Kita memimpikan pemerintahan yang dibentuk atas dasar pilihan rakyat dan berbuat untuk kemaslahatan rakyat. Kita menginginkan demokrasi dan sebuah republik yang sesungguhnya. Kini, setelah dua belas tahun “hidup” di alam demokrasi, mulai muncul pertanyaan mendasar. Apakah memang benar bangsa ini menghendaki demokrasi? Atau paling tidak, apakah praktik yang sedang berjalan adalah demokrasi yang sejati? Apakah di dalam demokrasi memang selalu melekat politik uang dan pelanggaran yang mengafirmasi hukum rimba “siapa yang kuat dan punya duit, pasti menang”?
Distorsi Demokrasi
Tentu kita tidak ingin bersikap naif, menanggalkan demokrasi dan kembali ke masa lalu. Bangsa ini tentu sudah sangat dewasa untuk memahami bahwa realitas demokrasi saat ini berdistorsi cukup hebat dan belum merupakan demokrasi sejati yang dicita-citakan. Paling tidak, inilah yang tercermin dari pelaksanaan demokrasi lokal melalui pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), terutama dari perkara sengketa pemilukada yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak kasus menunjukkan bahwa praktik pemilukada hanya menampilkan jasad demokrasi.
Ruh demokrasi disandera dan disabotase oleh berbagai bentuk pelanggaran, keberpihakan, politik uang, dan bahkan intimidasi. Konsekuensinya, pemerintahan daerah yang terbentuk pun hanya pemerintahan yang berbaju demokrasi, pemerintahan yang memiliki legitimasi demokratis, tetapi sering mengesampingkan nilai demokrasi dan republik dalam menjalankan pemerintahan. Pemerintahan dari rakyat, tetapi belum tentu untuk rakyat. Akibatnya, kita melihat banyak kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang terjerat kasus pidana korupsi, yang mungkin jumlahnya akan lebih banyak seiring peningkatan kualitas penegakan hukum.
Kita percaya bahwa demokrasi yang kita inginkan bukan seperti itu. Kita juga percaya bahwa pelanggaran dan kecurangan bukanlah sifat inheren demokrasi. Oleh karena itu sudah saatnya kita meninggalkan sikap permisif, dan bersama-sama membuka jalan baru bagi demokrasi substantif. Inilah tampaknya yang dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam memutus perkara pemilukada yang berpuncak pada tahun 2010 ini.
Keadilan Rakyat
Sepanjang tahun 2010, MK menerima permohonan perkara sengketa pemilukada sebanyak 224 perkara dan telah diputus 213 perkara. Sesungguhnya, dilihat dari amar putusan MK hanya terdapat 22 perkara yang dikabulkan, selebihnya ditolak atau tidak dapat diterima. Namun dari putusan-putusan tersebut para hakim konstitusi telah bergerak membuka jalan bagi demokrasi substantif. Dua prinsip utama dalam konstitusi yang selalu dijadikan sebagai acuan, yaitu demokrasi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Demokrasi tidak hanya sekadar sebagai prosedur, tetapi juga sebagai seperangkat nilai yang menentukan bentuk dan berjalannya pemerintahan oleh rakyat.
Demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai norma aturan dan keputusan hukum, melainkan yang lebih penting adalah kesesuaiannya dengan kehendak dan rasa keadilan rakyat banyak. Demokrasi tidak dapat meninggalkan, apalagi melanggar hak konstitusional warga negara. Karena demokrasi sejatinya berdiri di atas prinsip pengakuan kewarganegaraan dengan segala haknya sebagai warga. Dengan sendirinya, bukan demokrasi namanya jika dalam pelaksanaannya terdapat pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Putusan-putusan MK mengukuhkan kegelisahan publik terhadap praktik demokrasi, sekaligus membuka jalan bagaimana harus bersikap. Pertama, MK telah bergerak dari pengadilan “kalkulator” yang hanya mengadili perselisihan angka hasil pemilukada antara peserta dengan penyelenggara dengan memeriksa hal-hal yang lebih substansial, yaitu pelanggaran dan kecurangan yang mendistorsi substansi demokrasi dan nyata-nyata melanggar hak konstitusional warga negara, tidak hanya sekadar hak pilih melainkan juga hak atas demokrasi yang sesungguhnya. MK memang tidak memiliki wewenang untuk mengadili dan menghukum segala pelanggaran dan kecurangan, tetapi memang sudah seharusnya, sebagai kewajiban konstitusional MK, untuk menjadikannya sebagai pertimbangan putusan.
Kedua, sebagai konsekuensinya, MK tidak hanya memutus penghitungan mana yang benar atau membuat perhitungan sendiri, tetapi juga memerintahkan pemilihan atau penghitungan ulang. Sungguh tidak mungkin menentukan penghitungan yang benar jika suara yang dihitung memang diperoleh dengan cara yang tidak benar. Hal ini tidak saja terkait dengan manipulasi pada saat pemilihan ataupun penghitungan, tetapi sejak penyusunan daftar pemilih. Sebagai pengawal konstitusi, MK berkewajiban untuk menjamin tidak ada hak konstitusional warga negara yang dilanggar ataupun dimanipulasi.
Ketiga, MK melalui putusannya secara tegas juga memberikan sanksi kepada peserta pemilukada yang jelas terang benderang melakukan pelanggaran secara masif, terstruktur dan sistematis, baik berupa politik uang, intimidasi, maupun penggunaan bentuk kekuasaan lain. Sanksi yang diberikan adalah mendiskualifikasi walaupun sudah dinyatakan sebagai pemenang. Hal ini diperlukan karena tidak mungkin perkara pemilukada dapat diselesaikan hanya dengan sekadar pemilihan atau penghitungan ulang, karena yang bersangkutan dengan kekuasaan yang dimiliki dan perilakunya secara nalar dapat dipastikan akan melakukan pelanggaran dan kecurangan yang sama. Putusan seperti ini juga diperlukan untuk mengingatkan kepada semua pihak, bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki nurani yang tidak dapat ditaklukkan oleh kekuatan dan kekuasaan apapun.
Keempat, perkara pemilukada menunjukkan masih adanya kelemahan sistem penyelenggaraan demokrasi secara keseluruhan yang harus segera dibenahi, baik penyelenggara, pengawas, maupun institusi penegakan aturan mainnya. Ketegasan aturan main dan imparsialitas merupakan hal mendesak yang perlu perbaikan. Jika aturan main ditegakkan secara imparsial, tentu MK tidak lagi perlu mengeluarkan putusan memerintahkan pemilukada ulang dengan mengikutsertakan pasangan calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos seleksi oleh penyelenggara pemilu. Putusan seperti ini memang harus dijatuhkan karena tidak meloloskan pasangan calon yang sesungguhnya memenuhi syarat adalah pelanggaran yang mendasar yang tidak dapat dibiarkan oleh siapa pun, terlepas dari apakah calon dimaksud berpotensi terpilih atau tidak.
Partisipasi Semua Pihak
Tentu masih banyak lagi kelemahan praktik demokrasi jika kita jeli dan peduli menyimaknya. Perkara sengketa pemilukada yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK adalah sebagian saja dari kelemahan demokrasi lokal. Tahun-tahun ini dan beberapa tahun yang akan datang sepertinya akan menjadi waktu yang sulit bagi perkembangan demokrasi karena harus mengisi “jasad” demokrasi dengan “ruh” demokrasi, serta “menafasi” demokrasi prosedural. Memang tidak ada keberhasilan tanpa kesulitan. Semakin banyak kesulitan yang dihadapi dan kelemahan yang dijumpai, akan semakin banyak pula jalan baru yang dapat dilalui.
Jalan yang telah dibuka MK hanya dapat mewujudkan demokrasi substantif jika diikuti semua pihak. Masih banyak lagi jalan baru yang dapat dibuka untuk mempercepat demokratisasi yang substansial.(*)
Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar