Minggu, 16 Januari 2011

WikiLeaks, Korupsi, Nepotisme dan Tumbangnya Rezim

Tanggal 6 Desember 2010, al-Akhbar, koran Lebanon, mewartakan bocoran WikiLeaks soal rekomendasi Kedutaan Besar AS di Tunisia perihal masa depan pemerintahan Presiden Zine el Abidine Ben Ali.

Laporan itu menyebutkan bahwa korupsi, nepotisme, pengangguran dan kebencian terhadap istri Presiden Tunisia telah meluas dan mendidihkan amarah rakyat Tunisia.

"Presiden Ben Ali telah kehilangan sentuhan kepada rakyatnya," tulis Dubes AS Robert Godec dalam laporannya ke Gedung Putih pada Juli 2009.

Godec melanjutkan, "Korupsi memuncak di lingkaran terdalam kekuasaan. Rakyat Tunisia kian membenci Ibu Negara Leila Trabelsi. Oposisi mengolok-oloknya, bahkan mereka yang dekat dengan pemerintahan risau oleh tingkah lakunya. Sementara, amarah memuncak di Tunisia karena tingginya pengangguran dan ketidakadilan. Akibatnya, risiko terhadap stabilitas jangka panjang rezim, meningkat."

Banyak warga Tunisia membaca versi online koran itu. Rakyat Tunisia menjadi tahu bahwa AS yang sekutu Ben Ali tak lagi menyukai sang presiden. Ini menguatkan mereka untuk bergerak karena mengetahui rezim sudah kehilangan dukungan dari sekutu globalnya sendiri.

Rakyat Tunisia sendiri --khususnya kaum terpelajar-- sudah lama tersiksa oleh sulitnya mencari pekerjaan, naiknya harga sembako dan BBM, semakin represifnya rezim, korupsi dan nepotisme yang vulgar.

Laman al-Akhbar lalu diblokir. Para aktivis jejaring sosial diawasi, sementara blogger-blogger ditangkapi. Langkah ini malah membuat pembangkangan sipil menjadi-jadi, terutama setelah peristiwa 17 Desember 2010.

Tanggal itu, Mohammed Bouzazi, seorang sarjana yang menganggur, menembak diri saat digaruk aparat karena berjualan sayuran tanpa izin di trotoar jalan di kota Sidi Bouzid.

Tragedi ini memicu demonstrasi besar di kota termiskin Tunisia tersebut. Lalu menyebar ke seantero Tunisia, sampai akhirnya tiba di Tunis, ibukota Tunisia.

Sebenarnya Ben Ali berhasil membangun perekonomian negara berpenduduk 10 juta orang itu sehingga menjadi contoh sukses di Afrika Utara, namun pengangguran yang belakangan mencapai 14 persen membuat posisinya tak lagi aman.

Tak hanya itu, menurut Frederic Volpi yang adalah spesialis Tunisia dari Universitas St. Andrews, Ben Ali telah berbuat lalim karena acap memenjarakan dan mengasingkan penentangnya.

Dia juga memusatkan kekuasaannya pada segelintir keluarga. Nepotisme begitu akut terjadi, terutama oleh perilaku Ibu Negara Leila yang serakah mengisi posisi-posisi penting di negeri itu dengan sanak familinya sendiri.

Kabur

Ben Ali berkuasa lewat kudeta berdarah 22 tahun lalu terhadap presiden seumur hidup Habib Bourguiba, sang pendiri Tunisia modern yang merdeka dari Prancis pada 1956.

Ben Ali berjanji membentuk pemerintahan yang benar-benar demokratis, namun beberapa waktu kemudian dia malah menutup keran reformasi politik dengan melarang partai oposisi. Amnesti Internasional menyebutnya kerap menyiksa penentangnya, sementara Reporters Without Borders menyebutnya predator pers.

Dia konsisten memenangkan pemilu dan pada 2009 dia dipilih kembali untuk kelima kalinya. Dia mengancam menjebloskan siapapun yang mempertanyakan kejujuran pemilu.

Namun faktor terkuat yang membuat rakyat turun ke jalan adalah pengangguran, lonjakan harga, dan tindakan berlebihan aparat keamanan. Ben Ali membantah semua tuduhan itu, dan malah menyebut demonstran sebagai teroris penghasut rakyat.

Dia lalu menutup sekolah dan universitas agar pemuda tidak turun ke jalan, tapi tindakannya itu malah membuat dunia curiga, termasuk AS.

Pada 12 Januari, menteri dalam negeri dipecat dan semua tahanan pascakerusuhan beberapa waktu lalu dibebaskan. Ben Ali juga membentuk komisi khusus penyelidik korupsi, sembari berjanji membuka 300.000 lapangan kerja baru.

Sehari kemudian, kerusuhan sampai di ibukota Tunis. Janji-janji kian diobral. Ben Ali berjanji menurunkan harga, menjamin kebebasan pers dan internet, demokratisasi dan pluralisme, bahkan amandemen UUD sehingga dia tak lagi bisa berkuasa pada 2014.

Hari berikutnya, Ben Ali membubarkan kabinet dan berjanji menggelar pemilu parlemen enam bulan nanti.

Rakyat kadung tak mempercayainya, mereka ingin Ben Ali turun. Akhirnya Ben Ali mengundurkan diri dan menunjuk PM Mohamed Ghannouchi untuk mengambil alih kekuasaan. Ben Ali, bersama semua kerabat, lalu kabur ke Arab Saudi.

Cemas

Gejolak Tunisia itu diikuti dengan perasaan cemas oleh para penguasa Arab lainnya, apalagi inilah kali pertama seorang penguasa Arab dijatuhkan oleh kekuatan rakyat.

Aljazair yang bertetangga dengan Tunisia, juga sempat bergolak, sementara demonstrasi nasional menentang kenaikan harga digelar pada 14 Januari di Yordania.

Para pengamat percaya gelombang protes di dunia Arab belakangan ini adalah bentuk baru perlawanan terhadap otoriterisme. Lamis Andoni, analis asal Yordania, menyebutnya "kelahiran kembali aktivisme Arab".

Andoni menengarai kemiskinan, pengangguran, dan represi politik sebagai akar muasal gerakan, dan ketiganya umum dirasakan masyarakat Arab.

"Warga Arab memahami perasaan kaum muda Tunisia karena masalah yang dihadapi pemuda Tunisia --pengangguran, otokrasi, dan pengebirian HAM-- adalah juga masalah mereka," tulis BBC.

Kolumnis Satei Noureddin dari Harian Assafir Lebanon yakin demonstrasi di Tunisia dan Aljazair akan menular ke Lebanon, Mesir, Suriah, dan Sudan yang juga menghadapi masalah serupa dengan Tunisia.

"Kemarin Tunisia, sekarang Aljazair dan Yordania, sisanya menyusul nanti," seru para aktivis HAM di Arab.

Sementara seorang komentator Mesir memposting pesan di Twitter, "Para pemimpin Arab melihat Tunisia dengan ketakutan. Rakyat Arab melihat Tunisia dengan harapan dan solidaritas."

Ya, dunia Arab terinspirasi Tunisia, sampai-sampai beranda Facebook dan blog-blog di seantero Arab tiba-tiba dihiasi bendera Tunisia. Di Facebook dan Twitter masyarakat menyebut gerakan di Tunisia sebagai `perlawanan melati` dan `intifida kaum muda`. Internet dibanjiri ribuan pesan selamat dari dunia Arab untuk Tunisia.

Para pemuda Tunisia membalas apresiasi rekan-rekan Arabnya itu. "Insyaallah kebebasan menjadi milik kita dari Samudera (Atlantik) sampai Teluk (Arab)," kata seorang aktivis Tunisia di Twitternya.

Sebaliknya, para penguasa Arab semakin cemas. Salah satu yang ditengarai cemas adalah Presiden Mesir Hosni Mubarak. Seperti Ben Ali, Mubarak sangat keras terhadap oposisi, terutama oposisi Islam. Mereka berdua juga mencoba untuk terus berkuasa.

Di Mesir, para aktivis berdemonstrasi di Kedutaan Besar Tunisia di Kairo dan berseru, "Ben Ali, kabari Mubarak bahwa sebuah pesawat tengah menunggunya juga!"

Banyak kalangan yakin jika Mubarak kukuh meneruskan ambisinya, maka dia bakal bernasib sama dengan Ben Ali, apalagi AS yang merupakan sekutu dekat Mubarak enggan lagi menggandeng para diktator. Sikap ini ditegaskan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton lewat kritik tajamnya terhadap para pemimpin otoriter Arab.

"Rakyat sudah jenuh dengan institusi-institusi korup dan tatanan politik yang stagnan," kata Clinton. Jarang sekali pejabat AS mengkritik sekutunya sendiri. (*)

Jafar M. Sidik

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...