Dari kecil, saya memahami bahwa ‘kafir’ itu berarti orang yang tak beragama Islam. Tetapi kalau mengartikan kafir dengan pengertian non Muslim, maka dengan ge-ernya, hati ini berprasangka buruk bahwa ayat-ayat kafir tidak berlaku bagi saya. Kenapa bersuudzan? Karena itu memfitnah diri sendiri.
Memasuki toko buku, kadang kita menemukan istilah berdialog dengan al-Qur’an, tapi bagaimana mungkin kita berdialog, kalau ayat-ayat kafir tidak kita tujukan kepada diri sendiri.
Kalau kebetulan di rumah kita ada kaca pengilon, sekali-kali kita menatap wajah ini dalam-dalam. Maka di hati terjadi dialog antara aku dengan saya.
Aku bilang: ternyata aku ganteng juga ya… terus ditimpali oleh saya: sayang wajah saya banyak kubangan bekas jerawat…Aku bilang lagi: walau ganteng…udah tua ini gak laku-laku…ke mana-mana gak ada yang nawar…lhaa berdialog dengan al-Qur’an itu berarti memposisikan al-Qur’an sebagai kaca pengilon, agar kita bisa berdialog dengan diri sendiri dengan panduan firman Tuhan.
Bukankah kita sepakat, muhasabah itu harus kita lakukan setiap saat. Maka untuk bisa koreksi diri harus menuduhkan ayat-ayat jelek pada diri sendiri. Kalau kafir itu dimaklumkan sebagai ‘kata jelek’, maka kepada yang terhormatnya ‘ayat-ayat kafir’ adalah Saya. Ingat…Jangan ditujukan untuk orang lain, karena semua orang tak mau dikafirkan.
Dalam beberapa ayat dinyatakan: “tetapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkarinya…” ‘Mengingkari’ dalam ayat 89 surat al-Isra ini menggunakan lafadz ku – fu – ra. Maka ketika kebanyakan manusia itu kufur. Apakah kita bagian kecil yang tak kufur?… Pede amat sih…tentu diriku bagian yang banyak itu. Apalagi kamu!!!! He…he….
Kalau lengkap ayatnya kita baca begini: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkarinya.” Di sana ada indikasi walaupun Allah telah menyodorkan banyak sekali perumpamaan, agar manusia bisa mencerna kebenaran ayat-ayat Allah, tetapi kebanyakan manusia mengingkarinya. Kata mudahnya kafir itu berarti mengingkari datangnya kebenaran ayat-ayat Tuhan dari kitab suci maupun ayat yang terbentang seluas langit dan bumi ini.
Ayat selanjutnya berbunyi begini: “dan mereka berkata: “kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami.” Membaca lebih lanjut ayat seterusnya akan mengerti bahwa apa yang diinginkan kafir adalah pembuktian dari Nabi untuk keinginan yang dapat mereka nikmati dan rasakan secara langsung, walau itu mustahil, karena Allah telah menciptakan sunnatullah, dan kausalitas alam ini. Kafir terhalang hatinya atas hidayah dan hadiah kebenaran oleh hawa nafsunya.
Katakanlah di antara kita saat ini ada yang menderita diabetes, mudah-mudahan tidak sampai nanti sampai mati. Lha sunatullahnya bilang begini: kalau pankreas tidak bekerja maksimal memproduksi insulin, dan suplai insulin tak cukup membantu glukosa masuk ke dalam sel-sel. Maka gula darah itu akan menumpuk, karena tugas insulin adalah membukakan pintu-pintu sel. Bagaimana glukosa mau masuk ke kamar sel, kalau pintunya tertutup?
Gula yang tidak digunakan untuk mereproduksi sel itu akan menumpuk dalam kadar yang tinggi. Hingga dokter memvonis sebagai penderita diabetes, atau biasa disebut gula, juga kencing manis. Maka ayat-ayat kauniyahnya akan berujar kalau si penderita ingin gulanya stabil maka harus mengikuti ayat: “dan janganlah kamu tidur setelah makan dalam jeda dua jam. Karena baru saja dirimu dipenuhi gula yang bersumber dari nasi. Maka kalian harus membakarnya dengan berkeringat.”
Ayat lainnya menfirmankan begini: “agar dirimu selalu dalam keadaan sehat yang terjaga maka usahakan tiap hari beraktivitas fisik selama 30 menit, atau lebih lama lebih baik. Tapi kebanyakan orang lalai, dan mengingkarinya” Juga firman lain yang menganjurkan “agar dirimu selalu menenangkan hati, segala keruwetan hidup adalah anugerah terindah dari Tuhanmu yang apabila kau temukan hikmahnya tentu kalian akan tenang. Apakah kalian tidak berfikir, kalau takdir hidup memang penuh masalah dan ketenangan adalah pilar kesehatan.”
Adapun ayat-ayat kauniyah larangan merusak bumi, dan anjuran mencintai makhluk hidup lainnya, diwahyukan begini: “dan janganlah kamu menebang pohon tanpa menggantinya dengan yang lebih baik, karena sesungguhnya di dalam pohon terdapat manfaat yang banyak bagimu. Oksigen yang menegakkan hidupmu adalah hasil olahan dapur pohon-pohonan yang selama ini kau anggap sebagai benda mati. Sekali-kali tidak, ia adalah makhluk yang bernyawa, juga bersukma yang juga mempunyai hak hidup, hak dicintai, hak dipelihara, maka berbahagialah bagi orang-orang yang bernafas panjang, karena belaian kasih sayang pepohonan.”
Di antara ayat kauniyah lain tentang anjuran mencintai pepohonan, agar kehadiran manusia menjadi rahmatan lil alamin, terdapat dalam surat al-Syajarah, ayat dua yang berbunyi: “wahai orang-orang yang mempunyai akal. Sekali-kali tidak aku ciptakan pohon-pohon ini, kecuali bermanfaat bagi kalian. Akarnya bisa mengikat tanah hingga tidak longsor, juga membantu meresapnya air hujan menjadi air tanah, dan daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan macam-macam penyakit karena ulahmu sendiri. Apakah manfaat itu akan kau balas dengan mendlolimi pepohonan itu hingga menjadi mudharat bagi kelangsungan hidupmu. Karena kau akan ditimpa banjir, tanah longsor, kekeringan, terik panas dan kematian. Sekali-kali jangan demikian, karena sesungguhnya perbuatan perusakan pohon dan hutan adalah perbuatan orang-orang kafir."
Ayat kauniyah lainnya mengatakan “jangan cemari udara, air, tanah, dengan sesuatu yang meracuninya, karena dengan begitu kalian akan ditimpa longsor, banjir bandang, puting beliung anomali cuaca, dan kematian-kematian.”
Maaf bukan bermaksud menyaingi Musailamah Al-Kadzab, tapi memang itu bunyi ayat-ayat kauniyah yang Allah wahyukan melalui ilmu kedokteran, lingkungan, dan biologi. Bukankah Nabi ketika dipeluk Jibril untuk menerima wahyu pertama disuruh untuk membaca ayat kauniyah, sampai diulangi dua kali: “iqra ya Muhammad.” “Ma ana biqoriin” bukan berarti saya tidak bisa membaca, tetapi “apa yang harus aku baca” selanjutnya maksud tersiratnya: “bacalah ayat-ayat kauniyah” baru setelah perintah Jibril ketiga kalinya Nabi disuruh membaca ayat qauliyah: “iqra bismirabbikalladzi khalaq, khalaqal insana min alaq.” Ila akhirihi…
Bagaimana penderita diabetes, dan kebanyakan orang yang merusak bumi mengingkari ayat-ayat di atas. Ya tentu dia disebut sebagai kafir, karena mengingkari kebenaran. Kecuali ada kebenaran lagi yang bisa membantahnya secara holistik. Di situ sebenarnya tujuan kenapa mencari ilmu itu diwajibkan dari kandungan hingga kuburan. Supaya manusia selalu menangkap ayat kauniyah, dan mengimaninya, bukan mengkufurinya.
Dulu waktu aku masih terbata mengeja kata, simbah pernah cerita dan agaknya sedang mengedarkan daya waskita, beliau bercerita: “sesuk, tiap wong nduwe gambar hidup. Gambar hidup biso disak saben wong” (besok tiap orang punya bioskop, bioskop bisa disaku tiap orang). Waktu itu aku hanya mengangguk, dan memustahilkan dalam hati ramalan itu. Aku merasa dulu terhinggapi kekafiran, karena menyangkal kebenaran yang akan datang, sebagaimana kafirin tak menerima janji adanya hari pembalasan.
Sangkalan atas kebenaran itu bisa datang karena kebodohan. Pada hakikatnya manusia hidup diselubungi kegelapan, dan kebodohan, sehingga ia ingkar, bertabrakan, terjungkal, terpeleset. Bagaimana mungkin kita mengaku hidup di terang benderang, mengetahui segala sesuatu, sedang jumlah bulu ketiak saja kita tak pernah tahu. Kita hanya sempat terkaget saat kuku ini telah panjang, kita tak pernah mengetahui pertumbuhannya. Padahal tangan bagian dari tubuh kita sendiri.
Bagaimana kita merasa tahu, sedang satu menit ke depan saja kita tak pernah tahu nasib kita. Kelemahan pengetahuan manusia sekarang terbatas mempelajari fakta, tak pernah bisa secara sadar mendeteksi nasib manusia masa depan. Bisa tidak kira-kira kita menjadwal waktu beol kita esok hari? Maka bulshit, kalo ada orang yang menjanjikan nasib, apalagi menjamin rizki orang lain, sedang nasib hidup mereka di tangan Allah semata. La haula wala quwwata illa billah.
Kisah Nabi Musa dengan Khidlir cukup memberi teladan kepada kita. Bahwa kebodohan itu kadang membawa kebanggaan diri. Seperti Musa yang mengaku dirinya sebagai hamba paling cerdas (encer ning ndas) saat ditanya seorang pengikutnya. Kemudian kebodohan membuahkan perilaku menyalahkan, mengingkari. Waktu itu Nabi Musa selalu bertanya atas perilaku hamba shaleh yang ganjil itu.
Selanjutnya banyak ayat yang menunjukkan bahwa kekafiran adalah ingkar terhadap kebenaran yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad. Para kafir jaman Nabi seringkali tidak mempercayai akan datangnya hari pembalasan dan akhirat. Apa bedanya dengan sekarang? Bedanya orang sekarang di lisannya sering cuap-cuap tentang akhirat, tetapi amaliahnya mengingkari adanya akhirat.
Kasus yang baru saja kita baca dari buku Gurita Cikeas, menyebutkan bahwa ratusan ulama dan habib diumrohkan oleh pemerintah SBY dengan uang rakyat. Karena kebodohan, dan kekafiran, dalam arti ibadah seseorang justru berbuah kebuntungan.
Kasus ironi terhangat tentang wakil rakyat yang jauh-jauh mempelajari etika ke Yunani, setelah itu mereka melanggar etika, karena mampir di Turki untuk menonton tari perut dan rekreasi, sekali lagi itu dengan biaya uang rakyat. Itulah bentuk kekafiran, karena ia mengingkari kebenaran yang baru saja dipelajarinya. Atau bahkan kebenaran yang sudah akrab sejak usia SD. Tentang fahisyah dan maksiat.
Kafirin bukan orang yang tidak membaca kalimat syahadatain, karena membaca syahadat juga bisa dilakukan burung beo, hp juga bisa mengucapkan kalimat syahadatain, malah sehari bisa sampai ribuan kali. Tetapi kartu merah kafir dikeluarkan ketika seorang mengingkari ayat-ayat Allah kauniyah maupun qauliyah.
Aram-aram Rowosari Kendal 19 Januari 2011
Ahmad Saifullah
..........TERKAIT..........
wahhhhhh
BalasHapusmantapppp gan,,,,,,,
lanjutttt ^^