Membeli layanan seks juga tak hanya merugikan keluarga si pelaku saja, tetapi juga melestarikan praktik perdagangan perempuan domestik dan internasional, perbudakan seks, dan penindasan anak, demikian salah satu kesimpulan Nori Andriyani dalam bukunya, Jakarta Uncovered: Membongkar Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru.
Sayangnya, masyarakat melakukan pembiaran terhadap bisnis layanan seks ini, dikarenakan pernyataan seperti, "Prostitusi adalah bisnis tertua di dunia", atau "Prostitusi adalah pekerjaan tertua di dunia". Pernyataan ini menguatkan pandangan bahwa membeli layanan seks adalah sesuatu yang lumrah, sesuatu yang tidak bisa diubah karena sudah ada sejak ribuan tahun, dan akhirnya diterima sebagai kenyataan hidup.
Dan, jangan terkejut, berbagai bentuk pembenaran yang dipakai kaum lelaki ternyata juga didukung oleh kaum perempuan sendiri. Anda tentu sering mendengar pesan yang disampaikan anggota keluarga perempuan yang dituakan seperti, "Enggak usah dipikirin ke mana suami kita pergi, yang penting dia pulang ke rumah". Atau, "Kalau suami kita sudah melangkah keluar dari rumah, istri tidak berhak mempertanyakan ke mana perginya sang suami". Inilah hebatnya ajaran budaya patriarki terhadap kaum perempuannya.
Bisnis layanan seks perempuan tidak seharusnya dibiarkan menjadi langgeng, karena terkait erat dengan masalah trafficking, perbudakan seks, dan konsumerisme. Dari pengalamannya meneliti masalah bisnis layanan seks perempuan, Victor Malarek, wartawan Kanada berdarah Ukraina, menyimpulkan bahwa prostitusi justru merupakan penindasan tertua di dunia (prostitution is the world's oldest oppression).
"Tidak ada kelompok masyarakat yang begitu dikorbankan, terteror, dan tertindas, seperti halnya kaum perempuan dan anak yang terperangkap dalam lingkaran setan prostitusi. Dan yang lebih mencengangkan adalah eksploitasi ini terus menjadi pelanggaran hak asasi manusia yang paling diabaikan di dunia saat ini," papar Malarek dalam bukunya, The Johns - Sex for Sale and the Men Who Buy It (2009), seperti dikutip Nori pada halaman 46 Jakarta Uncovered.
Bisnis layanan seks ini mendorong terjadi dan merebaknya trafficking. Sudah terlalu banyak laporan yang mengaitkan trafficking dengan prostitusi. Yang paling sering terdengar adalah perempuan muda Indonesia yang ditawari pekerjaan bergaji besar di luar negeri, dan ternyata sesampai di negara tujuan dipaksa bekerja memberi layanan seks. Kejahatan ini begitu terorganisasi, dengan menciptakan suatu mekanisme jeratan utang yang umum dipakai untuk mengikat perempuan yang terjebak dalam bisnis seks bayaran.
Bisnis ini juga erat kaitannya dengan perbudakan seks, mengingat para perempuan ini seringkali disekap, dikontrol, dan kemudian dipaksa untuk memberi layanan seks. Bahkan ketika memberikan layanan seks, para perempuan ini harus mau memberikan "servis" yang wujudnya sudah di luar batas perikemanusiaan, karena mengandung unsur dominasi pria dan kekerasan.
Sedangkan hubungan prostitusi dan konsumerisme tak lain adanya iming-iming mengenai gaya hidup yang serbaenak. Sebagai perempuan muda, tak cukup hanya bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga memenuhi kebutuhan fashion dan kecantikan, membeli ponsel terbaru, hingga dugem. Akibatnya, mereka dengan "sukarela" menjual dirinya, tanpa sadar bahwa mereka telah menjadi korban dari sistem kapitalisme yang tanpa disadari telah merasuk dengan budaya konsumerisme.
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar