Rabu, 22 Desember 2010

HARI BABU

Sunday, 19 December 2010

KITA tahu Hari Ibu pada 22 Desember bukanlah Mother’s Day. Tapi biasalah, di negeri ini salah kaprah sudah sering terjadi. Tanggal 22 Desember 1928 adalah pembukaan kongres pertama perempuan Indonesia.

Bukan arisan ibu-ibu lho, melainkan pertemuan yang menunjukkan peran publik kaum wanita di negeri ini. Bayangkan, 1928, tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda! Artinya, kesadaran pada peran perempuan bersamaan dengan kesadaran nasionalisme Indonesia. Memang betul dikatakan bahwa gerakan emansipasi perempuan tak bisa dilepaskan dari gerakan kebangsaan. Yang menarik, persoalan perempuan memang tidak bisa dilepaskan dari perkara domestik.

Para feminis zaman sekarang sudah bisa merumuskannya: the private is political. Hal-hal yang tampaknya persoalan rumah tangga, perkawinan, domestik, sesungguhnya perkara politik dan publik juga. Para wanita dua abad silam belum punya rumusan tadi. Insting dan pemikiran mereka sampai pada perbaikan posisi sosial wanita dan kehidupan keluarga.

Kongres menghasilkan tiga tuntutan, masing-masing di bidang pendidikan, perkawinan (atau perceraian), dan santunan janda dan anak yatim. Ini adalah pelajaran bahwa untuk memperbaiki kehidupan di ranah privat diperlukan perjuangan politik, seperti membikin kongres dan mengajukan tuntutan. Dua hal itu, privat dan politik, tak bisa dipisahkan. Maka, seharusnya 22 Desember adalah Hari Perempuan.

Bukan Hari Ibu. Sebab, kongres perempuan tidak hanya membicarakan para ibu, tetapi juga perempuan yang dicerai karena tak kunjung jadi ibu. Tapi, ya sudahlah. Asal kita tahu saja bahwa sejarahnya begitu. Sejauh sejarah tidak diselewengkan, maka setiap pemaknaan ulang sah-sah saja. Kita dengan senang hati menghormati ibu kita. Tapi, barangkali sekarang perlu ada pemaknaan ulang lagi.

Dalam rangka mengenang jasa para ibu, rasanya perlu juga kita mengenang jasa para babu. Ini bukan lelucon. Para pembantu rumah tangga adalah contoh perkara yang melibatkan wilayah privat dan publik sekaligus. Sudah jadi rahasia umum, di negara-negara berkembang terutama, perempuan bisa sukses menjadi wanita karir dan ibu rumah tangga sekaligus berkat jasa si bibi dan si mbak.

Si bibi lah yang merawat rumah. Si mbak yang menjaga anak. Peran publik wanita kelas menengah di perkotaan hampir selalu berdiri di atas pundak kaum babu. Di negara maju hal itu tidak terjadi. Pertama, karena harga buruh terlalu mahal. Kedua, hukum telah sadar gender sehingga mengurus rumah tangga tidak menjadi beban istri saja, melainkan tanggung jawab kedua belah pihak.

Tak ada konsep kepala keluarga di sini. Kembali ke Indonesia yang hukum perkawinannya masih patriarkal, mengurus rumah tangga jadi tanggung jawab istri. Diuntungkan oleh surplus kelas bawah, kelas menengah bisa membayar perempuan kelas bawah untuk membereskan urusan domestiknya. Dari kacamata lain, yaitu dari pasar tenaga kerja internasional, TKI (khususnya TKW) adalah penyumbang ekonomi keluarga sekaligus devisa negara.

Masalah TKW kembali menunjukkan betapa ranah domestik dan publik tidak bisa dipisahkan. Mengurus rumah dianggap perkara domestik. Tapi bagi buruh, apalagi buruh migran yang melakukannya, itu adalah di luar wilayah domestik mereka. Sebagian besar TKW menjadi penyetor nafkah utama keluarga. Suami mereka sering kali justru menjaga rumah sambil ngojek.

Artinya, pembagian peran ini tidak termuat lagi dalam Undang-Undang Perkawinan. UU Perkawinan masih menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga, yang berarti pencari nafkah utama, dan memberi lelaki hak-hak pula yang berkaitan dengan itu. Sudah waktunya merevisi UU Perkawinan. Di Hari Ibu, pantas kita merenungkan bahwa di masa ini, justru para babulah yang mengingatkan kita bahwa persoalan mereka adalah persoalan kita bersama yang lebih luas. Tak ada salahnya memaknai ulang Hari Ibu dengan memikirkan para babu. (*)

AYU UTAMI
utami.ayu@gmail.com

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...