Gambar yang goyang mengenai protes damai --dan gambar kerusuhan yang mengerikan-- telah diunggah ke Facebook, Twitter, Flickr, YouTube dan laman lain serta diudarakan di berbagai stasiun televisi satelit pan-Arab seperti Al-Jazeera. YouTube, milik Google, telah menyoroti rekaman amatir dari kerusuhan itu --seperti klip dari Libya dari seorang pengguna yang menggunakan nama "enoughgaddafi"-- di saluran berita dan politiknya. CitizenTube.
Di Bahrain dan Libya, gambar grafik dan rekaman video mentah mengenai penindasan keras oleh pasukan keamanan terhadap pemrotes memicu pengutukan internasional terhadap pemerintah mereka dan kian mengobarkan kemarahan rakyat di jalanan. Micah Sifry, pendiri bersama blog teknologi dan politik techPresident menyatakan di dalam postingan blog baru-baru ini liputan telefon genggam di Timur Tengah jauh lebih tinggi ketimbang penerobosan Internet.
"Faktor terbesar dalam peristiwa yang berlangsung, buat aku, tampak seperti keadaan darurat generasi muda, yang ditambah oleh betapa urban mereka dan betapa terhubungnya mereka dengan telefon genggam," kata Sifry sebagaimana dikutip wartawan AFP Chris Lefkow, yang dipantau ANTARA di Jakarta.
"Mungkinkah kita sedang menyaksikan politik memasuki era Generation TXT?" ia mempertanyakan.
Luasnya sumbangan media sosial terhadap penggulingan para pemimpin Mesir dan Tunisia --dan protes dengan beragam ukuran dan kekuatan di Aljazair, Bahrain, Iran, Jordania, Libya, Marokko dan Yaman-- adalah masalah yang bisa diperdebatkan.
Tapi, mantan presiden Mesir Hosni Mubarak dan pemimpin Libya Muamar Gaddafi memperhatikan ancaman yang ditimbulkan oleh Internet dengan sangat serius. Itu terlihat ketika mereka melakukan tindakan tak biasa untuk berusaha memutus rakyat mereka sendiri dari Jejaring.
Wael Ghonim, pegiat dunia maya dan pelaksana Google yang muncul sebagai pemimpin protes anti-pemerintah di Mesir, mengatakan media sosial memainkan peran penting dalam berbagai kejadian yang mengarah kepada penggulingan Mubarak setelah tiga dasawarsa ia memerintah.
"Tanpa Facebook, tanpa Twitter, tanpa Google, tanpa YouTube, ini takkan pernah terjadi," kata Ghonim dalam acara televisi CBS "60 Minutes". "Kalau saja tak ada jejaring sosial, itu takkan pernah terpicu," kata Ghonim, yang merintis laman Facebook "We Are All Khaled Said" --yang membantu mengerahkan demonstran di Bundaran at-Tahrir di Kairo.
Alec Ross, penasehat senior Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton urusan inovasi, mengatakan media sosial memainkan "peran penting" dalam peristiwa di Mesir dan Tunisia tapi "teknologi tak menciptakan gerakan perbedaan pendapat di sana". "Teknologi tak membuat gerakan perbedaan pendapat jadi berhasil --oranglah yang melakukannya," kata Ross kepada AFP. "Semua itu bukan revolusi Facebook atau revolusi Twitter."
"Teknologi menjadi alat yang mempercepat," katanya. "Satu gerakan yang berdasarkan sejarah akan memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun terpampat jadi lingkaran waktu yang jauh lebih singkat." Di Mesir, media sosial membantu mempersatukan orang dari beragam lingkaran sosial, politik dan ekonomi dan menggabungkan mereka jadi kekuatan terpadu, kata Ross.
"Setelah terhubung secara 'daring' (dalam jaringan), mereka lebih mungkin untuk berkumpul di 'luring' (luar jaringan)," kata Ross, pemimpin upaya media sosial Departemen Luar Negeri.
Ross mengatakan aksi perlawanan di Mesir dan Tunisia jelas memperlihatkan mereka tak mempunyai pemimpin yang dikenal, dan komunikasi Internet membantu membuat itu jadi terwujud.
"Che Guevara Abad 21 adalah jejaring," katanya. "Tak lagi diperlukan tokoh revolusi yang kharismatik untuk mengilhami dan mengatur massa." "Tapi, di dalam era digital, kepemimpinan jadi dapat jauh lebih terbagi dan itulah yang secara jelas kita saksikan di Tunisia dan Mesir," katanya.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: antara/AFP
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar