Kebebasan Tanpa Kemerdekaan
Oleh
Airlangga Pribadi
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Koordinator Serikat Dosen Progresif
Di dalam karya terbarunya Negara Paripurna, Yudi Latif dengan tepat menemukan sari warisan terbaik dari para pendiri bangsa: politik harapan bukan politik ketakutan. Republik yang berdiri di atas tiang harapan merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Jika kita kehilangan harapan maka kita kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia. Perjuangan untuk menggapai harapan hanya dapat dimungkinkan ketika suasana keterbukaan hadir, rasa saling kepercayaan tumbuh dan semangat gotong-royong---yang berkali-kali selalu ditandaskan oleh Bung Karno dalam Pidato 1 Juni Lahirnja Pantjasila---tercipta di tanah air. Berangkat dari pendasaran ini, sudah semestinya kondisi kebebasan politik yang telah kita nikmati selama lebih dari 13 tahun ini kondusif bagi terbangunnya harapan untuk mencapai kondisi kemerdekaan.
Kenyataannya suasana kebebasan politik tidak tumbuh menjadi tanah yang basah bagi bersemainya bibit-bibit harapan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Kualitas hidup warga yang semakin menurun berbanding terbalik dengan kebebasan mengakses sumber daya ekonomi politik negara bagi para elite-elite politik di negeri ini. Suasana yang membawa rakyat mengingat kembali memori lama masa Orde Baru. Horor kemanusiaan oleh negara pada masa Orde Baru sepertinya dilupakan ketika rakyat terkenang dengan kuatnya kepemimpinan Soeharto yang berbanding terbalik dengan absennya kepemimpinan kita selama ini.
Pujangga asal Inggris abad ke-19 yaitu Matthew Arnold pernah menggubah sebuah puisi satir tentang kebebasan. Dalam puisinya ”kebebasan adalah kuda sembrani yang kokoh untuk kita naiki, namun ia akan membawa kita ke manapun tanpa sais kendali”. Kebebasan telah membawa kita pada kondisi yang semakin jauh dari tujuan dan harapan kita dalam membangun republik. Keadaan ini tentunya tidak seharusnya membawa kita pada jalan absurd untuk melarikan diri dari kebebasan dan kembali pada belenggu masa lalu.
Dalam suasana terombang-ambing pada pilihan kebebasan politik atau pilihan otoritarianisme masa lalu, kita abai tentang satu pertanyaan penting yaitu apa yang salah dalam perjalanan kebebasan politik selama tiga belas tahun terakhir. Hingga rayuan Soehartoisme tidak pernah lepas dari perjalanan transisi demokrasi kita selama ini. Terkait dengan soal kebebasan saya melihat ada tiga paradoks besar dalam kondisi kebebasan kita selama ini.
Paradoks ini timbul dari kesalaharahan kita menunggang kuda kebebasan yang membawa kita pada jalan yang semakin menjauh dari harapan kita hidup berepublik. Meminjam Phillip Pettit (1997) dalam Republicanism: A Theory of Freedom and Government, kepemimpinan, kebijakan dan arah kelembagaan kita gagal menyeimbangkan kebebasan sebagai bebas dari intervensi dengan kebebasan anti dominasi (kemerdekaan). Setidaknya ada tiga hal yang memperlihatkan salah urus kebebasan dalam kepemimpinan republik kita.
Pertama, dalam dimensi paradoks kebebasan sipil. Perjalanan panjang reformasi kita telah membuka kran kebebasan yang begitu luas bagi kebebasan berdirinya berbagai ormas maupun orpol (parpol) yang memunculkan tumbuhnya organisasi bak cendawan di musim hujan. Organisasi masyarakat tumbuh dengan segenap warna-warni identitas dan ideologinya relatif tanpa intervensi dari otoritas negara. Kondisi kebebasan ini memang di satu sisi adalah baik bagi perkembangan demokrasi kita. Namun kebebasan mendirikan organisasi masyarakat dengan berbagai warna identitas dan ideologi tersebut berbanding terbalik dengan kondisi kebebasan (kemerdekaan) sipil lainnya. Yaitu berkembangnya dominasi satu kelompok terhadap yang lain dalam bentuk pembatasan dan pelarangan hak hidup dari berbagai kelompok minoritas. Kemerdekaan beribadah mereka dibelenggu, kesetaraan sebagai sesama warganegara dihancurkan oleh hadirnya dominasi kelompok-kelompok lainnya yang ingin memaksakan standar nilai keyakinan mereka pada yang lain.
Kedua, tumbuhnya paradoks kebebasan politik. Pada satu sisi sudah menjadi pemahaman umum bahwa proses pelembagaan politik kita telah menjadi arena bagi aktualisasi para elite untuk mendapatkan posisi politik maupun keuntungan ekonomi melalui transaksi politik. Namun di sisi lain proses kebebasan tersebut telah menghancurkan kemerdekaan politik dari warga untuk turut menentukan proses-proses politik bagi kemaslahatan mereka. Semangat gotong-royong dan solidaritas hilang ketika para anggota dewan tidak sensitif mengusulkan pembangunan gedung DPR baru ketika pada saat bersamaan rakyat tidak diajak konsultasi menentukan kebijakan ini. Kebebasan politik membangun partai politik sebagai kendaraan politik elite mencapai tahta dan harta, berjalan seiring dengan penghancuran secara halus kesempatan kelas pekerja membangun serikat pekerja melalui mekanisme sistem kerja kontrak.
Ketiga, adalah paradoks kebebasan dalam arena ekonomi politik. Denyut nadi perekonomian suatu negeri adalah jantung kehidupan dari vitalitas rasa kebangsaan sebuah republik. Pada arena ekonomi-politik inilah paradoks kebebasan sebagai anti intervensi berkembang terbalik dengan kebebasan anti dominasi atau kemerdekaan. Kebebasan sebagai anti intervensi telah dianut oleh para elite dan pemimpin republik ini sebagai dogma ideologis tanpa kritik dan interogasi tentang apa manfaatnya bagi kemaslahatan hidup bersama. Negara perlahan-lahan semakin menepi dari tanggungjawabnya dalam aktivitas ekonomi publik.
Hal itu termanifestasikan dalam banyak kasus. Ratifikasi perjanjian dagang import sandang pangan mengalir deras ke republik ini sebagai komitmen negara terhadap kebebasan anti intervensi. Pada saat bersamaan para petani kecil, kaum marhaen dan pengusaha ekonomi kecil-menengah hilang kemerdekaannya meningkatkan kualitas hidup dihantam globalisasi tanpa dukungan dan tanggung jawab negara. Usaha-usaha pertambangan asing bebas tanpa intervensi mengeruk kekayaan alam kita tanpa jaminan keuntungan yang lebih besar bagi pengelolaan anggaran untuk rakyat Indonesia.
Berbagai paradoks kebebasan yang semakin menguatkan hasrat mengeruk kekayaan di negeri kita namun meruntuhkan cita-cita hidup merdeka dan menghancurkan semangat gotong royong ini terasa begitu menyesakkan dan ironis. Di tepi suasana kebebasan tanpa kemerdekaan ini, kita melihat fakta politik yang terang. Kepemimpinan kita gagal menjadi sais kemudi bagi kebebasan politik. Kepemimpinan kita limbung dalam mengemudikan arah jalan memimpin republik.
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar