Oleh Budhy Munawar Rachman
"Ia datang bagai mutiara peradaban" begitulah pamflet dari penerbit Mizan Bandung, menyambut kedatangan Prof Annemarie Schimmel. Dalam ceramah umumnya di Perpustakaan Nasional 25 Februari 2000, yang bertemakan "Tasawuf dan Relevansinya untuk Dunia Modern" hadir lebih dari 600-an orang, yang membuat auditorium Perpustakaan Nasional yang besar itu pun menjadi pengap. Bayangkan, sebuah acara ceramah ilmiah keagamaan dihadiri oleh begitu banyak peminat yang bersemangat!
Melihat perkembangan Islam di Indonesia sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf --di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Media massa sering memberitakan laporan yang aneh-aneh mengenai kajian-kajian tasawuf itu, misalnya kita baca ada kursus Sufi Dancing, ada spiritual gathering mengenai masalah kematian dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan, di sebuah TV bahkan muncul acara dengan rubrik tasawuf. Walhasil, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif fenomena keagamaan dewasa ini.
Keberagamaan sufistik: pengalaman mistik
Tasawuf adalah segi batin dari agama. Segi lahirnya biasanya disebut syari'ah, yang terutama berisi hukum-hukum keagamaan formal, mengenai apa yang seorang beragama harus lakukan, dan apa yang dilarang. Tasawuf di samping memberi segi batin dari aspek formal keagamaan itu, juga memberi visi mengenai arti hidup beragama. Ibn al-Arabi seorang filsuf mistik paling terkemuka, membagi empat tingkat praktik dalam memahami tasawuf, yaitu (1) syari'ah (segi esoterik hukum-hukum agama), (2) thariqah (sebagai jalan mistik), (3) haqiqah (mengenai kebenaran), dan (4) ma'rifah (gnosis, pengalaman kesatuan dengan Yang Ilahi).
Keempat tingkat itu dirumuskan: pada tingkat hukum (syari'ah) ada kesadaran "milikmu dan milikku", di mana hukum-hukum agama akan mengatur hak dan kewajiban antarpribadi, seperti penataan hubungan di antara orang-orang. Dalam tingkat jalan Sufi (thariqah), rumusannya menjadi "milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikku", karena itu para Sufi diajarkan mengenal sesama Sufi sebagai saudara, untuk membuka diri masing-masing, membuka hati, termasuk derma untuk sesama dan perkembangan Sufi. Pada tingkat kebenaran (haqiqah), ada pengalaman baru "tidak ada milikku, dan tidak ada milikmu". Pada tingkat ini ada minimalisasi atas egosentrisme, dan mereka "dari luar masuk ke dalam mencari pengalaman batiniah yang paling asli (fithrah, primordial). Dan, yang keempat adalah pada tingkat gnosis (ma'rifah) ketika yang ada "tak ada saya, dan tak ada Anda", yang ada hanya Allah. Seorang Sufi akan merealisasi pengalaman bahwa yang ada seluruhnya adalah Allah, dan tidak ada satu pun yang terpisah dari Allah: Sebuah pengalaman mistik yang sekarang sering disebut "panenteisme," yang populer dalam tasawuf dengan wahdat al-wujud (kesatuan keberadaan). Keempat tingkat ini adalah perjalanan, dan menjadi tujuan Sufisme, di mana pengalaman sebelumnya mendasari pengalaman selanjutnya.
Maka tidak heran dalam keberagamaan tasawuf ini, pengertian yang mendalam mengenai "jalan hati" (the path of heart) - yang tidak lain adalah "jalan kepada cinta", (the path to love) - mendapat perhatian, sehingga segi-segi psikologi-spiritual menjadi begitu penting dalam jalan ini, khususnya dalam mencapai tingkat kedirian (nafs) yang dari sini kita bisa sampai pada pengalaman kesatuan dengan yang Ilahi itu (yang disebut ihsan, yaitu "seolah-olah kita melihat Tuhan, kalaupun tidak, kita tahu bahwa Tuhan melihat kita").
Tujuan jalan hati dan cinta adalah untuk mencapai "gunung dari cahaya gnosis dalam hati yang terdalam". Sabistari, seorang penyair Sufi mengatakan, "Kalau kita bisa membelah setetes air (memasuki hati kita), kita akan mendapatkan tujuh samudera (pengalaman menyatu dengan Yang Ilahi). Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Lewat jalan hati dan cinta ini manusia pun menemukan kembali Dirinya yang Sejati. Kerinduan pada Diri yang Sejati ini (jiwa yang penuh ketenangan, al-nafs al-muthmai'nnah) menjadi cita-cita kaum Sufi.
Tasawuf positif dan dialog kemanusiaan
Untuk memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Inilah yang disebut "tasawuf positif", sebuah tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan "kebutuhan akan Etika global" tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan passing over ke arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan perspektif rohani.
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini "tasawuf antar-agama") memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian Conspiracy (konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di awal milenium.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan mengenai healthy-spirituality memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman "keberagamaan yang sakit" yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi al-su' (nafsu yang mendorong kepada keburukan, QS. 12:53).
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi - segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani: tasawuf memberikan visi keruhanian untuk kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!
Tasawuf tanpa substansi
Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini memang kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik ini "demam tasawuf" yang sedang melanda masyarakat Islam ini begitu mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. Seperti kita tahu, Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan individual begitu menonjol. Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan begitu mencolok.
Nah, kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini. Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan formal, lantas apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf mudah-mudahan tidak hanya merupakan kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam lautan: tidak bermakna apa-apa secara sosial!
Maka kita berharap demam tasawuf ini, tidak merupakan langkah mundur dalam beragama, tetapi merupakan awal dari perkembangan Islam di Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan kehidupan keagamaan yang lebih terbuka, inklusif-pluralis, yang memberi rahmat kepada semua orang. Demam tasawuf semoga merupakan salah satu pertanda dari tumbuhnya kesadaran baru dalam mencari sumbangan agama-agama terhadap tantangan etika global di atas. Namun itu semua tergantung dari kemampuan kita dalam menyajikan tasawuf yang positif, bukan yang eksesif!
*) Budhy Munawar-Rachman, manajer program studi Islam pada Yayasan Paramadina / pengajar filsafat pada Universitas Paramadina Mulya.
http://www.media.isnet.org/
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar