Rabu, 16 Februari 2011

Hosni Mubarak, Cita-citanya Menjadi Da'i Tapi Berakhir Menjadi Tiran

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO-- Presiden Mesir, Hosni Mubarak, terjungkal dari kursi kekuasaannya pada 11 Februari 2011 setelah 30 tahun berkuasa. Orang kuat itu ditumbangkan oleh "Jum’at al-Ghadhab" atau Revolusi Jumat, merujuk pada unjuk rasa akbar seusai shalat Jumat selama tiga Jumat berturut-turut, 28 Januari, 4 Februari dan 11 Februari.


Jumat pertama, 28 Januari, usai Jumatan para anggota jamaah di berbagai masjid di seantero Mesir turun ke jalan. Jutaan warga di ibu kota Kairo dan sekitarnya berbondong-bondong mendatangi Bundaran Tahrir di pusat kota, dan sebagiannya menginap di sana hingga tumbangnya Mubarak.

Hari kelabu terjadi pada Jumat pertama ketika pasukan polisi anti-huru-hara bertindak keras terhadap pro-demokrasi yang menyebabkan lebih 100 pengunjuk rasa tewas. Akibat bertindak tegas, pengunjuk rasa memukul mundur polisi, membakar sejumlah kendaraan polisi dan beberapa kantor kepolisian, di samping kantor pusat partai berkuasa pimpinan Mubarak, Partai Demokrat Nasional (NDP).

Polisi pun menghilang dari publik dan keamanan diambil alih militer dengan mengerahkan tank-tank tempur ke pusat kota dan tempat-tempat strategis. Setelah polisi menghilang, aksi unjuk rasa berlangsung damai, tapi pada Rabu, dua hari menjelang Jumat kedua, pengunjuk rasa pro pemerintah -- yang sebagiannya mengendarai unta dan kuda -- merasuk ke Bundaran Tahrir yang dipenuhi pendemo pro demokrasi.

Bentrokan pun tak bisa dihindarkan, batu dan bom molotof bertebaran selama dua hari, Rabu dan Kamis, 2-3 Februari. Jumat kedua, aksi demo pro demokrasi berlangsung damai karena pengunjuk rasa pro Mubarak yang hanya segelintir orang telah dipisahkan di Masjid Mustafa Mahmoud, Muhandisin.

Klimaks terjadi pada Jumat ketiga, 11 Februari, ketika pada malam harinya, Wakil Presiden Omar Suleiman mengumumkan kemunduran Mubarak, dan rakyat pun bersorak.

Cita-cita jadi dâ’i

Mubarak lahir di Kafr El-Meselha, desa di kawasan subur delta sungai Nil, Provinsi Monofia, sekitar 175 km utara Kairo, pada 4 Mei 1928. Ia adalah putra seorang pegawai biasa di Kementerian Kehakiman. Menurut buku "Ismii Husni Mubarak (Nama saya, Hosni Mubarak)", Mubarak kecil bercita-cita jadi dâ’i atau muballigh.

Dai dalam pengertian kontemporer adalah penceramah agama (baca: Islam) yang mengajak umat untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. "Cita-cita menjadi dâ’i tersebut ditanamkan sang ibu, namun ayah Mubarak ingin putranya itu melebihi prestasi dia yang hanya pegawai negeri rendahan di Kementerian Kehakiman," demikian buku itu.

Ada sedikit perbedaan harapan antara ibu dan ayah Mubarak. Ibunya menginginkan Mubarak kecil menjadi da'i yang memperjuangkan Islam, sementara sang ayah mengarahkan putra kedua dari lima anaknya itu menjadi pejuang pembela Mesir.

Mubarak rupanya menuruti harapan ayah dan ibunya sekaligus. "Memperjuangkan Islam tidak harus menjadi guru agama atau da'i, tapi lewat berbagai arena termasuk di pemerintahan," kata Mubarak kepada ibunya.

Kendati demikian, Mubarak senantiasa mematuhi nasihat ibunya agar bersungguh-sungguh menghafal dan mempelajari Al-Qur'an dan membaca buku-buku bernafaskan Islam. Mubarak menyelesaikan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di Shabin El-Koum sebelum masuk akademi militer.

Mubarak menikah dengan Suzanne Mubarak yang dikaruniai dua putra, Alaa dan Gamal.

Alaa dikenal sebagai pengusaha sukses, sementara Gamal membina karir politik lewat NDP.

Sebelum Mubarak mundur, Gamal dijuluki sebagai "Putra Mahkota" yang sedianya menggantikan posisi ayahnya.

Belakangan, Mubarak ternyata membina karirnya di arena militer. Pada usia 21 tahun, dia berhasil menyelesaikan pendidikan militer di Kairo dengan pangkat Letnan Dua pada 1949, yang wisudanya dihadiri pula oleh Raja Farouk, pemimpin Mesir kala itu.

Ketika dibuka pendidikan Angkatan Udara pada pertengahan 1949, Mubarak pun mendaftarkan diri. Ketika pelepasan alumni pertama pendidikan Angkatan Udara itu, Mubarak dinyatakan berhasil meraih nilai 10 besar terbaik.

Lantaran itulah, ia kemudian dikirim ke Moskow di era Uni Soviet -- kini Rusia -- untuk mengenyam pendidikan Angkatan Udara pada Frunze General Staff Academy. Setelah kembali, karir militer Mubarak pun terus menjulang.

Di bawah Presiden Anwar Sadat, ia dipercaya di beberapa pos komando termasuk Deputi Menteri Perang (1972-75). Pada perang Mesir-Israel 1973, Mubarak yang memegang tongkat komando Angkatan Udara dinilai berhasil menginstruksikan serangan udara awal yang menentukan.

Wartawan veteran Mesir, Mohamed Hassanein Haykal, mengatakan, berkat keberhasilan komando Mubarak dalam Perang Oktober 1973 melawan Israel itu, Presiden Saddat kemudian menjadikan dia (Mubarak) sebagai anak emasnya.

Sebagai Wapres

Lantaran itu pula, oleh Sadat ia dipromosikan sebagai wakil presiden pada 1975. Posisi Wapres itu dipegang Mubarak hingga Presiden Anwar Saddat ditembak mati oleh kelompok garis keras pada 1981.

Peristiwa tragis itu terjadi saat Presiden Sadat, Wapres Mubarak dan para pembesar negara menyaksikan parade militer memperingati Hari Pahlawan pada 6 Oktober 1981 di depan Tugu "Jundul Majhul" -- Pahlawan Tak Dikenal -- di Nasr City, Kairo.

Sadat dikuburkan di Tugu Pahlawan Tak Dikenal tersebut, yang kini menjadi salah satu obyek wisata. Presiden Soeharto dan Presiden Megawati Soekarnoputri sempat berziarah ke Tugu itu untuk meletakkan karangan bunga.

Menyusul wafatnya Presiden Sadat, sidang darurat gabungan Majlis Al-Sya'ab (DPR) dan Majlis Al-Syuura (MPR) digelar untuk mengukuhkan Wapres Hosni Mubarak sebagai Presiden Mesir.

Mubarak tercatat sebagai presiden terlama dalam sejarah Republik Mesir. Sejak perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan ke republik menyusul revolusi tahun 1952, Mesir telah memiliki empat presiden, yaitu Muhammad Naguib yang menjabat selama dua tahun (1953-54), Gamal Abdel Nasser 16 tahun (1954-70), dan Anwar Saddat 11 tahun (1970-81).

Sebelum menjadi republik, negeri ini tercatat pernah memiliki kepala negara yang massa kepemimpinannya terlama, yakni Mohamad Ali, yang dijuluki sebagai Bapak Pendiri Mesir Modern.

Mohammad Ali memimpin Mesir lebih dari 40 tahun, yakni dari 1805 hingga ia wafat pada 1848. Istana Muhammad Ali terletak di atas Benteng Salahuddin Al Ayyubi -- orang bule menyebutnya Saladin -- di pusat kota Kairo dan Masjid Muhammad Ali hingga kini masih berdiri kokoh, menjadi salah satu obyek wisata kesohor di negeri berjulukan Seribu Menara itu.

Red: Stevy Maradona
Sumber: Antara

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...