Selasa, 19 April 2011

Soelaiman Budi Sunarto, Maestro Energi Alternatif Bioetanol

Suatu saat nanti, minyak yang menjadi andalan energi saat ini akan habis. Lantas apa yang harus kita lakukan kelak? Kalau pertanyaan itu diajukan ke Soelaiman Budi Sunarto jawabnya akan mengejutkan. "Tidak usah takut, kita punya cadangan minyak yang tidak akan bakal habis!"

Rupanya, yang namanya minyak sebagai bahan bakar tidak hanya diperoleh lewat eksploitasi dari dalam bumi, tapi juga bisa dibikin. Dibikin dari apa? Dari tanaman. "Semua yang hijau bisa difermentasi menjadi bahan bakar alternatif. Negeri kita kaya," kata pria yang akrab dipanggil Budi itu.


Soelaiman Budi, sejak 1997-1998 telah bergelut dengan pemanfaatan energi alternatif. Energi yang dinamakan bioetanol tersebut dia utak-atik di wilayah pinggiran Karangayar, kira-kira 20 km dari pusat kota, tepatnya di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan. Di situ dia melakukan eksperimen sekaligus mengaplikasikan semua temuannya.

Bioetanol merupakan etanol atau alkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan-bahan organik yang mengandung glukosa. Karena glukosa menjadi bahan dasar, pedesaan menjadi tempat yang tepat baginya untuk memulai. "Jerami, sekam, dan berbagai tumbuhan mudah saya temui di desa. Gratis pula," kata pendiri Koperasi Serba Usaha Agro Makmur ini.

Hasil dari berkutatnya Budi di energi alternatif, menghasilkan setidaknya 33 temuan yang sebagian besar terkait pengembangan energi alternatif, dan sebagian terkait agroindustri. Dari sekian banyak temuan, tak ada satu pun yang dipatenkan. Beberapa temuannya adalah bioetanol padat, kompor bahenol, budidaya jamur, bakteri pengurai, hingga temuan yang terakhir, pelet kotoran sapi.

Bioetanol padat itu cukup menarik, karena bisa dipotong sesuai dengan kebutuhan. Jika dijual pun distribusinya menjadi lebih mudah dan praktis. Dari hasil produksi mereka, satu batang bioetanol padat harganya Rp 4.000, dengan penggunaan setara dengan satu liter minyak tanah tapi dengan nyala api yang jauh lebih bersih.

Lalu ada albakos, kependekan dari alat biogas konsumsi sampah. Alat berupa dua drum kaleng yang terhubung dengan selang dan kompor gas ini mengolah sampah kering menjadi biogas yang bisa dijadikan energi untuk menyalakan kompor. Bahkan alat tersebut bisa menyaring biogas menjadi zat metana murni. Selanjutnya zat metana bisa dipakai sebagai pembangkit generator listrik.

Memang sejak memperkenalkan bioetanol kepada masyarakat, kesibukan seakan mengalir tanpa henti. Selain belasan anak warga yang dipercayakan orang tua untuk menimba pengalaman dan keahlian agrobisnis di KSU Agro Makmur, Budi juga harus menyambangi berbagai kota dan berbagai pelosok negeri untuk memasyarakatkan temuannya bagi yang membutuhkan.

Budi yang karena keahliannya kemudian dipilih menjadi ketua Perhimpunan Masyarakat Bio Energi Jawa Tengah itu juga banyak mengajarkan masalah bioenergi dan berbagai penemuannya pada masyarakat sekitar dan juga masyarakat luar yang ingin belajar.

Di luar energi alternatif, penemuan di bidang agrobisnis adalah jamur. Budi membudidayakan jamur kuping, tiram, shitake, dan ling-zhi dengan cara yang berbeda. Jamur produksinya bisa lebih sederhana pemeliharaannya tapi hasil panennya lebih besar. Karena itu pula kemudian dia diangkat menjadi ketua MAJI (Masyarakat Jamur Indonesia).

Temuan lain ada BioJoss, produk rumah tangga yang mampu membersihkan saluran kloset, wastafel, saluran cuci piring dan sebagainya dari sumbatan bahan-bahan organik. BioJoss berfungsi sebagai pengurai bahan organik yang menyumbat saluran tadi.

Pada temuan terakhirnya berupa pelet, Budi rela berkubang di kotoran sapi selama empat bulan. Hasilnya, kotoran sapi yang tadinya hanya mengotori kandang kini menjadi pakan ikan atau pelet yang bahkan membuat Menteri Kelautan dan Perikanan terkagum-kagum. "Beliau enggak mau lepas memeluk saya saking senangnya." Kenapa? Karena pelet temuannya bisa dibeli dengan harga seperempat dari pelet pabrikan yang berharga Rp sekitar Rp 12.000 per kg.

Hingga kini, Budi tidak lagi menghitung berapa banyak sudah orang-orang yang mendatangi tempatnya untuk belajar membuat bioetanol dan segala macam temuannya. Tapi yang jelas sudah ratusan orang, dan kebanyakan dari Sumatera dan Kalimantan. "Banyak juga orang Malaysia, Filipina, Vietnam dan China yang datang belajar ke tempat saya," katanya.

Di sekitar Desa Doplang sendiri, setidaknya sekitar 150 rumah warga memanfaatkan kompor bioetanol cair maupun padat untuk memasak. Sementara untuk albakos yang juga untuk memasak, Budi memperkirakan, sudah dipergunakan oleh 20 kelompok masyarakat, yang satu kelompoknya bisa terdiri dari tiga rumah. "Satu albakos bisa menghasilkan api bagi satu kelompok yang rumahnya berderetan," tutur Budi.

Melihat penemuan-penemuannya, sulit untuk percaya bahwa Budi tidak punya background pendidikan kimia atau semacamnya, tapi di bidang bahasa dan hukum. Begitu pula karir sebelumnya, dia bergelut di bidang pemasaran.

..........TERKAIT..........

2 komentar:

  1. Anda dapat menanyakannya ke Republika yang menobatkan beliau menjadi Tokoh Perubahan 2010. Republika pasti punya kontak beliau.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...