APA boleh buat, Indonesia saat ini memang menggelinding tanpa passion, tak ada gairah. Tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Seperti langit yang lembayung. Dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Kita seolah lupa bagaimana ide awal menjalankan Republik ini. Mereka yang dengan berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia: sebuah kepulauan yang kini tidak lagi terasa di satu atap karena seringnya kita berbenturan satu sama lain, meneruskan kekerasan dan menghalalkan kebencian.
Ada yang ganjil: apa sebenarnya Indonesia yang hendak kita pertahankan? Agaknya tak ada jawaban yang mantap untuk itu. Optimisme seakan tersapu dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut—tapi tak pernah sampai. Justru pesimis yang kembali menghantui secara perlahan. Bagaimana tidak, perbaikan ekonomi tak terwujud secara signifikan, konflik kekerasan horizontal terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, belum lagi aneka skandal keuangan triliunan rupiah hanya datang silih berganti tanpa ada proses penyelesaian hukum secara tuntas.
Makin pesimis saat kita menyaksikan akrobat politik para elite, baik itu pada skandal bailout Century, sekretariat gabungan, penolakan penggunaan hak angket pajak oleh DPR, hingga perombakan kabinet. Indonesia hanya gaduh. Sesibuk Presiden yang cenderung menghabiskan energinya (hanya) untuk membangun kekuatan atau koalisi yang secara terang-terangan merupakan upaya konsolidasi kekuatan demi menjamin tak ada tekanan kuat di DPR. Alangkah beresikonya langkah itu.
Toh, tiap upaya mengoptimalisasi kekuatan politik di tangan segelintir pihak sesungguhnya sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi Indonesia ke depan. Sejarah mencatat, tiap optimalisasi kekuasaan acap kali berujung pada kekuasaan politik otoriter. Upaya optimalisasi kekuasaan Soekarno, misalnya, berujung pada tragedi politik nasional 1965-1966. Juga pada era Soeharto, kekuasaannya yang nyaris mutlak dan menyengsarakan rakyat akhirnya berujung pada krisis ekonomi 1997.
Kita tahu, baik pada era sebelumnya atau saat ini, strong government selalu menjadi titik awal dari pembenaran upaya optimalisasi kekuasaan itu. Meski kenyataannya, bukan strong government yang terwujud, justru pemerintah saat ini semakin limbung karena sebagian anggota koalisi (juga) ikut menentang pemerintah dalam beberapa kasus, misalnya: bailout Century atau hak angket pajak. Walau bila lebih cermat sedikit saja, saya kira situasi itu sebetulnya bukan sesuatu yang tak bisa diperkirakan.
Menurut Scott Mainwaring (Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Comparative Political Studies; 1993), salah satu problem dari kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai adalah rapuhnya pembentukan koalisi. Presiden bisa saja melakukan perjanjian politik dengan partai-partai, namun perjanjian tersebut tidak mengikat mereka sebagaimana format koalisi dalam sistem parlementer. Artinya, tak ada jaminan komitmen individu yang ada di legislatif untuk mendukung perjanjian yang dilakukan oleh partainya untuk membentuk koalisi pemerintahan (Mainwaring; 221).
Inilah yang terjadi: koalisi yang sebenarnya rapuh, namun terus diupayakan untuk diperkuat hingga mengabaikan apa yang lebih penting untuk publik.
*****
SAYA kira kita sepakat bahwa dalam sebuah negara demokrasi dibutuhkan kelompok atau partai oposisi—yang diharapkan mampu berperan sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah. Persoalannya, seberapa besar tingkat kepercayaan publik pada elite politik? Kita toh tahu, perilaku elite politik—legislatif maupun eksekutif—di Jakarta cenderung lebih banyak menciptakan ketegangan-ketegangan baru di antara mereka sendiri, hingga kita kesulitan mengandalkan mereka untuk menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama dalam agenda politiknya.
Kita butuh sesuatu yang berbeda. Kelompok Din Syamsuddin, misalnya, justru lebih bisa membangun harapan. Saya merasa sudah saatnya kelompok intelektual mengambil peran lebih besar sebagai oposisi: sebagai penyuara constructive criticism terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Sebab, seperti yang ditulis Julian Benda dalam La Trahison de Clercs (1975), kaum intelektual sejati memiliki prinsip--mengutip khotbah Yesus di atas bukit—“kerajaanku bukan di Bumi ini”.
Memang, pandangan Benda di atas merupakan gambaran dari kondisi kaum intelektual ideal pada masa lampau, seperti Roger Bacon, Descartes, Pascal, Thomas Aquinas, Galileo, Leibniz, Voltaire, Newton, atau Montesquieu—yang situasinya bisa saja berbeda pada saat ini. Meski demikian, saya rasa kita masih memiliki sekelompok orang yang kegiatan utamanya bukan untuk mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka yang mengabdi pada kebenaran, keadilan, hati nurani, sebab itu ia akan mengatakan apa yang dianggapnya benar meski harus berseberangan dengan kekuasaan.
Pada tataran ini, kaum intelektual senantiasa akan menggugah kesadaran kritis orang lain—karena itu ia akan berada di kelompok oposisi—agar rakyat tidak mudah dikooptasi pemerintah atau korporasi. Toh tanggung jawab intelektual, sebagaimana dikemukakan Naom Chomsky dalam Language and Politics (1988), adalah: “…..mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai dengan penyebab, motif-motif, serta maksud-maksud yang tersembunyi di balik tindakan-tindakan itu”.
Ia menegaskan, kaum intelektual harus berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Intelektual tidak boleh netral atau bebas nilai; mereka harus berpihak kepada kelompok lemah yang tidak terwakili. Kaum intelektual, kata Chomsky, harus peka terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri sejajar dengan kaum yang tersisihkan. Saya cenderung percaya, kaum intelektual akan lebih memilih untuk bersikap sebagai oposisi ketimbang sikap akomodatif terhadap kekuasaan, termasuk dalam kaitannya dengan konsep “keutuhan”—kata yang tak pasti benar dari mana datangnya.
Saya kira sudah saatnya kita memandang keutuhan bukan sekadar soal teritorial. Keutuhan juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, kehidupan sosial, maupun khazanah kebudayaan. Namun apa artinya “keutuhan” bila hutan jadi terbakar, kemiskinan di mana-mana sementara koruptor dibiarkan—dan yang sudah tertangkap dilepas satu-satu--serta suatu masyarakat berantakan? Apa artinya “keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda lebih memilih untuk saling membunuh dan mengusir ketimbang menyelesaikannya dengan dialog?
Apa artinya “keutuhan” bila kita hanya melakukan penguatan posisi tawar legislatif—yang dianggap sejalan dengan demokrasi—agar dapat mengoptimalkan prinsip check and balance, namun tanpa pernah mempertanyakan: apakah kontrol para anggota legislatif terhadap eksekutif itu memang demi kepentingan publik atau hanya sekadar kepentingan elite dalam konteks power play semata? Bagaimana cara kita melihat Indonesia? Negeri yang patut dibanggakan, atau sebuah negeri yang bagaikan preman: yang menangguk untung dari kekerasan?
Saya khawatir pada saatnya nanti kita lebih memilih untuk tak acuh pada bangsa ini. Sebab Indonesia makin terlihat tak lagi utuh. Bagai burung, sayapnya sudah patah sebelah. Dan, makin gaduh. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 4 Maret 2011
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar