Kamis, 10 Februari 2011

SANG ORATOR DI SENJA MASA

HARI terasa sangat panjang di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Sebelum saya benar-benar terbangun pada Rabu pagi itu, Hardono, satu di antara staf keamanan Menteri Negara Nyoto, mengetuk pintu kamar kos saya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, yang hanya terpisah satu rumah dari Mess Perwira Tjakrabirawa, tempat tinggal Letnan Kolonel Untung, "pemimpin" Gerakan 30 September.

"Bung diajak Bung Nyoto ke Istana Bogor," kata Hardono dengan wajah serius. "Ngapain?" saya bertanya. "Kayaknya diminta motret," katanya. "Tapi ndak usah bawa toestel, pakai Bung Nyoto punya," ia melanjutkan. Saya maklum: Nyoto tentu tahu alat-alat potret saya tak lebih dari sekelas Kiev, buatan Rusia, yang sebentar-sebentar engkol filmnya macet.

Tak sampai lima menit kami sudah berada di ruang tamu rumah Nyoto di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat. Pada hari-hari tertentu saya biasa datang ke rumah itu, meminjam buku atau menonton Nyoto bermain musik dengan teman-teman masa mudanya, antara lain Jack Lesmana. Dalam sekejap Nyoto muncul, menyalami saya, lalu menyerahkan dua kamera dan segepok film. "Buatlah foto sebanyak-banyaknya," katanya. "Foto apa?" saya bertanya. "Apa saja."

Dalam hitungan menit pula sebuah mobil resmi menteri—Dodge Dart—berhenti di depan rumah. Penumpangnya, Menteri Negara dan Wakil Ketua I CC PKI, M.H. Lukman, memasuki ruang tamu. Lukman tak mengenal saya, dan inilah pertemuan saya yang pertama dengan dia. Lukman dan Nyoto mengenakan setelan putih-putih, "pakaian resmi" anggota Kabinet Dwikora.

Di depan saya kedua orang itu bersalaman, berpelukan, kemudian saya dengar Nyoto bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menjawab, "Saya juga tak tahu!" Mampus, pikir saya. Kalau betul kedua orang ini tak tahu apa yang terjadi pada 30 September 1965, lalu siapa yang berada di balik peristiwa yang, konon, digerakkan oleh PKI itu? Nyoto, pada akhir September itu, memang sedang berada di Medan dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I Subandrio.

Dalam kendaraan terpisah, kami berangkat ke Bogor, langsung menuju Istana. Pengawalan di sana terasa lebih ketat dari biasanya. Beberapa menteri datang dengan pengawalan panser, di antaranya Menteri Negara Boegi Sumpeno, kolonel polisi. D.N. Aidit tak tampak di antara para menteri. Selama beberapa hari beredar kabar, Ketua CC PKI itu minggat ke Jawa Tengah.

Tak banyak yang dihasilkan sidang kabinet itu. Nyoto membacakan pernyataan ringkas ketidakterlibatan PKI dengan Gerakan 30 September. Kemudian Bung Karno berpidato, singkat juga, yang pada dasarnya mengulangi pidatonya yang kemarin-kemarin, bahwa kejadian tersebut adalah "...een rimpeltje in de oceaan...."—sebuah riak di tengah samudra.

Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan pidato Bung Karno seperti tidak terstruktur, dan tidak terlalu fokus. Ia, misalnya, di samping menyatakan PKI cukup banyak berjasa dalam revolusi Indonesia dan sebagai partai tidak bersalah, juga "menyenggol" Gerakan 30 September sebagai "penyakit kekanak-kanakan" yang dipersamakan dengan Peristiwa Madiun 1948. Di dalam kepustakaan Leninisme, "penyakit kekanak-kanakan" adalah nama lain untuk "penyakit kekiri-kirian", yang biasanya dirujukkan kepada partai komunis yang ingin cepat menang dan melupakan penggalangan kekuatan front nasional.

Bung Karno terkesan lelah, walau tampak masih berwibawa. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Ia saya lihat berbincang-bincang sebentar dengan Nyoto, sebelum masuk ke ruangan dalam Istana. Itulah pula untuk terakhir kalinya saya menyaksikan kedua orang itu.

Untuk seorang wartawan muda pada masa itu, mendengarkan pidato Bung Karno merupakan keasyikan tersendiri. Artikulasinya bagus, intonasinya dinamis, dan ia sering mengulang kalimat tertentu sehingga memudahkan pencatatan. Saya dengar beberapa pidatonya ditulis oleh orang lain, termasuk Nyoto. Tapi, dalam pidato tanpa teks pun, Sukarno tetap memikat.

Bung Karno selalu seperti punya "skenario" yang matang untuk membangkitkan dan "mempermainkan" emosi massa. Dia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk menggunakan frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia. Begitu meluncur dari Bung Karno, frasa itu segera menemukan "rumah"-nya di hati jutaan rakyat Indonesia.

Dengan kefasihannya dalam beberapa bahasa asing, ia bisa "seenaknya" mengutip kalimat orang besar mana saja dalam bahasa aslinya. Bahkan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada masa itu, Howard P. Jones, mampu terkekeh ketika dituding Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Senayan: "Go to hell with your 'Indonesia going to collapse'!" Biasanya, setelah dituding begitu, besoknya Duta Besar Jones dan Nyonya diundang ke Istana Bogor untuk sarapan nasi goreng....

Tapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul, dan madu Arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu, dan tampaklah kakinya yang membengkak.

Setelah 6 Oktober 1965, saya hanya mengikuti pidato Bung Karno dari radio dan televisi. Jelas sekali terasa, kesempatannya berpidato di depan massa yang besar mulai dibatasi. Kehilangan kontak langsung dengan lautan massa itu membawa perubahan tersendiri dalam pidato-pidato Bung Karno. Ia tak lagi sebergelora dulu, tapi sebaliknya, di lingkungan yang lebih kecil ia seperti lebih bebas dan spontan, termasuk dalam menggunakan kata-kata yang rada "saru". Atau itu hanya bagian dari kemarahan dan kejengkelannya yang terpendam? Apalagi setelah pidato kenegaraan (dan "pertanggungjawaban")-nya bolak-balik ditolak oleh MPR(S) pasca-G30S, semangat berpidato Bung Karno menyusut drastis.

Keahlian Bung Karno berpidato sangat tidak sebanding dengan kemampuannya menyanyi. Ia hampir tak pernah menampik kesempatan tarik suara, tapi orkes yang mengiringi selalu mengalami kesulitan untuk mencari tangga nada yang pas dengan suara si Bung. Pilihan lagunya tak banyak. Kalau bukan Di Timur Matahari, tentulah Siapa Bilang Bapak dari Blitar, Burung Kakaktua dengan lirik improvisasi, atau paling jauh Aryati. Ia suka lagu keroncong, dan hafal sejumlah gubahan komponis klasik Barat.

Ketika malam-malam yang menyenangkan itu pun mulai "dibredel", makin lengkaplah persiapan menuju babak penutup sang Orator. Ia sudah dipisahkan dari massanya, dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari keluarganya. Yang tersisa hanyalah sejumlah penyakit dan sebuah era yang siap ditelan senja masa, menuju malam sangat panjang.

Amarzan Loebis
-----------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Iqra, TEMPO, No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003
============================================================
“… PERJUANGAN MELAWAN KEKUASAAN
adalah
PERJUANGAN INGATAN MELAWAN LUPA ..."

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...