Pepatah lama mengatakan, bermain api hangus, bermain tanah kotor. Karenanya, jika sudah tahu konsekuensinya, jangan coba-coba cari penyakit. Sering ke tempat hiburan malam sebagaimana kafe, lama-lama bisa kena pengaruh sisi buruknya. Nanti bisa terkontaminasi, atau terkoabtasi bila pakai istilah politik. Bisa saja lho, yang tadinya lelaki alim, lama-lama bisa zalim.
Agus rupanya termasuk lelaki yang demikian. Awalnya dia pergi ke tempat kafe sekadar diajak teman. Tapi begitu tahu bahwa dugem (dunia gemerlap) itu sangat mengasyikkan, dia jadi ketagihan. Bila awalnya diajak saja harus dipaksa, kini Agus malah berani jalan sendiri. Tentu saja mesti pandai-pandai mengatur waktu, paling tidak jangan ketahuan oleh istri di rumah.
Lelaki warga Kelurahan Jajar Tunggal Kecamatan Wiyung ini memang sudah berkeluarga bahkan punya anak. Walau begitu dia masih juga merasa kesepian. Maka ketika sekali waktu diajak ke arena kafe, dia mau saja. Ternyata, pada kunjungan yang entah ke berapa kali, Agus lalu kecantol dengan penyanyi kafe bernama Esti, 22. Sejak itu, tanpa diajak teman pun dia sudah berani berkunjung ke tempat kafe.
Lama-lama akrablah Agus dengan Esti. Bahkan di luar “dinas” gadis itu mau saja diajak jalan keluar, di mana ujung-ujungnya diajak hubungan intim sebagaimana lazimnya orang bermain selingkuh. Ternyata di atas ranjang Esti ini bisa bermain total. Ibarat main bola begitu, dia sangat mahir menggiring bola. Bahkan ketika bola di tangan lawan, Esti bisa membaca ke arah mana bola itu hendak ditembakkan. Maka berulang kali dia bisa menangkapnya, hipppp……dan merem meleklah Agus dibuatnya.
Sejak itu Agus jadi tahu bahwa apa yang dikatakan Aburizal Bakrie itu memang benar. Kata Ketum Golkar, main di luar atau di dalam sama-sama terhormat. Agus pun juga setuju bahwa main di luar maupun di dalam sama-sama nikmat. Cuma, main di luar bersama Esti ternyata lebih mengasyikkan, karena ya itu tadi, penyanyi kafe ini sangat mahir mengolah “bola” yang di luas standar PSSI dan FIFA.
Agus mulai berfikir bagaimana membangun koalisi setara dengan Esti. Karena dia juga tak tega memutus koalisi dengan istri sebelumnya, Agus bermaksud membangun Setgab yang bermartabat, tidak memojokkan dan mencari kelengahan mitra koalisi. Ternyata Esti setuju dengan opsi semacam itu, sehingga dia menuntut segera dinikahi sebagaimana mestinya. “Dipoligami, siapa takut?” begitu tekad Esti.
Melalui jasa seorang kawan, berhasillah Agus mencari dokumen aspal untuk melaju ke kursi pelaminan. Tapi sebelum surat keterangan yang menyatakan dirinya perjaka tingting itu diproses di depan meja penghulu, tahu-tahu ada yang memberi tahu istri di rumah bahwa Agus mau nikah lagi dengan data-data palsu. Wah, tentu saja bininya mencak-mencak. Dia dilaporkan ke polisi, dan gagallah jadi pengantin gelombang kedua. Mestinya Agus maju ke meja hijau kantor KUA, tapi sekarang malah maju di meja hijau kantor Pengadilan Negeri Surabaya.
Harusnya “nuthuk” malah bakal diketuk palu hakim. (HS/Gunarso TS)
Sumber: poskota.co.id
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar