Selasa, 11 Januari 2011

(MASIH) POLIGAMI

Zaim Uchrowi

Bagaimana sebenarnya bentuk keluarga ideal menurut agama? Monogami atau poligami? Masyarakat kita secara umum telah menganggap selesai persoalan itu. Masyarakat menilai monogamilah bentuk keluarga ideal. Maka, hampir semua keluarga mempraktikkan monogami. Sangat sedikit yang berpoligami. Selingkuh? Itu haram sama sekali. Lebih baik segera tinggalkan kampung. Jangan pernah kembali lagi.

Nilai berkeluarga seperti itu merupakan nilai dominan di masyarakat kita. Setidaknya, di masyarakat sekitar Madiun, tempat asal saya. Nilai tersebut tidak lepas dari nilai keagamaan yang disebarkan pada masa silam. Sejumlah pesantren penting ada di kawasan itu. Pesantren Tegalrejo, pesantren paling berpengaruh di Jawa di abad ke-19, misalnya. Lalu Gontor, Termas, Takeran, dan banyak lainnya.

Pertanyaannya adalah: Apakah nilai berkeluarga yang diidealkan itu sudah sesuai syariah? Apakah monogami sesuai sunnah Rasul? Sebagian aktivis keislaman mengemukakan pertanyaan itu. Mereka menilai reaksi publik terhadap pernikahan kedua Aa Gym terlalu berlebihan. Apakah ini bukan berarti menolak syariah? Ketika perselingkuhan dan perzinahan marak seperti sekarang, apa jadinya bila syariah tidak ditegakkan?

Kebenaran syariah tak cukup dinilai hanya dengan menerjemahkan ayat Alquran. Kebenaran syariah akan lebih terpahami dengan melihat keteladanan Rasul dalam mengaplikasikan ayat-ayat-Nya. Itu berlaku di semua aspek kehidupan. Termasuk berkeluarga.

Keteladanan Rasulullah SAW dalam berkeluarga sangat jelas. Pada masa itu, yakni pada abad ke-7, poligami adalah praktik umum masyarakat Quraisy, laki-laki bisa hidup bersama banyak perempuan. Perempuan dianggap seperti hak milik. Terserah mau diapakan. Di tengah lingkungan demikian, Muhammad SAW membangun pernikahan agung. Ia menikahi Khadijah yang 15 tahun lebih tua, dan bersetia sampai sang istri wafat hampir 28 tahun kemudian.

Mereka saling bantu dan saling jaga sehingga menjadi pasangan yang kokoh. Mereka biasa mengerjakan tugas keluarga secara bersama. Mulai dari mengatur ekonomi, bermasyarakat, hingga mengasuh anak. Di tengah masyarakat Quraisy yang menolak dakwahnya, pasangan Muhammad SAW-Khadijah hidup bahagia. Orang Quraisy biasa melecehkan anak perempuan. Namun, pasangan itu memuliakan keempat putrinya. Keluarga itu benar-benar keluarga yang hangat dan sakinah. Kesetaraan dan kebersamaan menjadi pola utama hubungan mereka, meskipun Muhammad SAW jelas-jelas pemimpin umat. Itu sangat ’revolusioner’ pada masanya. Masa belasan abad sebelum kaum feminis meneriakkan isu gender sekarang.

Pola pernikahan Muhammad SAW-Khadijah mendorong kebiasaan masyarakat untuk berpoligami agar beralih ke monogami. Apalagi Rasul juga melarang sahabat terkasihnya, Ali bin Abu Thalib, berpoligami. Apakah itu bukan petunjuk bahwa pernikahan sebaiknya monogami.

Realitas di lapangan juga mengindikasikan bahwa masyarakat yang teguh bermonogami umumnya mempunyai kualitas hidup lebih baik dibanding masyarakat yang permisif pada poligami. Hal itu dapat dinilai dari tingkat kemiskinan, pencapaian dalam pendidikan, bahkan kriminalitas dan kemaksiatan. Indikasi itu terlihat dari kehidupan masyarakat pedesaan wilayah ’Mataraman’ (wilayah pedalaman Jawa Tengah, Yogya dan sebagian Jawa Timur) bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pedesaan kawasan ’Tapal Kuda’ Jawa Timur, wilayah pantura hingga sebagian besar pedesaan Jawa Barat dan Banten. Realitas tersebut juga merupakan ayat Qauniyah yang juga perlu dicermati.

Dalam formalitas syariah, poligami memang sah sebagaimana monogami. Rasulullah SAW pun berpoligami di sepuluh tahun terakhir usianya. Tapi, nilai akhlak dan adab juga mengajarkan bahwa sekadar ’sah’ atau ’halal’ tidaklah cukup untuk melangkah. Selain ’sah’, setiap langkah perlu dipertimbangkan cermat agar ’baik’. Dengan begitu kemudharatan akan terhindarkan, kemanfaatan akan teroptimalkan. Termasuk untuk melangkah berpoligami. Kepentingan anak-anak dan kepentingan pasangan yang telah bersetia jatuh bangun membina keluarga dari awal yang harus menjadi pertimbangan utama. Rasulullah pun berpoligami setelah anak-anaknya dewasa. Juga, sekali lagi, setelah Khadijah yang menjadi belahan jiwanya wafat.

Persoalan bagaimana format syariat berkeluarga telah lama dianggap selesai oleh ulama kita terdahulu. Begitu pula banyak soal syariah lain. Mereka tidak lagi memperdebatkan kebenaran syariah. Mereka lebih berkonsentrasi bagaimana mengamalkan syariah itu secara operasional agar bermanfaat sebesar-besarnya bagi semua. Itulah yang selayaknya kita tiru.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...