Selasa, 11 Januari 2011

SEMANGAT ZAMAN ASMARA NABABAN

Di tengah khidmat peringatan Hari Sumpah Pemuda 2010 yang diselenggarakan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, dari Guangzhou, Republik Rakyat China, terdengar kabar Asmara Nababan wafat. Rasa kehilangan segera menghampiri kerabat dekat aktivis dan 400-an orang dari 33 provinsi yang hadir. Sedih, sepi dalam takdir.

Bernama lengkap Asmara Victor Michael Nababan dan lahir di Siborong-borong, 2 September 1946, Asmara sangat aktif dalam kegiatan advokasi hak asasi manusia, konsolidasi demokrasi, hingga reformasi sektor strategis militer dan intelijen.

Kiprahnya mencuat saat memimpin International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) bersama cendekiawan Dawam Rahardjo. INFID menjadi simbol oposisi atas konsep pembangunanisme Orde Baru melalui advokasi transnasional mengecam proyek pembangunan dari utang luar negeri hingga pengerukan sumber kekayaan alam.

Asmara kian mendapat tempat di hati masyarakat saat berkiprah sebagai Sekjen Komisi Nasional HAM. Ia mengubah Komnas HAM yang semula hendak dijadikan alat pencitraan menjadi lembaga kontrol efektif terhadap kekuasaan Soeharto.

Awalnya, tak ada yang percaya Komnas HAM efektif. Dibentuk Presiden Soeharto, awal pembentukan Komnas HAM lebih diyakini sebagai trik politik pemerintah meredam reaksi internasional atas penembakan di Santa Cruz, Timor Timur, 1991.

Pertama membongkar

Asmara yang pertama membongkar keterlibatan militer dalam pelanggaran HAM di wilayah tambang Freeport kurun 1995-1996. Di ujung kekuasaan Soeharto, ia mencetuskan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Pada masa turbulensi ini, Asmara dan Munir pasang badan melindungi petugas intelijen yang ditangkap mahasiswa.

Bersama Baharuddin Lopa, ia mengungkap kekerasan politik dan pelanggaran HAM selama Aceh berstatus daerah operasi militer. Secara lugas, Asmara menjelaskan kepada pemerintah dan ABRI mengapa Komnas HAM membuka kembali apa yang dirasakan rakyat Aceh sebagai ketidakadilan. Bersama Lopa, ia mengendalikan investigasi forensik tempat ditemukannya tengkorak jenazah korban operasi rencong. ABRI menolak temuan Komnas HAM. Namun, Komnas HAM terus bekerja hingga tuntas.

Menyadari temuan penting Komnas HAM, sebuah panitia khusus dibentuk DPR dan memanggil petinggi militer yang terlibat operasi militer di Aceh. Anggota Pansus Tengku Nashiruddin Daud diculik dan ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Bersama Munir, Asmara mendorong pengusutan kematian politikus asal Aceh tersebut.

Belum reda pro-kontra atas Aceh, tekanan publik kembali mengemuka atas inisiatif Komnas HAM mengusut pelanggaran HAM setelah jajak pendapat Timor Timur tahun 1999. Bersama aktivis LSM, Asmara mengatur strategi agar peristiwa Tanjung Priok 1984 juga diusut pro justitia tahun 2000.

Melihat keberhasilan itu, kalangan mahasiswa mendesak Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik atas rentetan penembakan mahasiswa di tahun 1998, khususnya tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Bersama sahabat dekatnya, Albert Hasibuan dan Zumrotin, ia mengumumkan terbentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II (KPP HAM TSS), lengkap dengan formatur penyelidik, padahal pemimpin Komnas belum menerbitkan keputusan.

Berbagai manuver menjegal kiprahnya selalu ada. Saat itu, sejumlah elite sipil dan militer memobilisasi massa dengan menggunakan sentimen agama. Tanpa penjelasan yang masuk akal, isu miring dikembangkan untuk menjegal kerja Komnas HAM, termasuk sisi personal keagamaan Asmara. Tak sejengkal pun ia gentar. Sebaliknya, para jenderal tampak gentar menghadapi pemeriksaan.

Saat mendorong Komisi Penyelidik Peristiwa Talangsari 1989, seorang jenderal senior memengaruhinya dengan uang berjumlah besar. Itu ditolaknya. Dalam sepucuk surat, si jenderal minta maaf. Itulah terakhir pengaruh besar Asmara selama menjadi Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Selanjutnya Asmara mengakhiri pengabdiannya di Komnas HAM justru saat pemerintah dan DPR membekali Komnas HAM dengan landasan undang-undang.

Tak kenal kompromi

Asmara tak kenal kompromi jika menyangkut ikrar dan prinsip. Penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang melibatkan petinggi intelijen berjalan mulus karena perannya. Ia ngotot agar pemeriksaan berlangsung tidak di kantor intelijen. Saat pejabat intelijen memohon didampingi pengacara, termasuk pengacara yang melibatkan purnawirawan jenderal, ia menolak. Baginya, seorang yang dipanggil untuk menjelaskan perkara kemanusiaan harus bersikap ksatria, bukan bersembunyi di balik pengacara dan politisi.

Dengan Munir, Th Sumartana, Olle Tonquerst, dan Arief Budiman, ia memprakarsai terbentuknya Demos, gudang pemikir aktivis prodemokrasi. Asmara membawa perubahan atmosfer aktivis prodemokrasi terjun ke politik. Perhatian tulusnya dirasakan organisasi-organisasi HAM, seperti Elsam, Imparsial, YLBHI, Kasum, dan Kontras.

Asmara selalu berusaha berada di tengah-tengah korban. Saat Kongres Korban Pejuang HAM di Depok, 17 Maret 2009, Asmara berkata, ”Komitmen politik elite untuk memajukan HAM hanya pemanis bibir, padahal penegakan HAM ditentukan oleh komitmen politik negara, terutama komitmen politik pemerintah.” Tanpa komitmen politik yang kuat, katanya, penegakan HAM berjalan di tempat, bahkan mundur.

Baru-baru ini, bersama sahabat karibnya, Marzuki Darusman, mantan Ketua Komnas HAM dan mantan Jaksa Agung, ia membidani lahirnya gudang pemikir regional HAM ASEAN, Human Rights Resources Centre for ASEAN yang berbasis di Universitas Indonesia.

Terlalu panjang kisah kenangan. Kesehariannya bersahaja. Senantiasa memakai sandal dan tas kain. Ia menjadi pembeda dari aktivis seusianya yang bergelimang kemewahan.

Beberapa kali Asmara masuk ke Istana Negara hanya menggunakan sandal dan membuat petugas keamanan Ring 1, bahkan Presiden, terheran-heran. Baru belakangan, saat hendak mendampingi korban, ia tak berhasil meyakinkan petugas Istana.

Kisah lain saat Komnas HAM mempersiapkan pemeriksaan jenderal aktif tersenior. Ada yang memintanya lebih sopan dengan menggunakan sepatu. Dengan santai, Asmara menjawab, ”Mau saya periksa sama sandal atau mulut saya?”

Saat menginap di rumah warga Indonesia di Belanda, kami berdua tidur sekamar seranjang. Menjelang terlelap, Asmara berkata, ”Man, selama kumenikah, belum pernah kutidur seranjang dengan orang selain istriku, kali ini kau.” Saya tertawa kecil.

Aktivis sekaliber Asmara tak pernah mengeluh meski harus menghadiri acara HAM dengan fasilitas sederhana. Ia mencintai istrinya: Magdalena. Di tengah sahabat, ia kerap mendendangkan ”Sajojo”, lagu Indonesia timur kesukaannya.

Sahabatnya kerap menyarankan Asmara agar mengurangi intensitas kegiatannya sehari-hari mengingat kondisi kesehatan yang menurun. Namun, Asmara tak bisa diam. Ia resah dengan masalah pokok Indonesia dewasa ini: ketiadaan konsep citizenship. Baginya, mungkin, kita hidup dalam negara setengah modern, kulitnya modern, tetapi tulang dagingnya masih pramodern alias feodal. Ciri pentingnya: orang tak dianggap setara hak kewajibannya sebagai warga.

Banyak dari kita—terutama korban—masih diperlakukan tak manusiawi. Ia ingin menyetarakan relasi korban-negara. Sesungguhnya Asmara-lah aktivis veteran yang menjadi sumber energi dan udara bagi napas perjuangan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, baik menumbuhkan gerakan maupun menelurkan konsep-konsep hak-hak asasi manusia.

Kini Asmara telah pergi. Pejuang kemanusiaan sejati. Kesederhanaan dan keteguhannya membela keadilan kaum tertindas pasti akan dikenang selama-lamanya.

Bang As, selamat jalan! Beristirahatlah dalam damai.

Usman Hamid
Aktivis Kontras

http://www.kompas.com/read/xml/2010/11/02/02554417/semangat.zaman.asmara.nababan

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...