Kamis, 27 Januari 2011

Balada Mbah Maridjan vs Marzuki Alie

MBAH Maridjan adalah fenomena tradisional dan kita menanggapinya sebagai fenomena modern. Sementara itu, Marzuki Alie adalah contoh yang baik tentang modernitas yang buruk. Modernitas yang buruk?

Bayangkanlah kita menjadi Mbah Maridjan. Tanah airnya adalah Gunung Merapi. Ia dilahirkan di sana, menjadi besar di sana, menjadi berarti karenanya. Hubungannya dengan Gunung Merapi-lah yang membuat ia diangkat sebagai juru kunci gunung keramat itu oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Ia berumah di lereng tinggi, berladang di sana, memandang ke arah puncak, merasakan angin sang gunung, memberi tempat singgah bagi para pendaki yang melalui rute itu. Ia hidup oleh Merapi. (Maka tak heran ia pun rela mati oleh gunung itu). Ia telah 80 tahun lebih ketika hawa panas akhirnya menghembus nyawanya.

Ia memilih untuk tetap tinggal di rumahnya sekalipun pusat vulkanologi telah menyatakan status awas dan meminta warga untuk turun. Dulu, keputusannya yang heroik membuat ia menjadi bintang iklan – meskipun pada awalnya ia ragu. (Sudahkah MURI memberi dia rekor bintang iklan paling berumur?) Maka, ketika semburan lahar dan angin panas itu akhirnya terjadi, mengakhiri hidupnya, orang modern bertanya-tanya.

Kenapa dulu ia tidak turun seperti anjuran? Dan mengingat paling banyak korban berasal dari dusunnya, Kinahrejo, bukankah ia turut bersalah membiarkan warga berkiblat padanya untuk bertahan? Tapi, Mbah Maridjan pernah berkata bahwa ia hanyalah orang dusun yang tak lulus SD.”Jangan mengikuti saya,” katanya.

Ia tak pernah melarang orang untuk mengungsi. Di situlah ia semakin menarik. Mbah Maridjan harus dibaca sebagai individu yang otonom. Memang kita tak tahu persis apa sesungguhnya tugas seorang juru kunci. Itu bukan jabatan publik yang modern, yang pada akhirnya bertanggung jawab pada masyarakat. Hal itu lebih merupakan jabatan tradisional dengan legitimasi spiritual.

Tradisi Jawa percaya bahwa Gunung Merapi memiliki, bahkan merupakan sumber, kekuatan spiritual. Karena itu, dibutuhkan semacam juru yang memantau, merawat dan berkomunikasi dengan gunung itu. Legitimasi Mbah Maridjan bukan berasal dari rakyat lewat sebuah pemilihan. Legitimasinya dari Sultan.

Mbah Maridjan tidak makan pajak rakyat, dan jangan-jangan juga tidak makan apapun dari Kesultanan. Ia barangkali melapor pada Kesultanan, seandainya diminta. Tapi ia tak pernah harus melapor pada rakyat. Ia sesungguhnya tak pernah harus menjadi tokoh panutan. Ketetapan hatinya untuk tinggal di desanya tak boleh dibaca sebagai pembatalan pengumuman keadaan berbahaya.

Sebab, ia adalah orang yang rela menempuh bahaya dari gunung yang dicintainya. Dalam hal ini ia seorang individu, otonom, dan menempuh jalan sepi. Setidaknya, ia merupakan seorang tokoh dalam sebuah sistem yang berbeda. Bukan sistem demokrasi modern kita.

Sebaliknya, Marzuki Alie adalah tokoh dari sistem demokrasi modern kita. Ia dipilih lewat pemilu, digaji dengan pajak rakyat. Komentarnya terhadap bencana tsunami di Mentawai menunjukkan tipe pandangan manusia modern yang tidak bermutu, yang tak seharusnya duduk di kursi Ketua DPR.

Diberitakan ia mengatakan bahwa salah penduduk Mentawai untuk hidup terlalu dekat dengan laut di pulau kecil. Kalau tak ingin menghadapi risiko, sebaiknya pindah. Ini pandangan yang melihat bencana sebagai kesialan, padahal tujuan manusia (modern-pragmatis) adalah mencari selamat, jika bukan cari untung.

Sebagai wakil rakyat, ia tidak berhak menyalahkan korban, sebab ia tak pernah lahir di wilayah serupa dan harus tinggal di sana. Ia tidak boleh menyalahkan korban sebab ia adalah pejabat negara dan negara hanya punya tugas menyelenggarakan kesejahteraan warga –termasuk ketika terjadi bencana.(*)

Sumber: AYU UTAMI (utami.ayu@gmail.com), 30 Oktober 2010

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...