak dimanusiawikan dan mulai diperkenalkan hak-hak dari budak (Risalatul Huquq; Imam Ali Zainal Abidin r.a), lalu pembebasan dari belenggu perbudakan lebih diutamakan dalam Islam. Dengan memegang ruh Api Islam yaitu kesetaraan, keadilan dan anti-dominasi di antara ummat manusia maka sebuah teologi progresif Islam membangun metodologi tentang bagaimana konstruksi politik dibangun, landasan hukum difikirkan dan aktivitas ekonomi dijalankan dalam kondisi terkini.

Berangkat dari penerimaan pluralitas tafsir manusia atas ajaran profetik yang diyakini, maka kita dapat menguraikan lintasan Islam Progresif dan perbedaannya dengan gagasan Islam Liberal bukan dengan mendaraskan pemahamannya secara konseptual, namun pertama-tama dengan menjejakkan pengalaman perjuangan demokrasi dan keadilan di Indonesia untuk menemukan komitmen keberagamaan seperti apakah yang sesuai dengan kondisi politik dan perjuangan ini.

Realitas Demokrasi Indonesia

Runtuhnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 membuka lembaran baru ekonomi-politik di Indonesia dengan terbangunnya tatanan ekonomi-politik Indonesia di bawah sistem demokrasi elektoral dan sistem ekonomi neoliberalisme. Momen baru pasca otoritarianisme ini tidaklah membuat perjuangan untuk mencapai kesetaraan, kebebasan dan keadilan sosial menjadi lebih mendekat dari cita-cita yang diharapkan. Jatuhnya Soeharto dan proses transisi demokrasi di Indonesia diikuti oleh kembalinya kehidupan kontestasi partai politik yang berjalan bebas, institusionalisasi partai politik dan kelembagaan trias politika, perundang-undangan pemilihan umum, proses desentralisasi dan semakin terintegrasinya Indonesia dalam perekonomian pasar bebas.

Segenap perubahan sistemik yang berlangsung tersebut pada kenyataannya masih menyisakan ruang kosong dalam perbaikan kondisi kehidupan warga Indonesia untuk menikmati hak-hak dasar warga seperti hak-hak sipil, politik dan ekonomi. Setiap aturan-aturan publik yang dibangun masih sarat dengan karakter patriarki dan pemaksaan tafsir literal agama dalam wilayah publik. Perubahan politik dari era Soeharto menuju era reformasi ini masih menyisakan persoalan terjadinya tindakan korupsi dan malpraktik kekuasaan di ruang publik. Ketika kepentingan personal dan kelompok mencoba melakukan proses dominasi terhadap ruang publik di Indonesia. Keadilan sosial, keadilan politik dan keadilan budaya tidak hadir dan berjalan di tempat seiring tiga belas tahun proses reformasi berlangsung.

Satu hal yang meresahkan bagi saya dalam melihat perjuangan-perjuangan politik yang terajut dalam proses penguatan demokrasi saat ini adalah keterbatasan perhatian dari para aktivis pro-demokrasi. Sebagian aktivis demokrasi yang berlatar dari strata kelas menengah misalnya begitu terfokus pada isu-isu kebebasan hak-hak sipil dan politik seperti pengakuan terhadap kebebasan keyakinan, kesetaraan politik, terorisme namun abai terhadap isu-isu yang terkait dengan persoalan struktural yang dialami oleh lapisan terbesar warga Indonesia. Sungguh mengherankan bahwa kepedulian terhadap kebebasan beragama dan problema terorisme (yang tentu sangat penting) tidak membawa sebagian lapisan aktivis kelas menengah perduli terhadap isu privatisasi pendidikan yang membatasi secara sistematik orang miskin sekolah di universitas, legalisasi sistem perbudakan dan eksploitasi manusia keluar negeri melalui label Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang memberikan devisa luar biasa, sistem outsourcing dan penghancuran serikat pekerja yang semakin menjadikan buruh sebagai komoditi dan penghancuran serta kriminalisasi oleh aparat negara terhadap nasib kaum petani di Indonesia.

Kurangnya perhatian dari berbagai kalangan aktivis pro demokrasi terhadap isu-isu yang melampaui kepentingan kelas sosial di luar dirinya inilah yang membuat saya melihat bahwa di kalangan-kalangan pejuang kebebasan dan demokrasi saat ini setidaknya ada dua kelompok besar yaitu kaum liberal yang terbatas pada isu memperjuangkan kebebasan dari intervensi negara dan kaum progresif yang memperjuangkan demokrasi sebagai realisasi tatanan sosial politik anti dominasi. Pada kalangan terakhir inilah maka kaum demokrat progresif selalu memperhitungkan hadirnya dimensi keadilan sosial, budaya dan politik dalam membayangkan sebuah keadilan sosial.

Keresahan yang diperjuangkan oleh kaum demokrat progresif ini bukan hanya keresahan untuk memperjuangkan kebebasan formal namun keresahan terhadap hadirnya bentuk-bentuk baru eksploitasi terhadap segenap rakyat Indonesia. Artikulasi politik dari kaum progresif menggemakan kembali keresahan Soekarno delapan puluh satu tahun yang lalu (1930) dalam pledoinya di depan pengadilan kolonial Belanda Indonesia Menggugat yaitu “dengan kedatangan imperialisme modern caranya mengeduk berubah...tetapi banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan semakin besar, pengeringan Indonesia malahan semakin makan”.

Pada sisi lain pemaknaan terhadap proses perjuangan demokrasi di Indonesia saat ini juga membawa saya merenungkan bagaimana persaudaraan lintas agama dibangun dalam komitmen perjuangan tersebut. Yang saya temui dalam proses-proses perjuangan liberasi ini adalah hadirnya komitmen utuh kemanusiaan dari berbagai lintas keyakinan untuk mempertahankan keadilan di tingkat basis. Saya masih teringat bahwa berkembangnya kesadaran kritis saya dalam melihat realitas sosial penindasan di Indonesia tak dapat dilepaskan dari diskusi kritis baik dengan seorang ustadz langgar (Ustadz Quswandhi) maupun dosen progresif Marxist gay dan masih berkomitmen terhadap nilai-nilai utama Katolik yang saya hormati (Dede Oetomo). Beberapa tahun lalu saya menyaksikan pembelaan seorang Romo (Romo Yohannes Gani) yang tinggal dan mendampingi para pengungsi di pasar baru Porong akibat korban kejahatan ekologis dari Lapindo. Kriminalisasi oleh negara yang dilakukan terhadap petani di Alas Tlogo menghadirkan komitmen ulama setempat untuk membela mereka dan perjuangan mengonsolidasikan gerakan buruh di banyak tempat membangun solidaritas kaum agamawan bahkan kaum yang menganut pandangan humanisme universal di banyak tempat. Pendeknya problem demokrasi, keadilan sosial dan komitmen lintas iman inilah yang agaknya menjadi perhatian saya ketika mencoba belajar untuk memformulasikan teologi progresif khususnya dalam Islam sebagai sebuah jalan pembebasan.

Dalam konteks inilah bahwa sebuah pemaknaan terhadap kehadiran aktif Tuhan dalam mengelola semesta dan ciptaanNya (Tawhid) dan komitmen ketundukan dan pasrah terhadap kehendaknya (Islam) dalam refleksi ini saya arahkan dalam karakter progresifnya. Apakah yang saya maksud dengan karakter progresif tersebut dan apa perbedaannya dengan karakter liberal. Farid Essack (2008) dalam karyanya In Search of Progressive Islam beyond 9/11 menguraikan bahwa ada perbedaan mendasar antara progresif dan liberal yang memiliki imbas terhadap pemaknaan agama dan komitmen aktif dalam memaknai dan mengubah dunia. Secara etimologis progresif adalah bergerak ke depan, mendukung kemajuan. Secara ide-ide politik progresif adalah term progresif sejalan dengan gagasan-gagasan kiri yang berbenturan dengan gagasan reaksioner dan konservatif sementara dalam wacana kritis (critical discourse) maka progresivitas selalu diasosiasikan dengan ide-ide republikanisme dan komunitarian bukan liberal yang mengusung individualisme dan kebebasan formal.

Lebih lanjut dalam relasi antara jejaring pengetahuan dan politik, ide progresif selalu tekspos terhadap pilihan-pilihan politik untuk melakukan kritik mendasar terhadap kondisi masyarakat dan perlawanan terhadap kondisi struktur ekonomi politik yang melanggengkan penindasan dan ketidakadilan baik dalam konteks perjuangan kelas, gender, ras dan posisi-posisi subyek dalam realitas sosial lainnya. Terminologi progresif juga biasanya diletakkan secara kontras dengan terminologi liberal. Apabila perjuangan politik liberal sebagian besar hanya terfokus pada perjuangan untuk menciptakan tatanan yang bebas dari intervensi negara dan kesamaan kesempatan tanpa melihat posisi sosial awal dari masing-masing kelompok, hal ini berbeda dengan posisi kaum progresif. Posisi politik kaum progresif ketika dihadapkan pada pentingnya sebuah perubahan sosial, pertama-tama adalah melakukan interogasi terlebih dahulu mempertanyakan natur dari perubahan tersebut. Siapakah kelas-kelas sosial yang diuntungkan dari keberlangsungan perubahan tersebut. Apakah eksploitasi terhadap kaum yang dimiskinkan masih akan berlanjut dalam jalur perubahan sosial yang sedang diperjuangkan. Selanjutnya kaum progresif meletakkan tujuan utama dari perjuangan tersebut untuk menghadirkan keadilan sosial dan menuntaskan eksploitasi manusia atas manusia di setiap wilayah kehidupan.

Mengapa menghadirkan artikulasi teologi progresif ini penting dalam konteks globalisasi terkini. Realitas politik terkini di era free market democracy menghadirkan kepada kita bagaimana nilai-nilai liberalisme ekonomi politik yang mengandaikan pentingnya intervensi minimal otoritas politik dalam wilayah ekonomi, kebebasan individu dan pasar bebas telah melegalkan eksploitasi dan penindasan hak-hak manusia secara halus dan lebih represif. Atas nama bebas dari intervensi negara maka ruang-ruang eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas pekerja berlangsung secara lebih telanjang, anak-anak miskin terhambat proses mobilitas sosial vertikalnya karena rezim komersialisasi pendidikan (yang membangun dalih melepaskan diri dari intervensi negara) menghambat mereka mengakses pendidikan tinggi, perdagangan bebas menghantam nasib petani untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya. Realitas-realitas ekonomi politik yang membentuk kondisi hidup dari tiap-tiap orang di Indonesia inilah yang melahirkan tuntutan untuk memperjuangkan artikulasi progresif dalam teologi Islam dan melampaui teologi liberal yang terbatas pada kebebasan manusia.

Dalam konteks pergaulan global antar warga dunia kontestasi pemaknaan progresif dan liberal ini juga tidak terelakkan. Dalam pemaknaan Islam liberal maka diskursus pluralisme dan multikulturalisme dimaknai sebatas keterbukaan terhadap keberagaman maupun perbedaan dengan pembelaan terhadap hadirnya pluralitas sebagai hak dasar sipil dan politik tiap-tiap manusia. Sementara dalam perspektif kaum progresif memaknai pluralisme dan multikulturalisme senafas dengan tuntutan keadilan radikal. Bagi kaum progresif bahwa perhatian terhadap mereka yang selama disisihkan dalam konstruksi berbangsa seperti masyarakat adat, adalah pengakuan tidak saja terhadap keyakinan mereka terhadap nilai-nilai spiritual bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya namun juga pengakuan terhadap pola produksi mereka terhadap bumi dan alam yang dihancurkan oleh eksploitasi kapital untuk menghisap sumber daya alam dan kehidupan mereka.

Pengakuan terhadap dialog antar peradaban juga tidak melupakan kritik terhadap relasi peradaban dalam sistem kapitalisme yang menghisap keluar sumber daya dalam rantai penghisapan dan ketergantungan yang berpusat pada kekuatan imperium kapitalisme. Komitmen teologi pembebasan Islam adalah penolakan terhadap imperialisme dan sistem kapitalisme yang melanggengkan penindasan manusia atas manusia sejalan dengan penghargaan terhadap pluralisme, multikulturalisme dan kebebasan sebagai anti dominasi.

Relasi Tawhid dan Progresivitas

Setelah secara singkat kita mengelaborasi perbedaan antara komitmen progresif dan liberal maka selanjutnya saya akan mencoba menghubungkan bagaimana karakter progresif ini bertemu dengan fundamen dasar dari Islam yaitu Tawhid. Penjelasan ini penting dan menjadi inti dari wacana teologi pembebasan dalam Islam agar tulisan ini tidak menjadi tulisan inegesis (memasukkan keinginan saya secara sembarangan terhadap Islam) namun menjadi exegesis (bagaimana teks Islam berbicara dalam pemaknaan progresif). Ketika doktrin La Ilaha Illallah dikhabarkan oleh para nabi, maka lapisan kelas sosial yang paling terdepan menyerukan penolakan terhadap ajaran ini dalam sejarahnya adalah kalangan elite politik, kaum kaya, kepala-kepala suku. Hal ini adalah lumrah karena doktrin ini memiliki makna paradoks yang di satu sisi menyerukan ketundukan kepada Allah yang Tak Terhingga dan di satu sisi mengabarkan kebebasan dan kesetaraan ummat manusia.

Di satu sisi penghambaan dan ketundukan ini muncul dalam ayat “Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, semua tunduk pada-Nya (Qs Al-Baqarah; 116) dan di sisi lain khabar akan kesetaraan manusia diserukan dalam makna yang radikal yaitu janji pewarisan dunia kepada kaum miskin dan yang tertindas, seperti dalam ayat “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang2 yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang2 yang mewarisi bumi (Al-Qashash: 5). Dalam formulasi teologi progresif Islam maka jelaslah bahwa secara fundamental ajaran tawhid dalam Islam mengabarkan pesan tentang ketundukan radikal kepada Tuhan sekaligus kesetaraan dan imperatif membangun tatanan yang bebas dominasi di mana mereka yang termiskinkan menjadi pemimpin di dalamnya.

Sebagian kritik dari kalangan materialis terhadap komitmen ketuhanan kerapkali menyerang bahwa kepercayaan terhadap Tuhan dan agama menghisap keluar keagungan kualitas hidup manusia melemahkannya untuk menerima nasib yang mereka hadapi saat ini di hadapan penindasan dan dominasi sambil menunggu nikmat dan kebahagiaan dalam kehidupan pasca kematian. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengkritik faham materialis tersebut, namun dalam konteks teologi pembebasan Islam maka tulisan ini bermaksud untuk memberikan pemahaman yang berbeda dan bertolak belakang dengan tesis tersebut.

Di dalam khazanah fundamen dasar Islam, 99 nama-nama Allah diperkenalkan sebagai bentuk penghayatan dan peneguhan komitmen dasar manusia terhadap penciptanya. Seperti diutarakan oleh Muhammad Taqi Falsafi (1992) ketika mengulas tentang Ayat Kursi dalam karya tafsirnya memberikan elaborasi tentang makna dari Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri). Al-Qayyum dalam tafsir berarti “yang berdiri tegak dan menjaga segala sesuatu, dan yang memberikan kepada mereka apa yang menunjang keberadaan mereka”. Artinya bahwa dalam nama Al-Qayyum tersebut selain Allah berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada  yang lain juga ia mencukupi kebutuhan manusia. Dalam pemaknaan radikal pembebasan, Tuhan yang maha mencukupi kebutuhan manusia tidaklah membuat kita sebagai manusia pasrah dengan kondisi. Justru sebaliknya kaum aktivis Islam progresif akan memaknainya setiap ketidakadilan sebagai bentuk tindakan zalim manusia atas bumi bukan menyerah dan menganggapnya sebagai suratan. Iman tak menghisap keluar keagungan manusia namun menyadarkan bahwa tiap orang harus terpelihara dan tercukupi hidupnya.

Kesadaran teologis dalam Islam juga menekankan akan pentingnya manusia dalam perjuangannya untuk merenungkan bagaimana proses-proses sejarah yang berlangsung membentuk kompleksitas relasi-relasi sosial yang membangun kondisi bagi kehidupannya, maupun membatasi dalam realitas eksploitatif. Tekanan akan pentingnya memperjuangkan keadilan sosial yang akan menyatukan kaum progresif Muslim dengan kaum “kiri” lainnya dalam kesamaan memperjuangkan proyek pembebasan akan dituntaskan dalam pemaknaan Surat Al-Ashr di mana Allah memulainya dengan Demi Waktu. Demi waktu! Dibentang cakrawalanya terbangun sejarah yang dibangun oleh daya manusia yg membentuk kondisi hidupnya. Sesungguhnya mayoritas manusia yang tak menyadari relasi-relasi yang terbangun di dalamnya atau memanfaatkan untuk kebakhilannya akan merugi! Kecuali mereka yg bangun dan sadar (iman), beraksi, menyeru apa yg haq dan adil (amal shalih). Hal itu ia lakukan dengan harapan keadilan datang (sabar). Demikianlah maka seperti diuraikan oleh Farid Essack (1997) bahwa bagi sosok Muslim yang tersisih dan berkomitmen untuk membangun solidaritas dengan yang lain, maka usaha ini adalah menggenapi perjalanan Rasûl Muhammad di tengah medan pertarungan Makkah dalam posisinya sebagai tertindas berhadapan dengan penindas, dalam keramahan kaum “lain” di Madinah menuju praksis kemerdekaan Madinah untuk menghentikan dominasi satu kaum terhadap kaum lainnya.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...