Senin, 02 Mei 2011

Kiai Kocar-Kacir

Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib

Seorang berbadan hitam dan berkumis dari Bangkalan, Madura, menemui saya di Jakarta, hanya untuk membawa satu pertanyaan. Betapa tak ekonomisnya dan tak produktifnya orang ini, jika dinilai dari ideologi ekonomi modern. Berapa biaya yang ia keluarkan untuk mengongkosi pertanyaan yang sangat tak luar biasa itu: ”Apa sesungguhnya arti beribadah kepada Tuhan?“

Asyik juga kalau dianggap kiai, sehingga dianggap bisa menjawab segala pertanyaan - meskipun sekaligus sangat membahayakan. Untunglah “kiai” itu bukan term dari Islam. Kiai juga tak ada hubungannya dengan keunggulan, kesalehan, atau kepandaian. Pendekar yang kalau berkelahi kalah melulu disebut Kiai Kocar-Kacir. Raja yang sangat banyak berbuat tak adil namun selalu beruntung dengan kekuasaannya disebut Kiai Bejo. Kerbau kraton Jawa yang berkeliaran semaunya tanpa ada orang berani mengusirnya bernama Kiai Slamet.

Jadi kalau saya dikiaikan terkadang malah timbul rasa tersinggung. Emang-saya kerbau. Sementara kalau saya dianggap bisa menjawab segala pertanyaannya itu karena Allah SWT. Jadi, celakalah kalau Anda di-Allah-kan orang lain. Lambat atau cepat, Anda akan hangus luluh lantak bak laron yang diterbangkan ke permukaan matahari.

Seandainya Anda pernah terpaksa menuhankan seseorang, sehingga ia Anda nomor satukan, Anda bela sampai titik darah penghabisan dengan segala jenis penjilatan dan keindahan retorika – misalnya penguasa yang seluruh hidup Anda tergantung kepadanya-—kalau bisa jangan didengar orang lain. Pernah ada seorang raja pulang dari kunjungan ke luar negeri. Sang wakil raja menyongsong di bandara. Dan tatkala ia beradu muka, sang wakil raja spontan menyeru, “Ya Allah!“, saking terharunya atas pertemuan itu. Maka sang raja pun memeluknya dan berbisik ke telinganya, “Jangan keras –keras kalau memanggil nama saya“.

Kalau ada seseorang yang seolah-olah bisa menjawab semua pertanyaan, sehingga menjadi muara orang banyak menumpahkan problem, percayalah, apa yang keluar dari mulut orang itu sama sekali bukan miliknya, melainkan milik Allah.

Manusia menggali jawaban dari pertanyaan yang dihadirkan Allah kepadanya melalui manusia lain. Seorang bengkel motor belajar dari setiap kerusakan motor. Universitas manusia adalah problemnya. Di sisi itu semua ada rumus: “Kalau Tuhan mengamanatkan problem, Ia menyertakan fasilitas atau rezekinya, berupa apapun. Sebaliknya kalau Allah memberikan gagasan, Ia juga menyertakan masalah yang harus dicari sehingga jawaban gagasan itu bisa diterapkan. Atau kalau Tuhan memberikan fasilitas atau rezeki, tentu ada amanat di sisi-Nya yang harus kita selesaikan“.

Problem yang menimpa kita itupun ada takaran dan substansinya. Terkadang ia merupakan ujian atau cobaan. Di kondisi tertentu ia merupakan peringatan. Di saat lain ia hukuman. Krisis moneter dan segala macam krisis lainnya yang akut dan yang melatarbelakangi mesti kita hitung dengan seksama, apakah merupakan ujian, peringatan ataukah hukuman Tuhan. Atau mungkin krisis ekonomi merupakan hukuman Allah sesudah krisis politik dan kebudayaan yang tak kita atasi sebagaimana seharusnya. Mengingat itu semua, tiba-tiba saya menyadari bahwa pertanyaan bersahaja yang diangkut sahabat kita jauh-jauh dari Bangkalan itu ternyata tak mudah dijawab. Apa arti sebenarnya dari beribadah kepada Tuhan?

Karena saya khawatir dianggap terlalu bodoh maka saya menjawab sekenanya: “Beribadah kepada Allah adalah mempelajari isi hati-Nya. Meraba bagaimana perasaan-Nya kepada kita. Menyelami apa kehendaknya atas kehidupan kita dan kita siap menaati-Nya. Bagaimana memproses pemahaman dan perenungan terus menerus tentang apa iradah-Nya tentang semua realitas penciptaan ini sejak big bang sampai krisis di Indonesia dan kita lakukan gerakan hanya yang sudah terlebih dahulu dinegosiasikan dengan amr-Nya. Kalau tidak nanti kita jadi kiai dan santri kocar-kacir“

Jawaban sekenanya itu justru tidak mengamankan saya, melainkan memerosotkan saya ke jurang pertanyaan berikutnya yang lebih dalam dan remang-remang:

“Bagaimana cara meraba isi hati Allah? Lewat tarikat atau intelektualitas postmo? Bagaimana menyimpulkan apa yang dikehendaki-Nya? Kenapa kita harus tahu itu semua? Apakah manusia tak diberi otoritas untuk memiliki political will sendiri dan melaksanakan sesuai dengan aspirasinya? Bagaimana kita akan memilih warung dan makanan pada suatu siang, bagaimana kita akan mantap menyelenggarakan demonstrasi, menggagas reformasi, bagaimana kita akan pernah mampu sekali saja berbuat agak mendasar dan total untuk mengubah Indonesia – kalau prosedurnya begitu abstrak?”

Terpaksa saya mencoba mempertahankan pendapat saya.” Siapa bilang itu abstrak? Meraba kehendak Tuhan jangan diseram-seramkan dengan terminologi dan citra tentang tarikat dan kebatinan. Memahami kemauan Tuhan itu masalah biasa, tidak luks. Onderdilnya yang kita butuhkan cuma dua, pertama hati yang tulus, yang bersyukur dan berposisi mohon petunjuk, kedua pakai akal”.

Hati yang tulus itu bersahaja juga: kosongkan ia dari keributan kemauan kita sendiri, nafsu, emosi, pelampiasan dan obsesi kita sendiri. Pakai akal itu pun sederhana: kalau mau menanam sesuatu, harus jelas kebunnya, kondisi tanahnya, irigasinya, kesiapan kita untuk menyiraminya, dan memelihara sampai berbuah. Kalau main bola kesebelasannya mesti kompak, tak ada egoisme, gawangnya harus disepakati, pola kerja samanya harus sudah disusun. Jadi bukan hanya sekadar memain-mainkan bola. Bukan sekadar membuang–buang biji tanaman tanpa kita siapkan proses pertumbuhannya, itu namanya pelampiasan. Kehendak Tuhan menjauhkan kita dari ideologi pelampiasan, dan mendekatkan kita kepada pengendalian dan ketetapan.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...