Jumat, 21 Januari 2011

Rekayasa Perubahan ala Tuhan

Ketika Tuhan mulai bosan melihat kezaliman Namruz dan kebodohan rakyatnya, Ia memutuskan untuk menciptakan perubahan melalui seorang rasul-Nya. Dengan alasan yang tidak dijelaskan, Tuhan memilih keluarga pencipta berhala untuk menjadi rumah tempat terlahirnya seorang calon pembaharu, penggerak aksi antiberhala.

Sang terpilih butuh pendidikan dan pembinaan mental sejak dini. Ia tak boleh terkontaminasi oleh mental penyembah berhala sehingga haram diasuh oleh orangtua dan lingkungan masyarakatnya sendiri. Untuk itu, ia dipisahkan dari orangtua dan keluarganya bahkan sejak bayi. Ia tumbuh di sebuah gua dalam lindungan Kasih dan dirawat langsung oleh Tuhan. Tak perlu kita bayangkan bagaimana derita Ibrahim kecil tumbuh sebatang kara. Kelak, posisinya sebagai putra seorang spesialis pencipta tuhan, ternyata sangat ampuh untuk membangkitkan kesadaran umatnya akan ketidakberdayaan tuhan-tuhan mereka, yang diciptakan oleh sang ayah, lalu kemudian dihancurkan oleh sang Nabi. Pembelajaran paling penting yang disajikan Tuhan dalam penggalan kisah ini adalah: bahkan Dia Yang Maha pun tidak menciptakan pemimpin dan perubahan secara instan. Ada proses dialektika di sana.

Selanjutnya, Yusuf adalah putra seorang rasul yang sukses, namun gagal sebagai ayah. Tapi, setidaknya, Ya’kub sudah lebih baik ketimbang Nuh yang gagal total sebagai kepala keluarga dan juga Luth yang gagal total dalam peran sebagai suami. Penyebab kegagalan Ya’kub adalah ketidakmampuannya me-manage keluarga poligamis dengan banyak anak. Dalam keluarga di mana Yusuf kecil sangat inferior, pendidikan karakternya sebagai calon pemimpin, terancam.

Maka mudah dimengerti mengapa Tuhan seakan tak peduli dan malah membiarkan Yusuf dibuang dari keluarga itu oleh kakak-kakaknya. Tuhan hanya campur tangan dalam memastikan keselamatan Yusuf kecil yang kemudian dititipkan kepada keluarga pembesar Mesir. Di sana Yusuf tumbuh menjadi seorang pemuda yang rupawan.

Selintas lalu, dapat dikatakan bahwa wajah nan rupawan sama sekali tak membantu Yusuf muda dalam berkarir. Kelebihan itu justru menjadi sumber masalah berat baginya. Namun, ternyata itu adalah anugerah tersendiri. Dengannya ia diuji tentang amanah, dan Yusuf, dengan dibantu pertanda dari Tuhan, berhasil istiqamah. Keberhasilan yang dengan sendirinya mempopulerkan karakter amanah ini, tanpa harus repot-repot kampanye di sana-sini. Pada waktunya, tanpa beban Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara. Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Sebelum menjadi pejabat negara, Yusuf terlebih dahulu dididik khusus di sebuah pesantren bernama penjara, di mana ia dapat mendengar dan merasakan langsung semua masalah, termasuk penegakan hukum, dari dan bersama rakyat.

Sekarang mari kita menjenguk Musa. Tidak ada masyarakat yang lebih sakit daripada masyarakat Fir’aun. Satu masyarakat yang sama sekali tak menghargai perlawanan sehingga sang raja tiran sampai berani mengangkat dirinya menjadi tuhan. Dalam masyarakat seperti ini, mustahil lahir seorang pemimpin, apalagi pembaharu. Namun, ternyata, di tengah-tengah masyarakat itulah Musa dilahirkan.

Tuhan yang memilih Musa tidak tinggal diam. Musa butuh figur teladan. Ia harus belajar tentang kepemimpinan dan keberanian, di samping harus belajar tentang idealisme dan nilai-nilai moral. Untuk itu, ia dititipkan di istana, belajar dan tumbuh di sana dengan sang raja serta permaisuri sebagai guru sekaligus orangtuanya. Dari sang raja ia belajar keberanian dan kepemimpinan, sedangkan dari permaisuri ia belajar akidah dan akhlak. Tak mengejutkan jika kelak ia menjadi seorang pemberani melebihi Fir’aun sendiri, namun menggunakan keberaniannya justru untuk melawan.

Sementara itu, Harun dibiarkan tumbuh di tengah-tengah rakyatnya. Di sanalah ia mengembangkan keterampilan berkomunikasi untuk mengerti dan dimengerti rakyatnya. Kelak, bersama Musa, mereka adalah duet maut yang menghancurkan Fir’aun.

Walau berduet, tak berarti posisi mereka sejajar. Musa lebih mendominasi. Terbukti, hanya ditinggal beberapa waktu oleh Musa ke Tursina, sebagian kaumnya malah berpaling menyembah berhala tanpa Harun sanggup mencegahnya. Sebuah pembelajaran bahwa tak semua muballigh sanggup menjadi amir, begitu juga sebaliknya. Bahkan, dalam situasi “normal” kedua peran tersebut sebaiknya dimainkan oleh orang yang berbeda.

Peristiwa itu juga membuktikan, betapa akutnya penyakit kaum Musa-Harun.

Singkat cerita, mereka akhirnya menggulingkan Fir’aun. Tapi, menghancurkan rezim otoriter adalah satu hal, sedangkan membangun masyarakat baru adalah hal lain. Sayang sekali, kita tidak memperoleh informasi bagaimana Musa-Harun membangun masyarakat baru pascakeruntuhan rezim Fir’aun. Ada baiknya sejenak mampir menengok Yunus.

Yunus adalah pemuda yang menyerah, putus asa dan frustrasi. Ia memilih melarikan diri dari rakyatnya dan melupakan bahwa dirinya adalah sang terpilih. Kembali Tuhan tak tinggal diam. Yunus diberi terapi ampuh. Dipaksa bertapa dalam perut hiu berhari-hari sebelum dikembalikan kepada kaumnya. Ia diultimatum, bahwa menempuh dan gagal dengan seratus cara tak berarti ia telah menempuh segala cara. Sebagai pemuda, ia dituntut untuk terus kreatif demi menemukan solusi atas segala permasalahan rakyatnya.

Adapun pertanyaan tentang bagaimana membangun masyarakat baru dijawab oleh Muhammad. Tapi bukan tempatnya di sini menguraikannya satu per satu. Di sini kita hanya akan melihat bagaimana Tuhan mempersiapkan dan merekayasa perubahan bahkan dimulai dari kelahiran aktor utama perubahan tersebut. Muhammad dilahirkan dalam keluarga yang bersahaja. Menjadi yatim sejak dalam kandungan dan tak sempat utuh menikmati kasih ibu. Ia kemudian diasuh oleh kakek, dan terakhir oleh pamannya. Seperti Ibrahim, Yusuf dan Musa, ia tak memiliki kesempatan untuk bermanja. Namun itu juga berarti terbebas dari salah asuh. Menumpang hidup bersama pamannya memberinya kesempatan untuk belajar berendah hati. Mendapat teman sepermainan seperti Ali, memberinya pengalaman untuk menjadi Kakak yang harus mengayomi adik yang bukan saudara kandung. Pengembaraannya bersama paman dalam berdagang ke pelosok-pelosok jauh memberinya gambaran kehidupan rakyat yang kelak akan dipimpinnya dalam memulai gerakan perubahan terbesar dan tersukses sepanjang sejarah.

***

Dalam konteks kini dan di sini, di tengah banyaknya suara yang mendendangkan lagu perubahan, dan tak kalah banyak suara sumbang putus asa ala Yunus, harus selalu diingat bahwa Sang Maha pun tak menciptakan perubahan dalam sekejap. Tuhan sendiri mempersiapkan segala sesuatunya, paling tidak, 25 tahun sebelum perubahan itu dimulai, dan ketika ia dimulai pun masih banyak tantangan dahsyat yang harus dihadapi oleh para Rasul-Nya sebelum berhasil mewujudkan perubahan itu.

Untuk menuju ke sana, mengingat tak ada lagi Rasul di antara kita, apa boleh buat, kita harus belajar melakukannya sendiri. Ada tiga kemungkinan pilihan: Pertama, dengan asumsi bahwa saat ini kita belum memiliki calon-calon aktor mumpuni untuk menggerakkan perubahan itu, maka kita dapat mulai “menciptakan”-nya sejak sekarang. Mendidik anak-anak kita semaksimal mungkin agar kelak dapat menjadi agen perubahan yang sesungguhnya sudah sangat mendesak itu. Kedua, marilah kita berharap saat ini sebenarnya sudah tersedia banyak calon, namun kita masih sial saja sehingga belum dapat menemukannya. Mungkin juga mereka masih terlalu lebay seperti Yunus sehingga perlu digertak jiwanya dengan “hiu”. Untuk kemungkinan kedua ini, kita tinggal menemukan dan menyadarkannya saja, untuk berjamaah meluruskan dan merapatkan barisan. Mereka dapat saja ter/ber-sembunyi di gua Ibrahim, dalam penjara Yusuf, di gubuk Muhammad, atau bahkan dalam istana Fir’aun. Ketiga, menyadari bahwa sesungguhnya setiap kita dapat menjadi aktor itu. Jika semua orang menunggu pahlawan, siapa yang akan memilih menjadi pahlawan? Bukankah seharusnya kita semua dapat menjadi pahlawan, paling tidak, untuk diri kita sendiri? Tidak ada cara yang lebih mudah selain memulai dari diri sendiri! Tuhan menutup kerasulan karena menganggap kita sudah mampu untuk memulai sendiri!

Terakhir, dalam setiap langkah, kita harus senantiasa melakukan evaluasi diri: sejauh apa kita telah melangkah, di mana posisi kita saat ini, dan tempat seperti apa yang kita tuju, untuk menentukan arah yang harus ditempuh.

Kompas secanggih apapun akan menjadi sia-sia, jika kita tak tahu di mana kita berada kini.

=========================

Jika bukan kebenaran, semoga ini kebetulan.

Muhammad Abid

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...