Mendengar nama kima, mungkin banyak orang yang tidak tahu atau belum tahu dengan biota ini, lantaran jarang dijual di pasar-pasar tradisional atau modern. Namun bagi mereka yang hidup di pulau-pulau atau pesisir pantai, fauna atau biota ini bukanlah sesuatu yang asing. Fauna ini hidup di laut, tepatnya di daerah karang atau terumbu karang dan di padang lamun. Nama lokalnya macam-macam, misalnya kerang, tiram karang, bia, suwat, wawat, fika-fika, dan sebagainya. Namun dalam dunia perikanan dan kelautan, fauna ini dikenal sebagai kima.
Kima merupakan fauna laut penting di Indo Pasifik, termasuk di perairan Indonesia, sebab bernilai ekonomi penting karena semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Daging kima, terutama otot adduktor dan mantelnya, merupakan makanan laut (seafood) yang enak dikonsumsi dan bergizi tinggi. penduduk di pulau-pulau dan pesisir Indo Pasifik telah menjadikan kima sebagai salah satu bahan konsumsi lauk-pauk sejak dahulu.
Di beberapa daerah di Indonesia, daging kima dikumpul oleh masing-masing rumah tangga untuk disumbangkan ke pesta adat atau pesta pernikahan. Para perempuan dan anak-anak Suku Bajo mencari berbagai biota laut, termasuk kima, di sepanjang rataan terumbu (reef flat) saat air laut surut. Sedangkan para laki-laki melakukan penyelaman untuk mengambil kima berukuran besar di perairan yang dalam.
Berdasarkan data yang ada, di perairan Indonesia terdapat 7 spesies kima dari 9 spesies yang hidup di perairan dunia, dan termasuk dalam dua genus, yaitu Tridacna dan Hippopus. kima dari dua genus tersebut merupakan spesies-spesies berukuran besar. Bahkan spesies Tridacna gigas yang dikenal sebagai kima raksasa atau wawat dapat mencapai ukuran panjang 137 cm dan berat 230 kg. Jenis kima yang mendiami perairan Indonesia yaitu kima raksasa (Tridacna gigas), kima air atau kima selatan (T. derasa), kima sisik (T. squamosa), kima kecil (T. maxima), kima lubang (T. crocea), kima pasir, fika-fika, kima tapak kuda atau kima kuku beruang (Hippopus hippopus), dan kima Cina (H. porcellanus). Sedangkan dua spesies lainnya adalah T. tevoroa yang ditemukan di kepulauan Fiji dan T. rosewateri yang terdapat di Lautan Hindia.
Jenis kima yang umumnya dipungut di sepanjang rataan terumbu yakni kima pasir atau fika-fika dan kima Cina. Kedua spesies kima ini juga ditemukan di daerah padang lamun (seagrass), terutama pada dasar perairan yang mengandung patahan karang atau campuran pasir dan patahan karang. Sedangkan di perairan yang agak dalam ditemukan kima raksasa, kima air, kima sisik, kima kecil, dan kima lubang.
Tidak heran jika saat ini kima sangat digandrungi oleh orang karena bernilai ekonomi penting karena dagingnya sangat enak dikonsumsi. Bahkan penduduk di pesisir dan pulau-pulau telah mengonsumsi kima sejak dulu, wajar saja kalau banyak orang yang berkepentingan untuk mengambilnya tanpa ada upaya menjaganya.
Bagi penduduk Okinawa di Jepang, daging kima dari spesies berukuran kecil, seperti Tridacna crocea dan T. maxima dibuat sushi dan sashimi. Sedangkan otot adduktor dari T. squamosa dan Hippopus hippopus dimakan mentah setelah diberi garam atau dikeringkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi. di Taiwan, Hong Kong, Cina (RRC) dan di Amerika Serikat (AS), otot adduktor kima yang dijual dalam keadaan kering memiliki harga yang lebih tinggi daripada cumi-cumi dan sotong kering.
Otot adduktor kima merupakan primadona tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an di Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura. Negara-negara tersebut diperkirakan sebagai pengimpor daging kima yang cukup besar. Diperkirakan kebutuhan otot adduktor kima di Taiwan saat itu sekitar 30 ton/tahun. Dapatlah diperkirakan berapa banyak kima yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal dalam seluruh daging kima hanya mengandung 15-20 % otot adduktor. Sementara satu otot adduktor yang berukuran 200-300 g (gram) memiliki potensi pasar yang paling tinggi dibanding 100-200 g.
Begitu pula harga daging kima di Australia A$ 5-12/kg (kilogram) atau US$ 3,85-9,24/kg, sedangkan di AS mencapai US$ 44/kg dan US$ 5.04/ekor kima. Sementara itu, harga 1 kg daging kima mentah pada tahun 2000 di Kepulauan Seribu mencapai Rp 50.000, suatu harga yang cukup tinggi.
Sementara cangkang atau kulit kima dapat digunakan sebagai wadah, hiasan, dan bahan baku untuk industri keramik. Kulit-kulit kima dapat digunakan sebagai wadah/tempat sabun, mangkok, asbak, dan lain-lain yang dijual dengan harga US$ 0,25/buah. Di beberapa daerah, seperti di Jepara dan Kepulauan Seribu, masyarakat mengumpulkan cangkang kima untuk dijual sebagai bahan baku industri keramik di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Filipina dikenal sebagai negara yang paling banyak memproduksi cangkang kima di dunia yang diekspor ke Jepang, Australia, AS, dan beberapa negara Eropa. Di Australia, sebelum pengambilan kima dilarang, dalam setahun sekitar 100.000-120.000 cangkang kima diperdagangkan dalam bentuk berbagai souvenir. Harga per cangkang ukuran kecil (15-20 cm H. hippopus, 15-20 cm T. squamosa dan 7,6-10,2 cm T. crocea) adalah A$ 1,93; A$ 40 untuk ukuran 61 cm dan A$ 80 untuk ukuran 91-120 cm.
Belakangan kima juga dipajang sebagai penghuni akuarium air laut karena mantelnya berwarna-warni yang indah dan menarik, sehingga permintaan kima hidup semakin meningkat. Bahkan peluang ini langsung dimanfaatkan dengan melakukan produksi sendiri. Misalnya, Spesies T. maxima dan T. derasa diproduksi oleh panti benih atau hatchri (hatchery) di Filipina sejak tahun 1989 sebagai kima hias dengan ukuran 5,7-9 cm atau umur 10-20 bulan. Pasaran Australia membutuhkan sekitar 5.000 ekor kima/tahun dari spesies T. maxima dan T. crocea ukuran 5-10 cm dengan harga A$ 10/ekor. Sementara AS mengimpor 5.000-50.000/tahun, dan Hawaii saja sekitar 1.000 ekor/tahun dari spesies T. gigas, T. derasa, T. crocea, T. squamosa, T. maxima, dan Hippopus hippopus dengan ukuran cangkang 5-10 cm dan 15-20 cm.
Sejak awal tahun 1990-an perdagangan kima secara internasional mulai mengalami penurunan karena seluruh spesies kima terdaftar sebagai hewan yang dilindungi. Setelah pelarangan, perdagangan kecil-kecilan cangkang kima ditemukan di toko-toko souvenir di daerah-daerah pariwisata.
Selain bernilai ekonomi, kima adalah fauna yang hidup menetap di atas dasar perairan atau membenamkan diri pada batu karang, sehingga mudah diambil. Laju reproduksi (berkembangbiak) dan pertumbuhan yang tidak secepat laju penangkapan dan kematian kima di alam disebabkan juga oleh memburuknya kualitas lingkungan, termasuk rusaknya habitat hidup biota di alam akibat praktik-praktik penangkapan yang merusak. Kima merupakan fauna yang hidup di daerah terumbu karang, sehingga segala aktivitas di daerah terumbu karang, seperti penangkapan ikan dan pengambilan karang, juga merupakan ancaman terhadap kima.
Akibatnya di beberapa daerah pengambilan/penangkapan (fishing ground) mengalami kondisi tangkap lebih (over-fishing). Beberapa biota, termasuk kima, di daerah terumbu karang mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan. Sebab selain mudah ditangkap, siklus reproduksinya panjang dan pertumbuhannya lambat. Bahkan untuk mencapai ukuran komersial dan dapat berkembang biak membutuhkan waktu 4-6 tahun seperti T. gigas, T. derasa, T. squamosa, Hippopus hippopus, dan H. porcellanus. sedangkan spesies berukuran kecil seperti T. crocea mencapai ukuran dewasa pada umur 3-4 tahun. Meski jumlah telur yang dihasilkan seekor induk kima mencapai jutaan untuk kima jenis kecil, seperti Tridacna crocea, dan ratusan juta untuk jenis besar, seperti T. gigas.
Namun, kima dapat hidup puluhan sampai ratusan tahun. kima jenis T. gigas yang panjangnya 52 cm berumur sekitar 10 tahun, sedangkan yang berukuran 60 cm sekitar 12 tahun. Sedangkan T. gigas yang panjangnya 50 cm berumur sekitar 9 tahun. Diduga kima yang ukuran panjangnya 100 cm umurnya sekitar 100 tahun. Spesies Tridacna juga menghasilkan mutiara, yang terbesar di antaranya dihasilkan oleh T. gigas yang dapat mencapai berat 7 kg.
Nilai ekonomi yang relatif tinggi menyebabkan eksploitasi terus berlangsung, sekalipun kima merupakan fauna yang dilindungi secara internasional dan nasional. Sebagai contoh, harga jual kerupuk kima di Sidoarjo Jawa Timur dalam keadaan matang (siap makan) adalah Rp. 7.000/80 g (harga bulan Januari 2000), dibandingkan dengan harga kerupuk udang dan kerupuk ikan kualitas I mentah masing-masing berkisar antara Rp. 12.500-14.000/500 gram dan Rp. 10.000/500 g. Demikian pula telur (gonad) kima. Bagian ini dapat dimakan mentah atau pun dimasak terlebih dahulu.
Nilai ekonomi adalah faktor pendorong utama eksploitasi kima di alam. Pengambilan kima secara besar-besaran di perairan kawasan Indo-Pasifik terjadi pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, yang menyebabkan terjadinya tangkap lebih (over fishing) di berbagai daerah penangkapan (fishing ground).
Namun, sejak awal tahun 1990-an perdagangan kima secara internasional, baik daging maupun cangkangnya, relatif terhenti. Karena seluruh kima, yang diperkirakan mempunyai 9 spesies, dimasukkan ke dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional tentang Perdagangan Flora dan Fauna Langka, sebagai biota yang dilindungi oleh Organisasi Perlindungan Satwa Internasional (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, IUCN).
Pemerintah Indonesia pun secara resmi melindungi kima sejak tahun 1987 melalui SK Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987. Namun eksploitasi kima di alam terus terjadi, sehingga beberapa spesies sudah jarang ditemukan. Dari 7 spesies kima yang tersebar di perairan Indonesia, tiga spesies di antaranya sudah sangat jarang ditemukan, yaitu Tridacna gigas, T. derasa dan H. Porcellanus bahkan ketiga spesies tersebut merupakan kima berukuran paling besar di antara yang lainnya.
Olehnya itu, untuk menjaga agar biota ini dapat bertahan hidup maka masyarakat diharapkan ikut serta dalam menjaganya. Sebab kalau bukan masyarakat atau seluruh aparat keamanan tentunya eksploitasi ini tetap berlangsung. Meski sudah dilarang tapi manusia tetap mengambilnya.
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar