Rabu, 22 Desember 2010

Whistleblower dan Perkembangan Demokrasi

Akhir-akhir ini tampaknya isu peniup peluit (whistleblower) di Indonesia mendapat perhatian besar dari tokoh politik dan pengamat politik yang ingin memberantas korupsi di negara ini.

Masalah ini juga menjadi primadona bagi pihak-pihak yang ingin melihat terwujudnya transparansi di pemerintahan Republik Reformasi ini. Persoalan whistleblower ini pada dasarnya kelihatan sangat mudah. Namun, banyak faktor yang menyebabkan pembuatan undang-undangnya tidak mudah tercapai. Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai maksud dari whistleblower itu sendiri.

Dalam kerangka itu, akan menarik juga jika kita membahas tujuan dan maksud Undang-Undang Perlindungan Whistleblower, bagaimana respons dunia soal isu ini serta contoh yang perlu diketahui dalam pelaksanaan undang-undang ini terutama di Amerika Serikat (AS)? Tentu akan menjadi pertanyaan juga mengenai kesiapan Indonesia dalam membangun demokrasi terbuka.

Melindungi

Kalau dilihat sejarah, kata “whistleblower” atau pembunyi peluit ini adalah satu praktik kepolisian di Inggris yang mana polisi meniup peluitnya untuk memberi tahu kepada masyarakat di sekelilingnya ada aksi kriminal di sekitar mereka. Di dunia politik, kata ini diadopsi menjadi sebutan untuk bagian dari pemerintah yang ingin memberantas korupsi atau pelanggaran hukum yang merugikan rakyat umum.

Para whistleblower ini memberitahukan sesuatu hal yang selama ini ditutup-tutupi dengan harapan akan terjadi perbaikan. Ada dua macam whistleblower. Pertama, pegawai dalam perusahaan atau pemerintahan. Kedua, mereka yang melaporkan suatu pelanggaran hukum dari luar perusahaan dan pemerintahan. Biasanya whistleblower itu adalah seorang yang mempunyai prinsip hidup, etika, dan karakter yang kuat (exceptional). Selama ini banyak pelanggaran hukum di pemerintahan dan swasta yang merugikan masyarakat yang tidak dilaporkan.

Karena apa? Ada yang tidak mau melaporkan karena takut ada ancaman di tempat kerja atau masyarakat, takut kehilangan kawan di tempat kerja dan komunitas, takut dipanggil sebagai orang pengadu (tattle tales), dan banyak orang takut melapor karena kurang data/bukti yang konkret dan tidak ada waktu mengikuti kasus sampai tuntas. Ada juga yang takut dituntut kembali, pengurangan gaji, diskors, dilepaskan dari jabatan untuk sementara atau terminasi jabatan.

Meskipun sekarang sudah ada Undang-Undang Perlindungan Whistleblower di banyak negara, namun keseganan akan akibatnya itu sangat nyata. Jelaslah tujuan dan maksud undang-undang ialah untuk meng-encourage orang yang mengetahui ada pelanggaran hukum, mempunyai bukti-bukti, kesaksian ada aksi kriminalitas di masyarakat atau pemerintah. Pemerintahan demokratis di berbagai belahan dunia ini membuat undang-undang yang melindungi sang whistleblower ini agar mereka merasa aman dan makin banyak orang yang mau membuka kebobrokan yang terjadi di lembaganya dengan tujuan perbaikan.

Di AS, ada berbagai Undang-Undang National/Federal dan state (negara bagian) yang melindungi seorang whistleblower agar kesaksiannya tidak mengakibatkan ada ancaman kekerasan terhadap pribadinya dan keluarga dan pelanggaran hak asasi lainnya. Sekarang di negara ini bahkan ada undang-undang yang mengatur perlindungan whistleblower di bidang swasta.

Undang-Undang Whistleblower Protection yang pertama di AS dibuat pada 1912 dan dikenal sebagai Lloyd-Lafollette Act di mana seorang pegawai federal mendapat perlindungan hukum untuk memberikan Kongres keterangan ada kriminalitas yang merugikan negara. Pada tahun sembilan belas tujuh puluhan dan selanjutnya banyak lagi undang-undang yang sama dibuat oleh Kongres di berbagai bidang untuk mencegah pelanggaran hukum dan melindungi seperti air bersih, bahan-bahan beracun, limbah, nuklir sampai corporate fraud.

Perhatian Publik

Mungkin kita sangat familiar dengan beberapa contoh kasus dikenal pembocoran informasi oleh whistleblower. Saya akan paparkan beberapa di antaranya yang sangat menarik perhatian dunia dan berhubungan dengan pemerintahan AS. Dr Daniel Ellsberg membocorkan dokumen rahasia ke New York Times yang dikenal sebagai The Pentagon Papers mengenai ketidakmungkinan AS bisa menang perang Vietnam.

Lalu ada Jeffrey Wigand yang membongkar konglomerat tembakau atau ‘The Big Tobacco Companies’ yang menyebabkan negara-negara bagian di AS menuntut perusahaan yang terlibat melanggar hukum dan menang. Akibatnya juga lahir Undang-Undang Federal yang mengatur penjualan tembakau di negara itu.

Pejabat tinggi di AS pun tak segan-segan menjadi whistleblower demi hal yang diyakininya benar. Mark Felt, orang kedua di FBI AS, dengan bantuan dari dua jurnalis ternama mengubah sejarah AS dengan membuka ke publik aksi kriminal yang melibatkan Presiden Nixon yang kemudian jatuh dari kursi kepresidenannya.

Ada juga Prajurit Joseph Darby yang merasa hal yang dilihatnya tak bisa diterima akal manusia. Maka, dia membocorkan kejadian yang sangat kejam di penjara Abu Ghuraib, Irak. Foto-foto yang tersebar itu mengejutkan dunia dan menimbulkan gelombang protes terhadap AS. Terakhir mungkin kita semua tahu mengenai Julian Assange yang–meskipun beliau bukan warga negara AS–membocorkan dokumen-dokumen diplomatik AS yang berjumlah 252.287 lembar dan membuat malu AS di depan sekutu maupun lawannya.

Assange bahkan sudah menetapkan target berikutnya yaitu korporasi perbankan dan perdagangan seperti di bidang farmasi, keuangan, energi yang dianggapnya melakukan corrupt practices. Tentu masih banyak contoh yang dapat dikutip dari berbagai negara dan kasus. Malah ada satu keputusan pengadilan banding untuk distrik ke-9 di AS (The Ninth US Court of Appeal) pada 2000 yang memutuskan apabila si whistleblower bisa dipulangkan ke negeri aslinya dan akan dituntut hukuman, orang tersebut bisa mendapatkan hak suaka di AS.

Sampai begini jauhnya pengadilan AS memperhatikan perlindungan hak di negaranya. Di komunitas dunia ada beberapa agreements yang dibuat secara regional dan melalui PBB melindungi hak asasi whistleblower yang dianggap memegang peranan penting dalam pemerintahan dan organisasi swasta. Seperti Inter-American Convention Against Corruption (1999), African Union Convention of Preventing and Combating Corruption (2003), ABDOECD Anti-Corruption Initiative for Asia-Pacific: Combating Corruption in The New Millennium, and South African Development Community Protocol Against Corruption.

PBB pun mengadopsi “Convention Against Corruption” pada 2003 dan ditandatangani oleh 140 negara di dunia termasuk Indonesia. Konvensi PBB ini menjadi bagian badan hukum internasional. Indonesia meratifikasi dokumen tersebut pada 19 September 2006. Di dalam negeri, Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang disahkan Presiden SBY pada Agustus 2006 dan dikenal sebagai Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006.

Ini adalah langkah pertama yang baik dalam membangun negara yang bebas korupsi dan demokrasi transparan. Undang-undang ini belum sempurna bahasanya dan perlu diperbaiki dengan mempelajari model hukum yang sudah ada di berbagai negara di dunia. Dalam hal ini, para legislator perlu membuat hukum antikorupsi sesuai sosio-politik dan kultur Indonesia. Juga pentingkan pendidikan rakyat, betapa pentingnya pemberantasan korupsi dan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Whistleblower dalam membangun negara yang bebas dan demokratis.(*)

Prof Edo Quiko
Penasihat Rektor UI,
Profesor Emeritus
College of The Ozarks, AS

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...