Minggu, 12 Juni 2011

Bagaimana Membaca Al-Qur'ãn?

Tanya
  1. Tertib urutan surat dan ayat Alquran yang kita baca sekarang ini adalah hasil susunan Muhammad berdasarkan taufik dari Allah. Dan kita membacanya dari Al-Fãtihah–An-Nãs seperti membaca sebuah pembahasan yang melompat dari satu topik ke topik lainnya. Maka kemudian ada yang membacanya dengan pendekatan tematik, ada pula yang membacanya sesuai dengan urutan nuzulnya. Pertanyaan saya: Ada maksud apa kitab Al-Qur’ãn yang ada saat sekarang ini tersusun tidak seperti urutan nuzulnya?
  2. Al-Baqarah ayat 121 mengabarkan bahwa mereka yang diberikan kitab akan membacanya dengan benar. Nah, bagaimanakah membaca kitab dengan benar? Apakah membacanya sesuai dengan urutan turunnya ayat? Membacanya dengan urutan yang diperintahkan Rasul? Membacanya secara tematik? Atau seperti apa?
Jawab

Secara keseluruhan, Al-Qur’ãn adalah sebuah ilmu, atau sebentuk ilmu. Bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai ilmiah, itu sudah, masih, dan akan bisa terus dibuktikan. Banyak orang sudah menemukan pembuktian-pembuktian itu lewat berbagai disiplin (bidang) keilmuan. Anda bisa membaca banyak buku tentang itu, bahkan sekarang Anda bisa menemukan banyak sekali tulisan tentang itu di internet. Sebut saja tulisan-tulisan Harun Yahya, Zakir Naik, Maurice Bucaille, dan lain-lain.

Nilai keilmuan Al-Qur’ãn tidak hanya mencakup bidang sains, tapi juga filsafat. Al-Qur’ãn mengajarkan cara pandang dunia (word-view), konsep kebudayaan atau peradaban, sampai konsep kepribadian (akhlak). Bahkan yang belakangan ini lebih penting dari yang pertama, karena ini merupakan tujuan dari pengajaran Al-Qur’ãn; sedangkan yang pertama (segi yang bersinggungan dengan sains) hanya ibarat ‘sampiran’ dalam pantun, yang berfungsi menguatkan pesan inti yang hendak disampaikan (yang berbau filsafat dan peradaban).

Tapi dari segi teknik atau cara, atau tepatnya seni penguraian pesan, Al-Qur’ãn mempunyai cara atau gaya yang berbeda dari buku-buku ilmiah karangan manusia. Itu sebabnya, orang yang terbiasa membaca buku-buku ilmiah karangan manusia, pada umumnya merasa heran mendapati susunan mushhaf dan gaya bahasa Al-Qur’ãn.

Dari segi gaya bahasa atau uslub-nya, bahasa Al-Qur’ãn itu sangat kental warna sastranya, sangat kentara unsur puisinya, sangat jelas konsistensinya dalam menonjolkan ciri sajak (persamaan atau persesuaian bunyi) pada setiap akhir kalimat dan ayat. (Segi inilah yang paling sulit dimunculkan dalam terjemahan; sehingga usaha HB Yassin untuk membuat terjemahan Al-Qur’ãn yang puitis boleh dikatakan gagal total).

Sebagai ilmu, Al-Qur’ãn dirancang untuk dijadikan pedoman hidup manusia. Karena itu, selain ada nilai saintis dan filosofis, jelas mengandung ajaran hidup yang praktis.

Kepraktisan Al-Qur’ãn itu dibuktikan, antara lain, dengan cara pengajarannya yang dilakukan secara cicilan. Ini ada keistimewaannya. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan pragmatis da’wah Nabi Muhammad dan para pendukung awalnya. Di sini kita bisa melihat bagaimana Al-Qur’ãn sebagai sebuah ilmu, sebuah konsep peradaban, masuk ke dalam dimensi sejarah, dihadapkan dengan gejolak psikologis Rasulullah bersama para pengikut awalnya, ditampilkan di tengah situasi sosial dan politik waktu itu. Sebagai apa? Sebagai solusi! Sebagai alternatif! Sebagai jalan keluar dari kemelut.

Pengajaran Al-Qur’ãn dilakukan selama sekitar 23 tahun.

Banyak orang tidak atau kurang peduli bahwa dalam jangka waktu 23 tahun, seiring dengan pengajaran Al-Qur’ãn itu, mengalir sebuah proses da’wah yang dampaknya – secara sosial dan politik – tidak hanya bersifat lokal, tapi juga internasional. Dari proses pengajaran dan da’wah Al-Qur’ãn – yang tidak ringan itu – lahir sebuah agama dunia yang baru. Islam.

Kemudian, setelah selesai diajarkan – dan diterapkan secara pragmatis (memenuhi kebutuhan zaman dengan segala situasi dan kondisinya), Al-Qur’ãn akhirnya disusun menjadi sebuah buku. Bagaimana cara penyusunannya, tidak perlu dijelaskan di sini, karena penjelasan tentang itu juga sudah dilakukan banyak orang. Di sini cuma hendak dikatakan bahwa penyusunan Al-Qur’ãn menjadi sebuah buku seperti yang kita dapati sekarang adalah penegasan bahwa Al-Qur’ãn secara keseluruhan adalah sebuah ilmu.

Sebuah ilmu disusun (dituturkan dan atau ditulis) berdasar tertib (susunan; rangkaian) tertentu. Yaitu dimulai dengan Pembukaan, disusul Uraian, ditutup Simpulan. Begitulah kenyataannya. Al-Qur’ãn dibukukan dengan surat Al-Fãtihah (pembuka!) diletakkan di urutan pertama. Setelah itu diletakkan surat-surat panjang (sebagai uraian), dan kemudian diakhiri dengan surat-surat pendek (sebagai simpulan). Diakui atau tidak, disukai atau tidak, itulah kenyataan susunan buku (mushhaf) Al-Qur’ãn. Sebuah susunan yang memenuhi persyaratan ilmiah.

Tapi, itu kan sistematik globalnya! Detailnya, ternyata susunan topik-topik Al-Qur’ãn itu kok melompat-lompat? Kok acak-acakan?

Itulah penilaian dari pihak yang menilai atau mengukur susunan Al-Qur’ãn dengan pengalaman membaca buku-buku yang beredar di pasar dan diajarkan di sekolah-sekolah. Mungkin belum banyak (sudah ada?) sekolah tinggi atau pun pesantren yang pernah menjelaskan bahwa di balik susunan Al-Qur’ãn yang “melompat-lompat dan kacau” itu terkandung sebuah rahasia tertentu, yang menunjukkan bahwa Al-Qur’ãn memang berbeda dari buku-buku karangan manusia. Dan perbedaan itu justru menunjukkan keistimewaannya. Untuk penjelasan yang lebih membumi, namun, tentu saja panjang, silakan Anda baca buku "Membumikan" Al-Quran karya Muhammad Quraish Shihab.

Kalau begitu, bagaimanakah cara membaca Al-Qur’ãn?

Al-Baqarah ayat 121 mengabarkan bahwa mereka yang diberikan kitab akan membacanya dengan benar. Nah, bagaimanakah membaca kitab dengan benar? Apakah membacanya sesuai dengan urutan turunnya ayat? Membacanya dengan urutan yang diperintahkan Rasul? Membacanya secara tematik? Atau seperti apa?

Al-Qur’ãn dianugerahkan Allah sebagai teman hidup para Mu’min, yang akan selalu membacanya berulang-ulang, seumur hidupnya. Semakin sering membacanya, seorang Mu’min akan semakin akrab dengannya, semakin mengetahui dan memahami seluk-beluknya.

Bila yang dimaksud adalah membaca Al-Qur’ãn sebagai ilmu, perlakukan dia sebagai ilmu. Yaitu bahwa di dalamnya ada pendahuluan, uraian, simpulan. Itu yang pertama.

Yang kedua, Al-Qur’ãn per surat juga mempunyai susunan yang sama. Ada ayat-ayat yang merupakan pendahuluan (berisi gagasan inti), uraian, dan simpulan.

Ketiga, bila mengacu pada surat Al-Muzzammil, membaca Al-Qur’ãn bisa dilakukan mulai dari yang mudah (menurut ukuran pembacanya).

Keempat, ada dalil yang mengatakan bahwa sebagian (ayat, surat) dengan bagian yang lain saling menafsirkan (innal-Qur’ãna yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Dalil ini memang benar; dalam arti banyak istilah-istilah di dalam Al-Qur’ãn dijelaskan oleh Al-Qur’ãn sendiri. Misalnya istilah al-muttaqîn, dijelaskan dalam rangkaian ayat-ayat (surat Al-Baqarah) yang menyebut istilah itu. Ada pula istilah-istilah yang penjelasannya ditemukan secara terpisah di tempat-tempat yang jauh.

Kelima, membacanya secara tematis sangat bagus untuk mencari penjelasan Al-Qur’ãn tentang tema-tema tertentu.

Demikian penjelasan sementara, yang mungkin masih ada kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...