Rabu, 22 Desember 2010

SISI LAIN POLITIK GENDER

TIGA belas hari mengunjungi Negeri Sakura, Jepang, 9–21 Desember 2010, ternyata bukan saja berguna untuk menenangkan hati dan menyegarkan pikiran yang sumpek atas suasana Jakarta, tetapi juga memberi pengetahuan yang tak ternilai harganya.

Dalam delapan tahun terakhir ini hampir setiap tahun penulis pergi ke Kyoto. Selama di Jepang, selain sempat melancong ke beberapa tempat di Kyoto, Nara, dan Tokyo, yang paling mengesankan adalah menghadiri seminar internasional. Ada empat seminar internasional yang diselenggarakan di CSEAS Kyoto University, dari yang dikelola Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kansai, Jepang, sampai yang dikelola JSPS, Core University Program CSEAS Kyoto University, dan CAPAS mengenai Local Politics and Social Cleavages in Transforming Asia. Ada juga roundtable discussion antara para wakil negara-negara anggota ASEAN (setingkat duta besar) di Sekretariat ASEAN dan para ilmuwan ASEAN yang kebetulan sedang berada di Kyoto University.

Hal yang biasa terjadi, seminar lebih banyak dilakukan pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, kecuali roundtable discussion yang diadakan pada hari Senin, 20 Desember 2010. Satu hal yang membanggakan penulis, dari sembilan pemakalah dari Indonesia, satu berasal dari Universitas Tanjung Pura, satu dari Universitas Sultan Agung Tirtayasa, satu dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, satu dari The Wahid Institute, satu dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, satu dari Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI, dan tiga dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, institusi yang selama ini dipandang terlalu kritis terhadap pemerintah.

Jika dilihat dari tema dan topik-topik rencana penelitian yang didiskusikan di antara sesama kolega dari China, Taiwan, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, hampir semua keluar dari pakem ilmu politik atau ilmu-ilmu sosial yang baku. Beberapa peneliti senior bahkan berupaya mendekati persoalan yang dihadapi Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Laos, Vietnam dari berbagai disiplin ilmu. Persoalan yang didiskusikan pun sangat beragam, dari soal kerapuhan demokrasi di Thailand, pemekaran daerah di Indonesia, desentralisasi dan politisasi birokrasi di Indonesia, etnik China di Indonesia, persoalan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia, kebijakan tanah dan kehutanan di Laos, soal premanisme, agama dan kekuasaan di Indonesia, pembunuhan politik di Thailand, konflik perburuhan di Vietnam, soal perbatasan Thailand-Kamboja, urban development and social disparity in metropolitan Jakarta sampai soal penitipan anak dan ruang perawatan anak di Jakarta.

Menyambut Hari Ibu, 22 Desember 2010, penulis ingin mengupas pemikiran Kurniawati Hastuti Dewi, peneliti di Pusat Penelitian Politik-LIPI yang kini sedang menyelesaikan program doktor di Kyoto University, Jepang. Makalah Nia––panggilan akrab Kurniawati–– berjudul ”Daycare and Nursery Room in Jakarta: Local Government’s Concept, Policy and Tension in Allocating Public Space of Women”. Dalam bahasa Inggris yang nyaris sempurna, Nia menggambarkan betapa para aktivis perempuan dan para politikus perempuan di Indonesia lebih suka bicara hal-hal yang amat seksi seperti soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pornografi, dan kuota kursi di DPR atau di kabinet untuk perempuan ketimbang soal ruang untuk penitipan dan perawatan anak.

Walau di DPR ada Kaukus Perempuan, ternyata sebagian besar mereka juga kurang atau tidak tertarik pada persoalan penculikan anak, penitipan anak, dan ruang bagi perawatan anak. Bayangkan, ketika Angelina Sondakh, anggota DPR dari Partai Demokrat, yang kebetulan memiliki anak yang masih harus disusui, mengusulkan agar di Gedung DPR-MPR ada ruang penitipan anak, tak ada teman Kaukus Perempuan yang tertarik untuk mendukungnya. Entah mereka sudah menjadi seperti perempuan perkasa atau seperti maskulin ataukah jiwa feminisnya masih melekat pada diri mereka. Atau mereka lebih suka agar Gedung DPR yang baru dan megah nantinya ada spa dan tempat melempangkan otot ketimbang tempat bagi bayi-bayi anggota DPR, DPD, dan para staf DPR, DPD, dan MPR yang membutuhkan penitipan anak yang dekat dengan tempat ibunya bekerja.

Anak, biar bagaimanapun adalah putra-putri penerus bangsa yang akan melesat ke masa depan. Pemberian air susu ibu (ASI) selama 18 bulan dan perawatan intensif dari seorang ibu adalah suatu keniscayaan. Pertanyaannya, mengapa para aktivis dan politisi perempuan kurang tertarik pada soal ruang bagi penitipan dan perawatan anak di tempat mereka bekerja? Cuti tiga bulan bagi seorang ibu yang melahirkan anaknya tidaklah cukup bagi pegawai negeri sipil, TNI, Polri atau karyawan swasta. Mereka juga harus dekat dengan bayinya agar dapat memberikan ASI dan memberi perawatan secara langsung.

Anehnya, meski dari tahun ke tahun semakin banyak perempuan yang bekerja seperti di kota metropolitan Jakarta dan tuntutan agar kantor-kantor memiliki tempat penitipan anak atau ruang untuk mengganti popok anak semakin tinggi, adalah kenyataan bahwa Pemerintah DKI Jakarta atau Jabodetabek kurang tertarik untuk menyediakan ruang demi kebutuhan yang amat mendasar itu. Mulai maraknya penculikan anak juga tidak membuat pemerintah mulai memikirkan bagaimana membangun tempat khusus penitipan anak yang terjangkau tempat dan biayanya oleh para perempuan yang bekerja. Hingga saat ini hanya ada beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Sosial, Bulog, dan Kehutanan yang memiliki tempat penitipan anak.

Puluhan lainnya dikelola oleh swasta dengan biaya yang sangat mahal dan tidak terjangkau oleh perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, apalagi pegawai rendahan. Seperti di Jepang, Australia atau negara maju lain, sudah seharusnya pemerintah membangun dan memberi subsidi bagi tempat penitipan anak. Kisah penganiayaan anak balita di Vietnam yang terjadi beberapa waktu lalu atau maraknya penculikan anak dan penjualan anak balita di Indonesia belum menggugah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Kesehatan untuk mulai memiliki program pembangunan penitipan anak di semua instansi pemerintah.

Kedekatan ibu dengan anak-anaknya akan memberi ketenangan bagi sang ibu, menjamin keselamatan anak dan jaminan gizi yang baik bagi anak-anak balita tersebut. Sang ibu akan tetap bisa memberi ASI setiap saat, bermain dengan anak-anaknya saat istirahat makan siang, dan membawa anaknya pulang selepas jam kantor. Anehnya, sudah ada Undang- Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang Pasal 83-nya menetapkan ”para pekerja perempuan yang masih memberikan ASI kepada anaknya harus diberi kesempatan yang cukup untuk menyusui anaknya meskipun pada jam kerja”.

Surat Peraturan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Kesehatan No 48/Men.PP/XII/2008, No PER 27/MEN/XII/2008, dan No 117/Menkes/PB/XII/2008 juga mengatur upaya untuk meningkatkan pemberian ASI pada jam kerja sebagai bagian dari program kerja nasional pemberian ASI selama minimal enam bulan. UU No 36/2009 tentang Kesehatan antara lain juga mengatur pemberian ASI dan penyediaan fasilitas khusus penitipan anak dan perawatan anak di tempat-tempat kerja. Namun, UU dan peraturan seolah-olah tidak bermakna karena tidak ada realisasinya di lapangan, bahkan di DPR sendiri.

Komnas Perlindungan Anak, walau sudah memberi data mengenai penculikan anak dan kekerasan terhadap anak-anak, tampaknya juga kurang berteriak soal betapa pentingnya tempat penitipan anak dan ruang khusus perawatan anak baik di instansi-instansi pemerintah dan swasta maupun di tempat-tempat umum. Pemerintah DKI Jakarta bukan saja tidak becus dalam mengatasi persoalan banjir, kemacetan lalu lintas, dan memberi rasa aman bagi anak-anak balita, tetapi juga tidak begitu tertarik soal pembangunan tempat-tempat penitipan anak yang biayanya terjangkau bagi buruh dan pegawai rendahan.

Tempat penitipan anak dan ruang khusus perawatan anak memang bukan sesuatu yang seksi secara politis, tapi merupakan kebutuhan dasar bagi suatu negara yang benar-benar memperhatikan masa depan generasi penerusnya. Selamat Hari Ibu, semoga para ibu dan pejuang kesetaraan gender semakin tertarik untuk memperjuangkan keselamatan, kesehatan, dan gizi bagi anak-anaknya, antara lain dengan memperjuangkan agar di semua tempat kerja ada tempat penitipan anak yang murah, sehat, dan aman bagi anak-anak kita. (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371101/38/

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...