Selasa, 09 Agustus 2011

Melepaskan Belenggu Kebiasaan: Salah Satu Tujuan Berpuasa

Al-Hajjaj bin Yusuf (661-714 M), salah seorang pemimpin perang kenamaan Dinasti Umayyah yang melempar Ka’bah dengan manjaniq (meriam-meriam batu), pada suatu hari yang terik meminta kepada pengawalnya agar mengajak seseorang “tamu” bersantap siang dengannya. Seorang penggembala yang tinggal di pegunungan menjadi tamunya dan terjadilah dialog berikut.

“Mari kita makan bersama,” ajak Al-Hajjaj.

“Aku telah diundang oleh yang lebih mulia dari tuan dan telah kupenuhi undangan itu,” kata si penggembala.

Siapakah gerangan yang mengundangmu?”

“Tuhan seru sekalian alam, hari ini aku berpuasa.”

“Apakah Anda berpuasa pada hari yang terik menyengat ini?”

“Ya. Aku bahkan berpuasa pada hari-hari yang lebih terik.”

“Ayolah kita makan bersama dan besok Anda dapat berpuasa.”

"Apabila aku berbuka hari ini, apakah tuan dapat menjamin usiaku berlanjut hingga esok sehingga aku dapat berpuasa?” katanya seraya menyunggingkan senyum.

“Tentu saja tidak.”

“Kalau demikian mengapa tuan meminta sesuatu pada hari ini dan menjanjikan untuk memberikan pada hari esok, sedangkan hari esok bukan berada di tangan tuan?”

Setelah berpikir sejenak, Al-Hajjaj mengajak lagi, “Ayolah kawan, makanlah bersamaku, makanan yang dihidangkan sungguh lezat.”

Sambil berdiri untuk meninggalkan Al-Hajjaj, si penggembala menolaknya lagi, “Demi Tuhan, yang melezatkannya bukan juru masak tuan, bukan pula jenis makanannya, yang melezatkan adalah afiat (kesehatan ruhani dan jasmani).”

Dialog di atas menggambarkan sebagian dari hasil yang diperoleh seseorang yang berpuasa, yaitu berupa kemampuan mengendalikan diri, menahan rayuan, serta kesadaran akan kehadiran Tuhan pada setiap saat.

Manusia tercipta dari Ruh Ilahi dan debu tanah. Potensi dan daya manusia betapapun dinilai hebat, namun terbatas sehingga apabila perhatian dan kegiatannya telah tertuju secara berlebihan ke satu arah – ke arah debu tanah, misalnya – maka akibat keterbatasan dan pemenuhan secara berlebihan tersebut, ia tidak memiliki lagi daya yang cukup untuk digunakan bagi kegiatan dalam bidang-bidang penalaran dan kejiwaan.

Dari sisi lain, kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaannya. Apabila ia telah terbiasa dengan pemenuhan kebutuhan fa’ali-nya secara berlebihan, maka, walaupun ia masih memiliki sisa daya, ia akan mengalami kesulitan yang tidak sedikit guna mengarahkan sisa daya tersebut ke dalam hal-hal yang tidak sejalan dengan kebiasaannya.

Dengan demikian, membebaskan manusia dari belenggu kebiasaan dan keterikatan kepadanya, merupakan suatu hal yang mutlak dan hal ini merupakan salah satu tujuan dari berpuasa, baik dalam kebiasaan makan, minum – dengan kadar dan jam-jam tertentu – maupun dalam kebiasaan jam-jam tidur, bangun bekerja, dan sebagainya.[]

Lentera Hati: M. Quraish Shihab

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...