Sabtu, 12 November 2011

Marilyn Monroe: Beban Hidup Seorang Simbol Seks

Marilyn Monroe memang telah tiada. Namun, inspirasi, spirit, dan pengaruh ikon blonde sepanjang masa itu melampaui usianya.

INSPIRASI dan pengaruh Marilyn Monroe memang tak terbantahkan lagi. Meski wanita bernama asli Norma Jeane Mortenson ini meninggal dunia, spiritnya terus hidup di dalam sanubari orang yang mengaguminya. Bahkan, masih meninggalkan pengaruh besar di kancah hiburan Hollywood.

Sampai kini, spirit bom seks tahun 50-an itu masih terasa di dunia hiburan. Banyak selebriti yang meniru dandanan dan gaya Marilyn. Mulai dari diva pop dunia Madonna sampai diva muda Christina Aguilera, semuanya mendamba sang idola. Marilyn di pandang sebagai sosok yang membawa angin segar dalam dunia hiburan Hollywood pada masanya. Ia adalah tonggak masuknya seksualitas di layar lebar.

Di sisi lain, dia dipandang sebagai simbol munculnya gerakan feminis era tahun 1950-an ketika wanita masih dianggap sebagai warga kelas dua. Keberanian Marilyn mengumbar sensualitas dipandang sebagai gebrakan tersendiri kala itu. Tak heran jika nama wanita kelahiran 1 Juni 1926 ini langsung melejit dan menjadi fenomena tersendiri. Marilyn langsung menyandang cap sebagai simbol seks dan wanita yang diinginkan para pria pada masanya. Semua orang memuja kecantikan dan keseksian tubuhnya. Sungguh sebuah anugerah besar bagi wanita yang tiga kali menikah ini mendapatkan julukan yang menjadi incaran kaum hawa.

Penasbihan sebagai simbol seks itu mendatangkan banyak keuntungan bagi Marilyn. Dia memperoleh ketenaran tiada tara, pemujaan di mana-mana dan tentu saja, kekayaan yang selama ini hanya ada di angan semata. Lantas, apakah dia menikmati semua itu? Ternyata tidak. Marilyn memandang fame alias ketenaran yang disandangnya itu justru menjadi beban tersendiri baginya, meskipun dia tidak pernah keberatan dibebani embel-embel sensasional dan seksi.

"Tapi apa yang menyertai embel-embel itulah yang menjadi beban. Aku sendiri tidak pernah mengerti mengapa aku diberi julukan simbol seks. Aku selalu mengira simbol adalah sesuatu yang ditabrakkan secara sengaja. Itulah masalahnya. Simbol seks menjadi sebuah benda. Dan aku tidak suka menjadi sebuah benda. Tapi, kalau aku menjadi simbol sesuatu, aku memang memilih menjadi simbol seks ketimbang simbol lain yang mereka pilihkan untukku," terangnya dalam sebuah wawancara, sebelum ajal menjemputnya.

Sesuatu yang menjadi beban bagi Marilyn bahwa dia pada akhirnya menjadi panutan gaya para gadis. Kaum remaja wanita ingin meniru semua dandanan sang simbol seks. Mereka mulai mempercantik dengan merias diri mereka hingga mirip betul dengan pemeran Lorelei Lee dalam film Gentlemen Prefer Blondes itu.

Marilyn bukannya bangga ditiru, tapi dia justru keberatan. "Gadis-gadis itu mencoba menjadi aku. Aku rasa orang lain juga menyuruh mereka melakukannya. Atau mungkin mereka benar-benar ingin melakukannya sendiri. Tapi sudahlah, mereka tidak bisa meniru aku," tandasnya.

Ucapan itu mungkin memang berasal dari ketidaksukaan Marilyn dicontoh orang lain. Namun, bisa jadi pernyataan itu adalah letupan kekhawatiran The Girl dalam film The Seven Year Itch itu karena dia takut disaingi pendatang baru. Dia - bisa saja - takut kehilangan mahkota simbol seks dunianya.

Selama hidupnya, Marilyn memang dilanda ketakutan "amat-sangat" terhadap noda di wajahnya yang cantik. Bahkan, saking takutnya, dia selalu melihat ke cermin untuk mencari adakah noda atau cacat di wajahnya yang mulus dan cantik itu. Baginya, kecantikan dan feminitas tidak terbatas umur dan tak bisa dibuat-buat. Maka sebisa mungkin dia akan terus menjaga kecantikannya sampai usia berapa pun. Namun, Marilyn menganggap ketenaran itu lebih besar ketimbang orang yang menyandangnya. Karena, sering kali orang tenar itu selalu diekspos di mana-mana. Publik kerap ingin tahu seperti apa kehidupan orang tenar itu dan mencari ada apa di diri si tenar yang berbeda dengan mereka. Dengan begitu, si tenar itu lama-lama menjadi sebuah komoditas.

"Aku tak menganggap diriku sebagai komoditas. Tapi, aku yakin banyak orang yang menganggapku begitu. Kalau ini terdengar dan terlihat aneh atau bagaimana, ya itulah aku. Aku rasa aku punya banyak teman dan banyak pula teman dadakan. Mereka melakukan banyak hal. Mereka berbicara tentang aku di depan media, kepada teman-teman mereka, menceritakan sesuatu, dan sebenarnya itu mengecewakan. Aku tak pernah tertarik mendengarnya," paparnya.

Meski demikian, Marilyn tampaknya sangat menikmati popularitas yang dia dapatkan. Buktinya, dia masih bangga ketika para pria melihatnya dan terpana melihat kecantikannya. "Aku tak pernah keberatan ketika orang-orang mulai membuntutiku saat aku jalan-jalan. Aku tahu kalau ada orang yang ingin membuktikan bahwa aku ini Marilyn Monroe asli," ujarnya.

Marilyn tampaknya memang tidak konsisten dengan ucapannya sendiri. Dia bilang, dia benci ditiru, tapi lantas mengatakan bahwa dirinya memberi arti tertentu kepada para pemujanya, orang yang meniru penampilannya. Dia bangga ketika orang mengenalinya.

Selebihnya, dia mengaku tidak keberatan ketika dibuntuti orang, tapi di hati kecilnya, dia tidak suka. Marilyn justru lebih suka kondisi informal, orang memperlakukan dia seperti orang lain.

Di sisi lain, Marilyn terbebani dengan ketenarannya sendiri. Popularitas yang dia gapai justru membuat ruang geraknya terbatas. Di era 1950-an, jarang sekali terdengar perseteruan antarartis secara terbuka. Perang itu dilakukan lewat media massa. Kenyataan seperti itulah yang terjadi pada Marilyn kala itu.

"Kita selalu berlari dalam alam bawah sadar orang. Misalnya pada aktor atau sutradara. Biasanya, mereka tidak langsung mengatakan hal yang buruk di depanku. Tapi mereka mengungkapkannya ke wartawan. Karena, kalau mereka mengejekku langsung di depan mukaku, itu tidak ada artinya. Sebab, bisa saja aku bilang selamat tinggal dan lupakan saja pertemanan ini. Tapi, kalau mereka bilang di koran, maka seluruh dunia akan tahu. Aku tidak tahu mengapa orang tidak mau langsung mengungkapkan ketidaksukaan mereka ke objeknya," katanya.

Tak bisa dipungkiri Marilyn bingung dengan perasaannya sendiri. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi keinginannya. Dia sering mengatakan suka dengan popularitasnya, tapi kerap kali wanita blonde ini mengungkapkan tidak ingin menjadi terkenal.

Cap simbol seks tampaknya telah membelenggu diri Marilyn. Dia tidak ingin takhta itu direbut orang lain dan hanya menjadi miliknya seorang. Tapi, perasaan ini justru membuatnya semakin tersiksa. Padahal, selama hidup, dia mendamba sebuah kebahagiaan.

Sampai ajal menjemputnya, Marilyn tidak pernah mengecap apa arti bahagia itu. Dia masih mencarinya. Popularitas tak membantunya.

Legenda yang Tak Pernah Bahagia

Kebahagiaan itu mahal. Marilyn Monroe tahu itu. Seumur hidup, dia mencari dan harus membayarnya dengan nyawa. Marilyn hidup untuk mencari kebahagiaan yang tidak pernah dia dapatkan sampai akhir hayatnya. Wanita yang meninggal pada 5 Agustus 1962 itu terlalu merasa kesulitan untuk mendapatkan bahagia dalam kesehariannya. Meskipun, dia telah memiliki semuanya.

Awalnya, Marilyn mengira hidupnya akan bahagia jika dia menikah. Dalam benaknya tergeletak asa yang mengatakan, hidup bersanding dengan orang yang dikasihi tentu saja memeriahkan dan membahagiakan hidup. Namun, kenyataan berkata lain.

Bahagia itu adalah satu hal yang menjadi absurd dan abstrak bagi Marilyn. Bahagia tidak pernah menyapanya. Justru dia menjadi bahan ejekan sebuah kebahagiaan.

Ketika menikahi Jemes Dougherty pada 19 Juni 1942, Marilyn berusaha keras mempertahankan pernikahannya di tengah deraan tekanan popularitasnya di publik. Namun di sisi lain, suaminya justru sering memojokkan dia dan memintanya berhenti mengejar karier modelingnya.

Lebih ironis lagi, James justru mengaku, tidak pernah mencintai Marilyn 100%. Dia menikahi wanita bernama asli Norma Jeane itu karena disuruh ibunya. Pernikahan itu pun berjalan hampa. Keduanya memilih bercerai.

Terluka, Marilyn terus mengejar impiannya untuk bahagia dengan mengarungi hidup bersama kekasih tercinta. Cintanya lantas tertambat pada sosok Joe DiMaggio. Gayung bersambut, Joe menerima cinta Marilyn. Keduanya menikah pada 14 Januari 1954.

Beberapa media menyebut, Joe adalah penyebab amburadulnya kehidupan Marilyn setelah pernikahan itu. Sifat protektif dan cemburu yang dimiliki Joe mengubah kepribadian istrinya itu. Joe mulai mengontrol Marilyn, dari pakaian, penampilan hingga aktingnya.

Joe tampak marah ketika pada 14 September 1954 Marilyn sedang syuting adegan ikonik rok yang tersingkap untuk film The Seven Yeath Itch di depan Trans-Lux Theater, New York. Setelah syuting selesai, Joe dan Marilyn bertengkar hebat di lobi teater. Akibat emosi yang tidak terkontrol, Joe memukul lengan istrinya itu hingga lengannya lebam hebat.

Marilyn akhirnya angkat tangan dengan pernikahan keduanya itu. Selama 274 hari setelah pernikahan mereka, pemeran Cherie dalam film Bus Stop ini melayangkan gugatan cerai terhadap Joe.

Dua kali menuai kegagalan dalam berumah tangga, tak membuat Marilyn kapok mencari cintanya lagi. Lepas dari pelukan Joe, wanita yang meninggal pada usia 36 tahun itu menemukan kedamaian pada Arthur Miller, seorang penulis drama.

Namun, lagi-lagi bukan bahagia yang dia dapatkan, tapi penderitaan. Sebab, Marilynlah yang harus bekerja keras banting tulang menghidupi keluarganya. Ironisnya, Arthur bukannya membantu istrinya itu, tapi malah membebaninya dengan membeli sebuah Jaguar baru. Tak tahan hidup di bawah tekanan suami, Marilyn memutuskan bercerai.

Marilyn akhirnya mengakui, kalau pernikahan bukan satu-satunya jalan meraih kebahagiaan itu. Dia bahkan tidak tahu di mana menemukan bahagia untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak pernah bahagia. Jadi, kadang aku merasa bahagia itu sudah jauh dari aku. Awalnya, aku pikir pernikahan bisa membuat aku bahagia. Tapi, kenyataannya? Aku dibesarkan berbagai macam keluarga ketika masih anak-anak. Memang, anak-anak mudah bahagia. Tapi, hanya sesaat saja," cetusnya.

Sejak kecil, bahagia rasanya enggan menyapa kehidupan Marilyn. Beberapa saat sebelum kelahirannya, ayahnya, Martin Edward Mortenson, memilih meninggalkan keluarganya. Tak heran jika Marilyn lantas kehilangan sosok seorang ayah.

Marilyn tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya yang sebenarnya. Setiap waktu, dia menyaksikan ibunya, Gladys, bergonta-ganti pasangan. Di sisi lain, kehidupan Marilyn kecil jauh dari kemewahan, dia hidup dalam kemiskinan. Penderitaannya semakin mendalam setelah ibunya menderita penyakit kejiwaan dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Akibatnya, Marilyn kecil pun harus masuk panti asuhan.

Kenyataan pahit masa kanak-kanak itu membangun pribadi Marilyn sebagai sosok yang tak pernah merasakan setetes kebahagiaan dalam hidupnya. Dia senantiasa merasa derita adalah kawan sejatinya. Dia merasa sendiri dan tidak berdaya menghadapi semuanya. Meskipun kekayaan dan ketenaran didapatkannya.

Tekanan batin membuat Marilyn semakin merana. Dia terus berusaha mencari bahagia, tapi tak pernah dia temukan juga. Akibatnya, dia mengalami depresi berat dan membutuhkan perawatan psikiatris. Dalam penanganan itu, sang psikiater menemukan bahwa penyakit kejiwaan Marilyn sudah begitu beratnya dan dia harus dirawat di klinik khusus.

Psikiater itu lantas membawa sang pasien ke Payne Whitney Psychiatric Clinic. Di sana, Marilyn ditempatkan di sebuah bangsal khusus dengan penjagaan ketat. Bangsal untuk ikon khusus itu adalah bangsal yang diperuntukkan bagi mereka yang mengalami gangguan mental yang sudah parah.

Tinggal di klinik jiwa tentu tidak mendatangkan kebahagiaan bagi Marilyn. Dia masih tetap ingin melanjutkan hidup sebagai manusia normal. Tak tahan hidup di dalam "kurungan", model cover pertama majalah Playboy itu lantas ingat mantan suami keduanya, Joe.

Meskipun berperilaku kasar dan protektif, tapi Marilyn merasa nyaman bila ada di dekat Joe. Karena itu, dia pun menghubungi Joe kembali dan minta bantuannya untuk segera dilepaskan dari klinik kejiwaan itu. Joe ternyata tidak keberatan dan membebaskan mantan istrinya itu dari tempat tersebut.

Setelah bebas, Marilyn memilih mengikuti Joe yang saat itu menjadi pelatih baseball di Florida. Keduanya tidak terlibat hubungan asmara lagi, tapi menjadi sahabat dekat.

Meskipun telah menemukan kedamaian kembali bersama dengan Joe, tetapi Marilyn tetap tidak bisa melepaskan diri dari gaya hidupnya untuk terus jatuh cinta kepada pria lain. Setelah keluar dari klinik kejiwaan, Marilyn banyak berkencan dengan pria tenar, seperti Frank Sinatra, Elvis Presley bahkan dikabarkan pernah dekat dengan mendiang Presiden John F Kennedy (JFK).

Jatuh dalam pelukan pria yang berlainan dalam waktu dekat membuat Marilyn hidup tanpa tujuan pasti. Dia jadi keranjingan menenggak obat tidur dan melupakan impiannya untuk bahagia.

Namun, semuanya justru menjadi bumerang baginya. Pada 5 Agustus 1962, dia ditemukan sudah tidak bernyawa di tempat tidurnya, dengan menggenggam gagang telepon. Dokter yang memeriksa mayatnya mengatakan, Marilyn kelebihan dosis obat tidur. Dia dinyatakan bunuh diri.

Namun, penyelidikan yang dilakukan polisi justru berujung pada teka-teki yang sampai kini tak terpecahkan. Ada dugaan kalau Marilyn sebenarnya tidak bunuh diri, tapi dibunuh Robert Kennedy, adik JFK, yang diduga menjalin affair dengan janda cantik itu. Marilyn diduga dibunuh dengan cara diracuni. Sayang, hingga saat ini dugaan itu tak terbukti dan kematian Marilyn terus menjadi buah bibir, misteri yang belum terpecahkan.

Kematian Marilyn menjadi duka mendalam bagi semua penggemarnya. Namun, mungkin yang paling terluka adalah Joe DiMaggio, mantan suami keduanya yang juga sahabat dekat almarhumah. Joelah yang lantas mengurusi semua urusan pemakaman Marilyn. Dan selama 20 tahun, dialah pria yang tiga kali tiap minggu meletakkan selusin mawar merah di nisan Marilyn. Namun hingga Joe meninggal akibat kanker paru-paru pada 8 Maret 1999, dia tidak pernah menceritakan tentang hubungan dekatnya dengan Marilyn.

Ya, mungkin ketika dikubur, Marilyn menyesali semua yang telah dia lakukan. Andai saja dia menyadari sejak lama, dia pasti tahu bahwa kebahagiaan itu hampir datang padanya. Kebahagiaan itu dibawa Joe DiMaggio, pria yang begitu sayang, cinta, dan perhatian padanya, meskipun dia begitu protektif dan cemburuan kepada Marilyn. Namun, Marilyn tidak pernah tahu itu. Selama hidup yang dia lakukan adalah mencari dan terus mencari di mana letak kebahagiaannya, tanpa tahu kalau di sampingnya kebahagiaan itu sudah ada.

--------------------

Marilyn Itu...
  • Menderita gagap.
  • Menderita endometriosis.
  • Suara mendesah menjadi ciri khas.
  • Punya 400 koleksi buku di perpustakaan pribadi, dengan topik beragam dari seni, sejarah, psikologi, filsafat, sastra, agama, puisi sampai berkebun.
  • Sepetak tanah di samping kuburannya sudah dibeli pemilik Playboy Hugh Hefner.
  • Dibayar USD5 saat pertama kali menjadi model.
  • Sering membawa buku The Biography of Abraham Lincoln ke mana pun dia pergi.
  • Punya kontrak yang mengizinkan dia tidak bekerja kalau sedang menstruasi.
  • Mencuci muka 15 kali sehari.
  • Pertama kali membubuhkan tanda tangan sebagai Marilyn Monroe, dia tidak tahu ejaan namanya sendiri. Dia bertanya di mana harus menuliskan huruf "i" di "Marilyn".
  • Tidak pernah lulus SMA.
  • Kalau sedang tidak bekerja, dia lebih suka memakai piyama.
  • Menangis saat tahu gaun yang dia pakai pada penyelenggaraan Academy Awards 1950 sobek.
Marilyn Bilang...
"Masalahku adalah... aku memaksa diriku sendiri. Aku berusaha menjadi artis dan terkadang aku merasa aku hampir gila. Aku hanya mencoba mendapatkan bagian terjujur dari diriku sendiri dan itu sangat sulit. Ada saat ketika aku berpikir bahwa aku harus mewujudkan semua impianku. Tapi kadang, semuanya tidak bisa terwujud dengan mudah. Aku selalu punya perasaan terpendam apakah aku ini sedang nyata atau tidak ada."
Dari berbagai sumber.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...