Aku pernah bertanya kepada temanku yang juga aktif di Mocopat Syafaat. “Pernahkah engkau mendapati Cak Nun menguap?” ia menggelengkan kepala. Sepanjang perjumpaanku dengan beliau, tak secleretanpun aku melihat dia menguap. Tidak menguap, atau sedikit menguap, bagiku hal yang istimewa bagi manusia biasa (al-basyar). Kalau aku merasakan tubuh ini lelah, kurang tidur, biasanya dalam beberapa menit bisa menguap beberapa kali.
Selain dari kelelahan, juga kita rasakan, rasa kantuk itu juga berasal dari kejenuhan. Sudah biasa kita lihat beberapa di antara kita selalu terkantuk-kantuk ketika mendengarkan semilir khutbah tiap Jum’at. Kata orang sih, “karena semilir surga menghampirimu, jadi setiap khutbah Jum’at selalu dijenuhi dengan deretan shaf para pengantuk.” Mungkin tidak hanya anginnya surga yang menyapa kita tiap Jumat, tetapi juga bisa karena kejenuhan mendengar khutbah yang normatif.
Tetapi seandainya jiwa raga ini hadir dalam minat memperhatikan sesuatu dengan kehadiran hati, atau dibawa oleh keadaan yang bahagia, penuh cinta, maka berjam-jam kita tak dilanda kantuk, apalagi menguap sebagai pintu tidur. Itu terjadi di setiap malam Mocopat Syafaat. Tidak hanya Cak Nun yang tidak menguap, tetapi mungkin beberapa jamaah maiyah juga ketimbalan tidak menguap. Bukan masalah mau kontes tak menguap dan tak kantuk, tetapi ini masalah yang tidak biasanya di forum-forum apapun juga. Selama tujuh jam kita duduk. Tak terasa juga kita seperti tersihir dengan alunan syair-musik Kiai Kanjeng, dengan diskusi yang panjang, tetapi tak terasa lama. Perjumpaan yang berjam-jam tetapi terasa hanya beberapa menit.
Tidak ada kejenuhan, karena dalam forum Mocopat Syafaat selalu ada yang baru. Kadang tiba-tiba kita berhadapan hanya beberapa meter dengan orang-orang yang tak terpikirkan kita bisa menjumpainya. Tiba-tiba tercengang dengan group musik dari Madura, yang terdiri dari puluhan orang, bahkan waktu itu seingatku sampai enam puluh orang. Tiba-tiba kita berhadapan dengan para ‘korban lumpur’ yang mengutarakan laku hidupnya. Perjumpaan itu benar-benar menggetarkan. Sampai beberapa jamaah tak terasa meneteskan air mata, saat warga Porong itu segera meninggalkan Mocopat Syafaat. tak bisa kita temukan oplosan pengajian, musik, humor, pementasan teater, diskusi, problem solving, istighosah, shalawatan, dan masih banyak lagi, selain dari forum-forum yang telah diselenggarakan oleh CNKK, dan jamaah maiyah.
Selain itu, mata yang tak dilanda kantuk juga disebabkan para ‘pelayan’ yang selalu menghibur kita dengan humor-humor yang bermakna, dan bernilai. Kita bisa mengenal Kiai Harwanto, dia paling cekatan kalau membuat kepanjangan dari singkatan-singkatan. Misalnya beberapa singkatan yang sempat saya ingat. KNKT: Komite Naik Kapal Tenggelam. Waktu itu pas menyinggung masalah tenggelamnya kapal KM Levina, yang tenggelam setelah beberapa anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi menaiki kapal Levina, jadi kepanjangannya kontekstual. Saat tampil bersama Cak Nun pasca gempa di Bantul, Harwanto memberikan kepanjangan kepada salah satu hadirin yang sempat kenalan di depan panggung. “namanya sinten Mas?” dia langsung jawab “Sutris” Harwanto tanya lagi “dari mana?” Sutris jawab “dari Parangtritis.” Spontan Harwanto nyletuk “Suaaking Parangtritis.” Cak Nun waktu itu juga memberikan kepanjangan dari teman kita yang mengaku bernama Helmi. “helm miring”.
Jelas gojeg, guyon semacam inilah yang segera mungkin mengusir kantuk, dan mulut ini tak ingin lagi menguap.
Pekalongan, 21 Juni 2010
Ahmad Saifullah
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar