Jumat, 25 Februari 2011

Sang Kolonel yang Memimpin Para Jenderal

Tanda bintang yang melekat di lengan adalah impian bagi prajurit militer di hampir setiap negara. Namun, tanda pangkat bintang ini tidak berlaku di Libya. Di negara yang terletak di Afrika Utara itu, hanya jabatan kolonel yang mendapat tanda dan kata penghormatan tertinggi. Dengan jabatan kolonellah, seorang militer dapat mengerahkan seluruh daya kekuatan negara.

Kolonel Muammar Abu Minyar al-Ghadafi menjadi bukti nyata. Dialah yang memegang tampuk tertinggi dalam hirarkis militer Libya sekaligus pemimpin negara. Tidak ada jenderal yang mampu menandingi.


Gelar jenderal hanya disematkan kepada rakyat yang diabadikan dalam suatu badan, yakni Jenderal Kongres Rakyat (GPC). GPC pun berada di bawah pemimpin revolusi negara yang tak lain adalah sang Kolonel Ghadafi. Hanya di Libya, jenderal berada di bawah kendali kolonel. Kolonel pun jadi jabatan tertinggi, sedangkan gelar mayor menjadi jabatan yang disegani.

Latar belakang sejarah menjadi alasan mengapa hanya jabatan kolonel yang ditahbiskan di posisi tertinggi. Kudeta yang dilakukan Kolonel Ghadafi pada 1969 jadi awal perubahan sistem kemiliteran dan negara. Ghadafi yang saat itu berusia 27 tahun, baru menyandang gelar Kolonel. Tapi, dengan jabatan kolonel itulah dia mampu menumbangkan pemerintah berkuasa sekaligus menguasai Libya.

Gelar yang disandang pun dia abadikan sebagai sejarah monumental negara. Jenderal tidak lagi jadi jabatan perorangan, melainkan bagi seluruh rakyat. Tidak hanya sistem GPC yang dikuasai Ghadafi, tapi juga regulasi yang menjadi dasar kehidupan di Libya. Ini dikarenakan pemberlakuan Gadhafi's Green Book.

Gadhafi's Green Book adalah filosofi politik, sosial, dan ekonomi Libya yang menjadi dasar berjalannya negara. Dalam aturan sang kolonel itu, oposisi dilarang. Partai politik pun tidak diakui. Libya menjadi negara yang diatur hukum Ghadafi tanpa mengenal pemilu partai politik.

Dengan porsi kekuasaan kolonel yang sangat besar, jenderal hanya memiliki porsi kuasa terbatas. GPC hanya memiliki otoritas memilih anggota kabinet dan legislatif. Itu pun harus melalui persetujuan sang kolonel.

Sistem yang telah berlangsung selama 41 tahun itu pada akhirnya menimbulkan suara perlawanan. Rakyat yang menjadi jenderal di negara, sudah tidak tahan lagi berada di bawah cengkeraman sang kolonel.

Alhasil, ribuan warga Libya kini mulai menyerukan tuntutan mundurnya sang kolonel. Aksi di Benghazi dan Tripoli menjadi titik kulminasi, dan menjadi pertaruhan nasib Kolonel Ghadafi.



..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...