Sejak kejatuhan ibukota Irak, Baghdad pasca-Invasi AS sekitar hamipr delapan tahun yang lalu, Alquran merupakan salah satu yang tidak pernah 'termaknai' juga dengan artefak atau benda sejarah lainnya, semasa Saddam berkuasa. Pemerintah berkuasa saat ini tidak tahu harus berbuat apa terkait hal tersebut.
Alasannya, menurut Guardian, di satu sisi rezim Syiah pimpinan yang baru menilai sangat sensitif jika memunculkan kembali simbol-simbol yang mungkin memuliakan mantan rezim Ba'athist. Dan kemungkinan bakal berfungsi sebagai ikon untuk sisa pendukung setia. Di sisi lain Sunni sendiri takut dianggap memberikan kontribusi jika mereka mengungkapkan versi Alquran dimana beberapa memandang sebagai sesuatu yang sakral.
"Apa yang berlangsung di sini begitu berharga, bahkan bernilai jutaan dolar," ujar Kepala Pinjaman Sunni, Sheikh Ahmed Al Samarrai kepada The Guardian. "Adalah salah melakukan apa yang dia lakukan, yakni menulis dengan darah," ujarnya lagi. "Itu haram (dilarang)," tegasnya lagi.
Samarrai mengatakan kepada Guardian bahwa, "Aku tahu ini akan banyak dicari dan kami membuat keputusan untuk melindunginya. Tapi untuk melihat ini sekarang tidak mudah. Ada tiga kunci dan tidak satupun dari mereka diadakan di satu tempat."
Pada tahun 2005, pemerintah membentuk sebuah komite untuk mengawasi penghapusan simbol terkait dengan Saddam. Ali al-Moussawi, juru bicara perdana menteri, Nur al-Maliki, mengatakan "kita harus tetap menjaga ini sebagai dokumen untuk kebrutalan Saddam, karena dia seharusnya tidak melakukan hal ini," ujarnya.
"Ia mengatakan banyak tentang dirinya itu tidak boleh dimasukkan ke dalam sebuah museum sekalipun, karena tidak ada rakyat Irak ingin melihatnya. Mungkin di masa mendatang bisa dikirim ke sebuah museum swasta, seperti memorabilia dari Hitler dan rezim Stalin," tulis laporan tersebut.
Red: Djibril Muhammad
Sumber: Guardian.co.uk/ Jpost.com
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar