Sudah seminggu ini eyang putri bertingkah aneh. Eyang jadi suka berdiri di depan kaca, sebentar-sebentar melihat kaca atau membetulkan penampilannya. Entah itu sanggul, jarit, ataupun kebaya. Bahkan yang membuat kami sekeluarga lebih heran lagi, eyang putri sepertinya sedang hobi merias wajah.
Beberapa hari yang lalu, eyang minta dibelikan kosmetik lengkap buatan luar negeri. Kata eyang, kualitas dalam negeri sekarang tidak sebagus dulu. Sungguh ucapan yang tak terduga melihat biasanya eyang sangat bangga dengan produk dalam negeri.
Eyang putri adalah putri tunggal tuan tanah zaman Belanda dulu. Keempat kakak laki-lakinya terpaut umur yang jauh dari eyang putri. Tak heran, mulai kecil eyang selalu bergelimang kasih sayang dan harta. Beranjak dewasa, eyang yang berpendidikan dan mempunyai wajah yang cantik menjadi laris.
Banyak lelaki yang ingin melamarnya. Mulai pemuda bau kencur, lelaki paruh baya, kakek-kakek tuan tanah, bahkan orang-orang Belanda. Mengingat, zaman itu jarang sekali ada seorang wanita yang cantik, kaya, berpendidikan pula. Mau tak mau, ayah eyang beserta keempat kakak laki-lakinya bersikap protektif terhadap eyang.
Ke mana pun eyang pergi, baik ke sekolah, jalan bersama teman, atau hanya sekadar ke perpustakaan, beliau selalu diikuti para pengawal yang disuruh ayah eyang untuk menjaga. Perang pun usai. Belanda yang kalah harus meninggalkan Indonesia.
Begitu pula teman-teman Belanda eyang putri, juga kekasihnya. Setahun belakangan, eyang putri memang menjalin cinta dengan orang Belanda tanpa sepengetahuan ayahnya.
Meski sang ayah memperbolehkan eyang bergaul dengan orang Belanda, tapi pasti tidak memperbolehkan menjalin cinta. Kisah asmara eyang dengan orang Belanda itu berusaha di tutup-tutupi Minto, salah satu pengawalnya. Minto yang diam-diam mencintai eyang tidak melaporkannya kepada ayah eyang. Sebab, Minto melihat eyang begitu bahagia bila bersama pria Belanda itu.
Ia sungguh tak mau melihat eyang putri sedih bila hal ini ketahuan ayah eyang. Hari melepas kepergian teman-temannya beserta kekasihnya tiba. Di dermaga, eyang putri berusaha tegar dan tersenyum saat teman-teman dan kekasihnya itu melambai-lambai kepadanya. Mereka berjanji akan segera menghubunginya begitu tiba di Belanda.
Tiga bulan berlalu…
Negara pun sedikit demi sedikit mulai bangkit. Kehidupan eyang berjalan seperti biasa. Ke sekolah, kursus, bergaul dengan teman, dan sebagainya. Ayah eyang sudah pindah haluan dari tuan tanah menjadi pedagang besar. Beliau sering berlayar, baik itu ke luar negeri maupun hanya antar pulau, untuk mengurus bisnisnya. Terlebih, sebulan setelah perang usai, istrinya meninggal karena sakit.
Keempat kakak laki-lakinya pun sudah menikah dan punya kehidupan sendiri. Hanya surat-surat dari teman-teman Belanda eyang yang menjadi hiburan eyang. Surat-surat itu datang silih berganti. Termasuk, surat dari kekasih eyang, meski jarang-jarang datang.
Tiba-tiba, minggu ini, eyang putri merasa mudah lelah. Di pagi hari, eyang juga merasa mual disertai muntah-muntah. Eyang mengira hanya masuk angin biasa. Eyang juga menjadi suka makan mangga muda serta makanan-makanan yang harus segera dituruti bila ingin. Perilaku itu membuat seluruh orang rumah repot. Menstruasinya pun terlambat. Eyang menjadi takut. Eyang mencari tahu tentang penyakitnya. Ia berusaha meyakinkan diri kalau dugaannya salah.
Tapi, kali ini, kenyataan berlainan. Dugaan eyang kalau dirinya hamil benar. Rupanya, pesta perpisahan 3 bulan lalu kelewat batas. Eyang dan kekasihnya melakukan hal yang tidak semestinya. Eyang putri takut menceritakan hal ini, bahkan ke teman baiknya pun tidak.
Perubahan sikap eyang putri menarik perhatian Minto. la berusaha mencari tahu hingga ayah eyang tiba-tiba pulang dari berlayarnya, lebih cepat satu bulan dari yang dikatakan ayah eyang dalam surat terakhir.
Tanpa diketahui eyang, ayah eyang pulang dengan kemarahan yang puncak. Begitu tiba, eyang dan Minto dipanggil beliau ke ruang kerjanya. Kerah baju Minto di cengkeramnya kuat. Tubuh kecil Minto pun terangkat beberapa senti dari ubin. Sore itu, Minto dihajar habis-habisan oleh ayah eyang hingga babak belur, tanpa perlawanan.
Eyang yang tak tahu ayah eyang marah karena apa hanya menangis sesunggukan di sudut ruangan. "Saya akan bertanggung jawab, izinkan saya menikahinya, Tuan!!!" teriak Minto dengan sisa tenaganya. Rupanya, setelah Minto tahu kalau eyang hamil, ia mengirim surat ke ayah eyang. Tapi, yang membuat eyang tak percaya, Minto bertanggung jawab pada hal yang jelas-jelas bukan kesalahannya.
Setahun setelah itu…
Eyang telah menikah dengan Minto, tentu saja dengan restu ayah eyang. Anakku, yakni Dandy (ayahmu), telah lahir dan sedang lucu-lucunya. Ayah eyang memutuskan pensiun untuk bermain dengan cucunya. Minto diserahi ayah eyang bisnisnya, hingga sering sekali ia ke luar negeri.
Sejujurnya, eyang sedikit kecewa dengan Minto. Meski sudah setahun menikah, tak pernah sekalipun Minto menyentuh eyang. Harga diri eyang sedikit tergores. Tapi, bila melihat Minto sayang sekali pada Dandy, luka eyang pun hilang.
Lima tahun kemudian…
Dandy sekarang berumur lima tahun. Kamu tahu nak, apa yang dikatakan ayah eyang sebelum ia meninggal? Ayah eyang meminta eyang…. "…cintailah Minto, Yan… Bapak tahu kalau Dandy itu bukan anak Minto. Tapi, kamu lihat, Minto sangat menyayanginya… Balaslah kebaikan Minto, Yani… Bapak bersyukur menikahkan kamu dengan Minto… Hiduplah bahagia, Suryani…"
Rupanya, ayah eyang sudah tahu sejak lama kalau Dandy bukan anak Minto. Wajah Dandy yang bule dengan rambut pirang serta kulit putih memang beda sekali dengan Minto yang berwajah Jawa, berambut hitam, dan berkulit sawo matang. Kematian ayah eyang membuat eyang terpukul. Sejenak, eyang sempat membenci Dandy. Sebab, mengira, bila tak ada Dandy, mungkin eyang lebih bisa membahagiakan ayah eyang.
Sekali lagi Minto, eyangkungmu, menyadarkan eyang. Sejak saat itu, eyang bertekad mencintainya dan melupakan masa lalu. Eyang akan berusaha hidup bahagia seperti pinta ayah eyang. Doakan eyang ya, nak!!
21 April 1950
Kisah lama terkubur dalam kisah baru yang hendak ditulis Tinta emas telah siap, berharap kisah baru akan membekas.
Buk… Kututup buku harian eyang yang usang termakan waktu pelan. Kuhapus air mata di pipiku. Aku tak ingin terlihat sedih di hadapan eyang. Terlebih, setelah pertanyaanku dijawab. Cara eyang menjawab pertanyaanku sungguh khas, hingga membuat dadaku sesak.
Tiba-tiba, aku teringat ketika aku berumur 5 tahun. Aku selalu bertanya kepada eyang kenapa aku, ayah, dan kakakku berbeda dengan eyang dan lainnya. Kenapa aku berkulit putih, berwajah bule, bermata coklat, dan berambut pirang. Sedang eyang, om, tante, dan sepupu-sepupuku tidak. Bahkan, eyangkung yang tak pernah kulihat karena meninggal sebelum aku lahir juga berbeda dengan aku, ayah, dan kakakku. Sungguh lucu sekali waktu itu.
Pundakku disentuh Ayah, "Maafkan Eyang, Vance… Eyang bermaksud memberitahumu lewat diary-nya saat umurmu 17 tahun… Kami semua dilarang memberitahumu." Lalu, ayah mengambil tanganku dan meletakkan surat di atasnya," dari Eyang, ayah menemukan di meja riasnya."
Vance yang paling eyang sayang…
Rupanya, sudah tiba waktunya eyang memberitahu kamu sebenarnya. Bukan eyang tidak mau beritahu Vance. Tapi, eyang hanya ingin mencari waktu yang tepat supaya kamu tidak terlalu terkejut seperti ayah dan kakak-kakakmu dulu.
Kalau Vance membaca surat ini, berarti Vance sudah baca diary eyang. Gimana menurut Vance? Seperti sinetron ya? Gimana kalau dijual ke produser aja? Nanti, uangnya dibagi-bagi. Hehehe..
Eyang harap Vance mau menerima kesalahan eyang dan tidak menganggap lagi kalau Vance beda sama yang lain. Vance, ayah Vance, dan kakak-kakak selamanya adalah keluarga Suminto Purwodirlo. Oke?
Satu rahasia yang baru eyang ketahui kemarin malam. Saat Eyangkung, Minto, mengurus bisnisnya di Belanda, rupanya, ia juga mencari Dandy Vance, kakek kandungmu. Dandy Vance yang meninggalkan eyang tanpa tahu kalau eyang mengandung itu meninggal 6 bulan setelah meninggalkan Indonesia. Penyakit paru-paru merenggutnya dari dunia ini. Eyangkungmu bertekad tidak memberi tahu eyang. Ia tidak sanggup melihat wajah sedih eyang. Sebagai gantinya, ia memberi tahu ayah eyang. Mereka berdua sepakat akan menyimpan hal itu selamanya.
Tapi, eyangkung berubah pikiran. Ia tak mau membawa rahasia ke alam kubur. Sebelum eyangkung meninggal, ia menulis surat pada eyang tentang semuanya, termasuk tentang cintanya yang terpendam pada eyang. Dalam surat itu, eyangkung menyertakan foto Dandy Vance.
Eyang minta tolong Vance untuk memberi tahu semua tentang ini. Tolong eyang, Vance…Soal sikap eyang yang agak centil seminggu ini, maafkan eyang…Eyang merasa eyangkung berada dekat sekali dengan eyang. Hingga, tanpa sadar, eyang ingin tampil cantik. Maafkan eyang ya, Vance…
Hiduplah bahagia…Semua, hiduplah bahagia…
Nb. Yani sayang, kuharap kamu tak marah nama anak kita yang pertama kuberi Dandy… Aku ingin kamu tidak melupakan Dandy, tapi mengenangnya dengan tersenyum…Bila cucu kita ada yang terlahir berwajah sama dengan Dandy, kuharap kamu mau memberi nama dia Vance. Sebab, bagaimanapun, ia ada darah keluarga Vance…(kutipan surat eyangkung)
Air mata yang dari tadi aku tahan akhirnya menetes juga. Foto Dandy Vance kulihat dengan tangan kiriku. Oh… Eyang, aku tahu akhirnya kenapa namaku Vance. Wajah ayah dan aku bagai pinang dibelah dua dengan Dandy Vance. Rupanya, namaku dan ayah adalah pemberian eyangkung. Baik. Aku nggak akan mengungkit masalah itu lagi. Aku adalah cucu eyang, cucu eyangkung. Eyang…eyang…aku sayang eyang!
"Vance… Vance…," tubuhku diguncang-guncang ayah. "Kamu nggak apa-apa, Vance?" tanya ayah khawatir. Aku menggeleng pelan. "Kalau gitu ayo segera sholati eyang, hari sudah keburu siang," ajak ayah sambil membimbingku berdiri.
Kutatap sekali lagi wajah eyang sebelum perlahan-lahan tertimbun oleh tanah. Eyang, semoga eyang bahagia di sana. Kami di sini juga akan berusaha untuk bahagia.
Sumber: Jawa Pos dotcom
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar